Di Desa Ini, Warga yang Poligami Atau Poliandri Ditempatkan Khusus
Berdasarkan cerita secara turun-temurun, awal mula berdirinya Banjar atau Desa Penglipuran berasal dari abad ke 13 silam
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, BALI - Desa Penglipuran yang terletak di Kelurahan Kubu, Bangli, Bali ini, hanya memiliki satu banjar adat yang juga bernama Penglipuran.
Dikenal dengan desa terbersih dan sempat menyabet predikat terbersih ketiga sedunia, Banjar Adat Penglipuran dihuni oleh sejumlah 240 KK atau sebanyak 1008 jiwa.
Bendesa Adat Desa Penglipuran, I Wayan Supat, Jumat (2/2/2018) menceritakan, berdasarkan cerita secara turun-temurun, awal mula berdirinya Banjar atau Desa Penglipuran berasal dari abad ke 13 silam.
Raja Bangli saat itu menghendaki rakyat di Desa Bayung Gede, Kintamani untuk ditugaskan menjadi abdi atau prajurit.
Lantaran jarak 35 kilometer yang terlalu jauh, disamping seringnya rakyat Desa Bayung Gede dibutuhkan sebagai prajurit, akhirnya sang raja memberikan tempat bagi para prajurit ke wilayah Kubu, yang berjarak hanya 4 kilometer dari pusat pemerintahan yang terletak di sebelah utara Pasar Kidul Bangli.
“Saat itu namanya bukan Desa Penglipuran, melainkan bernama Kubu Bayung. Pemberian nama tersebut, tidak lain untuk mengingat bahwa yang tinggal di wilayah ini (Kubu), merupakan orang Bayung (Bayung Gede, Kintmani), atau orang Kubu yang berasal dari Desa Bayung Gede,” terangnya.
Baca: Live Streaming Bali United Vs Madura United di Indosiar - Duel di Piala Presiden 2018 Jam 19.30 WIB
Seiring dengan perkembangan jumlah penduduk, lanjut Wayan Supat, akhirnya wilayah Kubu Bayung berdiri sendiri membuat sebuah desa, yang disebut Desa Penglipuran.
Makna Desa Penglipuran sendiri berasal dari katapenglipur yang artinya menghibur.
Mengingat dari tujuan utamanya sejak dulu, orang Bayung Gede yang diajak raja untuk pindah, tidak lain adalah untuk mengabdi.
“Mengabdi atau membantu, tujuan utamanya adalah untuk menyenangkan raja,” ucapnya.
Makna yang kedua, penglipuran berasal dari dua suku kata, yakni pangliling pura.
Pangiling artinya mengingat, sedangkan pura atau puri, berarti rumah.
Sehingga dalam makna luas pangling pura artinya mengingat asal tempat tinggal.
Sebab budaya yang ada di Bayung Gede juga diterapkan pada Desa Penglipuran.
Seperti tata ruang desa yang masih menerapkan sistem kaja-kelod, bentuk rumah adat yang berapat sirat bambu, penataan pekarangan.
Baca: Sandiaga Ungkap Rencana Hunian DP 0 Rupiah di Kawasan PIK
Begitu pun dengan pura yang ada di Bayung Gede, berapa jumlahnnya, dimana letaknya, apa namanya juga terdapat di penglipuran.
“Seperti contoh pura penataran (pura desa), seperti di Bayung Gede terletak di utara desa, begitupun dengan di Penglipuran, selain itu Pura puseh di sebelah timur, Pura dukuh di arah timur laut juga dibangun hal yang sama, walaupun dibangun lebih kecil, mengingat wilayah yang juga kecil. Ibaratnya Penglipuran merupakan minatur Desa Bayung Gede,” ucapnya.
Dikatakan pula, sebagai warga desa adat maupun warga negara, masyarakat Desa Penglipuran sadar untuk selalu bergotong royong menjaga kebersihan.
Hal ini terlihat di setiap sudut rumah sudah disediakan tempat sampah, sebab menurutnya, kebersihan bukan pekerjaan pemimpin atau segelintir orang saja.
"Kebersihan merupakan milik bersama untuk selalu dijaga," ujarnya.
Disamping itu, untuk mempertahankan kebersihan di desanya, Wayan Supat menuturkan jika di Desa Penglipuran juga terdapat peraturan-peraturan yang menjaga kebersihan tata ruang lingkungan.
Dan apabila terdapat masyarakat setempat yang melanggar akan diberikan sanksi. Untuk sanksi sendiri terdiri dari tiga macam.
Yakni sanksi berupa materi (arta danda), dikucilkan (jiwa danda), serta sanski berupa melakukan ritual (askara danda) yang mengaturkan panca sato di pura desa, pura puseh, pura dalem, dan pura prapatan (catus pata).
Baca: Istri Sah Ngamuk! Pergoki Suami Tidur Bareng Selingkuhan di Rumah
Dijelaskan, sanksi berupa materi seperti tidak mengikuti gotong royong yang dilakukan satu minggu sekali.
Sanksi materi pun nominalnya hanya Rp. 500.
Kecilnya nominal sanski menurut Wayan Supat untuk menumbuhkan efek malu.
Sedangkan sanksi berupa banten pecaruan, si pelanggar diwajibkan untuk menghaturkan sesajen berupa bakti pecaruan dengan jumlah ayam 1 unit pecaruan panca-sato (5 ekor ayam) di 4 pura, yaitu pura penataran, pura puseh, pura dalem, dan di catuspata.
"Setiap warga yang bersalah, dikenakan pecaruan di 4 unit tempat atau kahyangan, yaitu di puseh, dalem, penataran, dan di catuspata. Dan khusus untuk Desa Penglipuranbanten pecaruan menggunakan Panca-sata sesuai dengan unsur 5 arah mata angin, yaitu utara, timur, selatan, barat dan tengah," jelas Wayan Supat.
Sementara sanksi berupa dikucilkan (jiwa danda), dicontohkan dia saat seseorang melakukan poligami, maka dia akan ditempatkan di satu pekarangan khusus, yang disebut karang memadu.
Tujuan dari adanya karang memadu, bukan lantaran desa Penglipuran mengizinkan warganya untuk melakukan poligami, maupun poliandri.
Justru desa penglipuran mengharapkan warganya untuk tetap menghargai hubungan yang telah diikat dalam upacara sakral yang disebut pernikahan.
“Mereka yang ada di karang memadu juga tidak diperbolehkan untuk pergi ke pura,” ucapnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.