Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soal Tanah Sunda Wiwitan, Jaka Rumantaka Angkat Bicara

Kelompok Sunda Wiwitan mesti kehilangan sebagian tanah leluhurnya pasca kalah gugatan melawan Jaka Rumantaka.

Editor: Content Writer

Kelompok Sunda Wiwitan mesti kehilangan sebagian tanah leluhurnya pasca kalah gugatan melawan Jaka Rumantaka.

Padahal mereka memiliki bukti; girik, manuskrip, hingga pengakuan sesepuh Sunda Wiwitan. Tapi sial karena pengadilan tak memedulikannya. Kini, kelompok Sunda Wiwitan tengah memetakan tanah ulayat, sosial, dan budaya mereka. 

Berikut kisah lengkapnya dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).

Jaka Rumantaka adalah cucu dari pemimpin komunitas adat Sunda Wiwitan terdahulu Pangeran Tedja Buana Alibassa dari istri pertamanya.

Pada 2008 silam, dia mengajukan gugatan tanah seluas 224 meter persegi yang berada di lahan komunal Sunda Wiwitan ke Pengadilan Negeri Kuningan. Kata Jaka, tanah itu adalah hak warisnya. Berbekal sertifikat tanah –selang setahun pengadilan memenangkan Jaka Rumantaka. Hakim menyebut tanah 224 meter tersebut bukan tanah adat.

Karena tak terima, Kusnadi orang yang diminta Jatikusuma Alibassa untuk menempati tanah 224 meter itu, mengajukan banding hingga Mahkamah Agung (MA). Tapi pada 2012, MA kembali memenangkan Jaka Rumantaka sebagai pemilik tanah. Jatikusuma adalah anak Pangeran Tedja Buana dari istri kedua.

Hingga 24 Agustus lalu, pihak pengadilan hendak mengeksekusi putusan hakim. Akan tetapi gagal. Sebabnya, puluhan warga merebahkan diri di jalan –menghalangi polisi memasuki tanah adat.

BERITA TERKAIT

“Langkah saya adalah mempersiapkan eksekusi. Sebelumnya saya harus minta perlindungan hukum agar eksekusi jangan gagal lagi. Saya sudah menyiapkan uang Rp60 juta, bagi saya itu besar sekali. Untuk biaya bulldozer dan orangnya harus dibayar,” ujarnya.

Lelaki berusia 58 tahun itu mengatakan, eksekusi merupakan bagian memperjuangkan tanah ibunya yang selama ini dikuasai keluarga Jatikusuma.

“Hanya untuk mengisi perutnya dan anak-anaknya sebagai pengemis. Oh sengsara itu ibu saya, itu masyarakat tahu semuanya. Dia datang ke rumah-rumah untuk makan. Sangat menyedihkan itu,” tambahnya kembali. Bapak tiga anak ini juga mengklaim pernah menawarkan damai hanya dengan syarat keluarga Jatikusuma datang ke rumahnya. Namun tawaran tersebut ditolak Paseban.

“Saya sudah capek dan malu. Karena yang dipertaruhkan nama orangtua kita. Datang ke rumah saya bersama anaknya. Saya akan berikan semua apa yang saya dapat sampai ke Mahkamah Agung.”

Kemenangan Jaka Rumantaka, sepertinya takkan berjalan mulus. Sebab kelompok Sunda Wiwitan tengah menempuh strategi non-hukum. Tujuannya, kata Dewi Kanti Setianingsih –tokoh perempuan masyarakat penghayat Sunda Wiwitan, agar pemerintah mengakui keberadaan tanah komunal mereka.

Dewi Kanti juga menyebut, pihaknya berencana memetakan sosial budaya Sunda Wiwitan. Ini supaya sengketa serupa tak kembali terulang.

Hingga kini, tanah sengketa seluas 224 meter persegi itu belum juga dieksekusi. Sementara masyarakat adat Sunda Wiwitan tengah mengusahakan membeli tanah seluas dua hektar di Kawasan Curug Goong, Serang, Banten.

Tanah itu diyakini tanah leluhur mereka yang sayangnya, sudah menjadi hak milik pemerintah daerah. Dengan begitu, ia berharap anak-cucu mereka dapat mengetahui peninggalan leluhur.

Menanggapi konflik tanah ini, Bupati Kuningan Acep Purnama mengatakan, sudah pernah memediasi kedua pihak. Termasuk menawarkan uang ganti rugi sebesar Rp150 juta ke penggugat yaitu Jaka Rumantaka. Sayangnya, gagal.

“Untuk memediasi, mendamaikan tapi sampai sekarang belum. Tapi saya optimis semuanya bisa dipersatukan kembali. Sejauh ini kalau ada sengketa apapun pemerintah daerah berupaya memediasi. Dan saya sudah lakukan.”

Kakunya hukum negara menghadapi sengketa lahan adat di Cigugur, Kuningan, dikritik Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto.

“Ada konteks-konteks negara harus superior yaitu dalam hal pidana, hak asasi manusia, negara harus nomor satu. Tapi ada ruang-ruang negara harus membuka ruang kepada eksistensi hukum adat.”

Dia menyontohkan kasus di luar negeri dan di Sumatera, yang bisa dijadikan rujukan ketika menangani kasus hukum yang berkaitan dengan masyarakat adat.

“Kalau di Jepang misalnya, dalam suatu kasus perebutan sumber daya alam atau hakim mengetahui ada kaitannya dengan masyarakat adat. Itu mereka akan membuat tim adhoc melakukan tim investigasi di lapangan. Dan besar kemungkinan masyarakat adat akan dimenangkan.”

Kembali ke komunitas Sunda Wiwitan. Di tengah ketidakpastian ini, Kuasa hukum masyarakat Sunda Wiwitan, Antonius Cahyadi, berharap eksekusi lahan itu ditunda. Sebab saat ini masih berlangsung gugatan pihak ketiga.

Tanah seluas 224 meter itu hanya sebuah rumah yang ditempati keluarga almarhum Kusnadi. Tapi masyarakat adat Sunda Wiwitan khawatir, jika tanah itu lepas maka pintu gugatan terhadap Cagar Budaya Gedung Paseban Tri Panca Tunggal akan terbuka lagi. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas