Mengingat Pangeran Diponegoro, Sosok Pemimpin Humanis, Tangguh Sekaligus Humoris
Pangeran dari Bumi Mataram ini begitu tangguh di medan peperangan namun berhati lembut dan humanis.
Editor: Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, KULONPROGO - Diponegoro mungkin sosok pemimpin idaman bagi bangsa ini.
Pangeran dari Bumi Mataram ini begitu tangguh di medan peperangan namun berhati lembut dan humanis.
Ia adalah cerminan manusia apa adanya.
Pemerintah Hindia Belanda pada masa kolonial di Nusantara punya musuh kuat dari tanah Jawa, yakni Pangeran Diponegoro.
Gubernur Jenderal De Kock bahkan butuh waktu bertahun-tahun untuk berusaha mematahkan taktik gerilya yang dijalankan sang pangeran itu dalam peperangan.
Baca: Jimly Nilai Hari Pahlawan Jadi Ajang Bangun Tradisi Positif
Meski akhirnya Diponegoro tertangkap di Magelang pada 1830, perjuangannya untuk lepas dari cengkeraman penjajah membuktikan bahwa ia adalah sosok yang tangguh dan berani.
Karakter seperti itu pula yang diteladani bangsa ini, khususnya para keturunan darahnya yang kini membentuk Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Trah Padi).
Mereka menilai Pangeran Diponegoro adalah sosok yang sangat patut diteladani oleh generasi setelahnya.
Terutama karena sifatnya yang jujur, tegas, berani, dan bijaksana.
"Setelah 15 tahun saya mempelajari lebih jauh tentang Diponegoro, saya bisa gambarkan bahwa beliau sosok yang jujur, tegas, berani, dan bijaksana. Ia selalu melakukan apa kata hatinya, tanpa ditutup-tutupi," jelas Ketua Patra Padi, Roni Sodewo di sela adacra Gebyar Semaken di di Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kulonprogo, Kamis (9/11/2017).
Gebyar Semaken digelar Patra Padi untuk peringatan 232 tahun kelahiran Pangeran Diponegoro yang dilahirkan pada 11 November 1785.
Semaken merupakan satu wilayah yang punya sejarah khusus dalam perang gerilya Diponegoro melawan penjajah Hindia Belanda.
Roni sendiri merupakan keturunan ke-7 dari garis darah satu di antara anak Diponegoro yakni Pangeran Alip atau Bagus Singlon yang juga berjuluk Ki Sodewo.
Ia bercerita, selama belasan tahun mempelajari berbagai literatur lama menyangkut Diponegoro, termasuk juga babad yang ditulis Sang Pangeran itu sendiri, Babad Diponegoro.
Naskah klasik ini ditulis Diponegoro saat ia diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833 dan menjadi acuan Roni untuk semakin dalam mengenal sosok eyangnya.
Baca: Panglima TNI Yakin Masyarakat Sepakat Anugerah Empat Pahlawan Nasional
Dalam babad itu di antaranya juga mencantumkan sisi perkasa seorang Diponegoro di medan peperangan.
Dalam suatu pertempuran melawan penjajah asing, Diponegoro dan pasukannya dihujani tembakan oleh pasukan musuh.
Peluru berdesing melesat di udara mencari sasaran dari pasukan Diponegoro.
Namun, bukannya merasa ketakutan dan kesakitan, Diponegoro justru menganggapnya seperti hujan pasir yang mengenai punggungnya.
Selanjutnya, Diponegoro dan pasukannya mencoba berlindung di balik pepohonan.
Diponegoro dan pamannya, Raden Ngabehi Joyokusumo lalu adu cepat berlari ke pohon kweni yang tersisa untuk perlindungan.
Diponegoro kalah cepat dan akhirnya hanya berlindung di balik pantat pamannya itu seraya berujar enteng bercanda; 'yang lebih tua akan mati duluan'.
Di sinilah sisi humoris seorang Diponegoro terlihat.
"Pada bagian itu, Diponegoro menunjukkan kesaktiannya sekaligus juga sisi humorisnya di tengah suasana yang serius. Ia semakin terlihat sebagai sosok manusia yang apa adanya. Bisa kuat, bisa juga lemah dan bersedih, seperti halnya ketika Diponegoro meratapi kematian pamannya itu," kata Roni.
Baca: Danau Toba Tawarkan Paket 4-5 Hari, Cek Lokasi Wisata yang Bisa Dikunjungi
Menurutnya, Diponegoro adalah sosok yang tak segan untuk menyebutkan kekurangannya sendiri.
Berani berbuat sekaligus berani bertanggungjawab.
Sikap seperti itu menurutnya harus menjadi pegangan bagi semua pemimpin saat ini.
Sementara itu, menurut Nugroho Wibowo (42), generasi ke-6 keturunan Diponegoro dari Magelang, isi Babad Diponegoro mencerminkan bahwa pahlawan nasional itu menjalani hidup dengan menjadi manusia seutuhnya.
Ia tak segan menunjukkan sisi buruknya sekalipun dirinya adalah seorang pangeran sekaligus pimpinan perang.
Ada nilai luhur dalam hidup yang menurut Nugroho telah ditunjukkan Diponegoro semasa hidupnya namun tetap relevan dengan era sekarang.
"Sebagai manusia Jawa, kita harus punya prinsip hidup dan jangan sampai hilang budaya," kata dia(ing)
Artikel ini telah tayang di Tribun Jogja dengan judul: Mengenal Pangeran Diponegoro, Sosok Pemimpin Tangguh dan Humanis
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.