Menilik Aksi Perempuan Penyelamat Taman Nasional Kerinci Seblat
Taman Nasional Kerinci Seblat di Bengkulu, kian terancam. Sepuluh perempuan pun siap membentengi taman nasional ini.
TRIBUNNEWS.COM - Taman Nasional Kerinci Seblat di Bengkulu, kian terancam. Perambahan liar, alih fungsi lahan, dan perburuan satwa, membuat pemerintah pusat dan kepolisian menandatangani perjanjian demi menyelamatkan taman nasional itu.
Tapi tak hanya polisi yang bergerak, sepuluh perempuan yang tergabung dalam Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia, juga turut membentengi. Seperti apa aksi mereka?
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Taman Nasional Kerinci Seblat adalah taman nasional terbesar di Sumatera. Terbentang di empat provinsi; Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
Dengan luas 1,3 juta hektar, ia dinobatkan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO pada 2004. Pasalnya, di sini menyimpan kekayaan flora dan fauna. Sekitar empat ribu spesies tumbuhan hidup, termasuk Rafflesia Arnoldi, juga Titan Arum –bunga tertinggi di dunia.
Sedangkan fauna yang mendiami taman nasional, antara lain Harimau Sumatra, Badak Sumatra, Gajah Sumatera, Macam Dahan, Tapir Melayu, Beruang Madu, serta 370 spesies burung.
Tapi, kondisi Taman Nasional Kerinci Seblat kian kritis. Sementara di Bengkulu, KPPSWD yang diwakili Intan Yones Astika, bercerita tentang perjuangan mereka dalam menyelamatkan taman nasional itu, sebab Kerinci Seblat punya peranan penting.
“Mengapa timbul gagasan kenapa harus TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat)? Karena kami melihat situs warisan dunia yang ada di Rejang Lebong ini semakin terancam keberadaannya, sedangkan hutan TNKS secara tidak langsung memberikan peran penting bagi kehidupan masyarakat dunia, dunia saja berbondong-bondong ingin menyelamatkan TNKS kenapa kami tidak,” tutur Intan.
Sepuluh perempuan penyelamat situs warisan dunia ini berlatar pendidikan mahasiswa. Mulanya, mereka disatukan oleh ketertarikan terhadap pelestarian lingkungan. Belakangan pula, gagasan ini lahir dari kegiatan lingkungan yang digelar Balai Taman Nasional Kerinci Seblat Pengelolaan Wilayah III Bengkulu-Sumsel.
Di komunitas tersebut, para perempuan ini bakal menyebarkan informasi tentang betapa bernilainya hutan. Anggota lain, Tantri Maya Sri –mahasiswi Politeknik Raflesia.
Terbentuk pada 20 Oktober 2016, Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD) pernah melakoni aksi demonstrasi yang bertepatan dengan International Womens Day. Dimana mereka menyuarakan hak-hak perempuan atas lingkungan.
Sebab, kerusakan lingkungan berdampak pada kaum perempuan yang bersentuhan langsung. Semisal, ketika kian sulit mencari tumbuh-tumbuhan seperti Pakis dan Kecombrang, untuk dikonsumsi. Padahal dulu, tumbuhan semacam ini terhampar di pinggiran kawasan hutan.
Lalu apa penyebabnya? Itu semua karena maraknya alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kopi yang terlarang bagi warga.
Sialnya, persoalan tersebut tak pernah diungkap. Karena itulah, mereka bersuara lewat tulisan yang diterbitkan dalam bentuk pamflet bernama Jendela Perempuan Desa. Tapi rupanya tak hanya tanaman yang dikonsumsi yang kian langka, tanaman untuk obat seperti daun Sirih, juga begitu. Perambahan liar membuat tanaman obat –yang tumbuh menjalar di pohon-pohon, ikut ditebas.
Lisnawati, warga Desa Pal VIII, Kecamata Bermani Ulu Raya, misalnya mengeluhkan susahnya mendapat tanaman yang biasa dimakan. Tak hanya itu, hasil pertanian juga banyak terserang hama akibat perubahan cuaca yang tak menentu.
“Agak susah sekarang ya, seperti Pakis, Kecombrang ya mungkin karena sudah banyak sekali orang yang keluar masuk ke dalam hutan,” ujar nya
Begitu pula dengan Prisnawati. Kata dia, hama di ladang pertanian mereka jadi masalah baru.
“Kita lebih banyak bertani kopi, tapi saat ini permasalahannya kopi seperti terserang jamur dan mudah mati,” kata Prisna.
Ade Purnama Dewi, anggota Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia, mengatakan pihaknya kerap mendampingi ibu-ibu desa agar tak sembarang memanfaatkan hutan.
“Adanya ketakutan warga Desa Babakan baru soal penggunaan kawasaan hutan yang selama ini menjadi polemik, karena menurut warga desa mereka sudah lama melakukan aktifitas di dalam kawasan, sehingga kami bersama KPPSWD mencari jalan keluar dengan pihak TNKS agar dapat mengalihkan zona rehabilitasi TNKS menjadi zona pemanfaatan bagi warga,” terang Ade.
Setahun bergerak, mereka berharap pemda turut berjuang bersama. Tantri Maya Sari menyebut pemda bisa menyosialisasikan kepada masyarakat menjaga lingkungan termasuk taman nasional.