Langkah Penambang yang Tinggalkan Merkuri Diapresiasi
Perubahan pola perilaku masyarakat penambang di Kabupaten Poboya, Palu, yang tak lagi memakai merkuri diapresiasi oleh sejumlah pihak.
Editor: Sanusi
“Dengan demikian ada satu tools aparat untuk menindak apabila itu terjadi perdagangan merkuri ataupun penggunaan merkuri untuk tujuan-tujuan penambangan. Karena pemakaiannya dibatasi, terutama untuk kepentingan kesehatan. Jumlah beredar pun diatur dan dibatasi,” jelas Satya.
Untuk kepentingan pertambangan saat ini, ia mengungkapkan sianida dapat digunakan sebagai pengganti merkuri. Hal ini dikemukakannya berdasarkan pernyataan pihak BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII beberapa waktu lalu.
Sianidasi Emas, yang juga dikenal sebagai proses sianida atau proses MacArthur-Forrest adalah teknik metalurgi untuk mengekstraksi emas dari bijih kadar rendah dengan mengubah emas ke kompleks koordinasi yang larut dalam air. Proses inilah yang paling umum digunakan untuk ekstraksi emas.
Dengan digunakannya sianida sebagai alternatif, diharapkan tak ada lagi pertambangan baik dikelola secara tradisional oleh rakyat, perusahaan besar atau menengah yang menggunakan merkuri.
Pihak KLHK pun mengaku sedang menyiapkan proyek percontohan bersama BPPT untuk mengganti penggunaan merkuri dengan sianida. Salah satu lokasi percontohannya adalah di Poboya. “Kini merkuri sudah ditinggalkan warga,” kata Kepala Subdirektorat Penerapan Konvensi Bahan Berbahaya Beracun KLHK Purwasto Saroprayogi, pada kesempatan berbeda.
Komentar sejumlah pihak ini memang muncul setelah ada pernyataan dari tokoh adat masyarakat Poboya, Adzis Lamureke, yang menegaskan kalau masyarakat penambang tradisional di Pobaya saat ini tak lagi menggunakan merkuri ketika menambang emas.
Kata Adzis, perubahan ini terjadi berkat sosialisasi panjang dan terus-menerus yang dilakukan sejak tahun 2016 lalu oleh berbagai pihak, diantaranya Pemda, Kepolisian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan lainnya. Ia meyakini pencemaran tak lagi terjadi.
Pernyataan Adzis ini diperkuat oleh penuturan Kombes Pol Yan Sultra Indrajaya, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Sulteng. Dia mengatakan, hingga tahun 2015 memang masih banyak ditemukan penggunaan merkuri di Poboya.
Namun kebiasaan itu telah berubah setelah adanya sosialisasi yang juga melibatkan Dinas Kesehatan dan Kepolisian. Sehingga mulai tahun 2016 disebutnya hampir bisa dipastikan, masyarakat meninggalkan penggunaan merkuri untuk pengolahan emas.
Dia bercerita, awalnya penolakan keras sempat dilontarkan masyarakat setempat ketika sosialisasi kali pertama dilakukan. Polisi ketika itu bahkan dituding hendak menghentikan penambangan dan mengusir masyarakat setempat dari lokasi.
Bagusnya, masyarakat jadi sadar setelah dirinya mencontohkan dampak penggunaan merkuri terhadap kondisi fisik masyarakat di Bombana, Sulawesi Tenggara.
“Saya kasih gambar-gambarnya. Saya kasih contoh karena saya bekas Kapolres sepuluh tahun yang lalu di Bombana. Saya kasih tahu, saya ini memang polisi tapi saya waktu itu menyertakan dinas kesehatan, sehingga mereka dapat menjelaskan dampaknya bagi kesehatan. Akhirnya mereka ngerti dan antusias,” pungkasnya.
Makanya, mengenai kemunculan adanya isu penggunaan merkuri di Poboya yang dihembuskan oleh pihak tertentu, Yan meyakini foto-foto digunakan berdasarkan kondisi pada tahun 2014-2015.
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di KONTAN, dengan judul: Langkah tinggalkan merkuri diapresiasi
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.