Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sanksi Menanti Warga Desa Penglipuran yang Punya Anak di Luar Nikah

Desa Penglipuran di Kelurahan Kubu, Bangli, Bali memiliki peraturan-peraturan untuk menjaga kebersihan tata ruang lingkungan.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Sanksi Menanti Warga Desa Penglipuran yang Punya Anak di Luar Nikah
Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Pura Penataran di Desa Penglipuran, Bangli, Jumat (3/2/2018). TRIBUN BALI/MUHAMMAD FREDEY MERCURY 

TRIBUNNEWS.COM, BANGLI - Desa Penglipuran di Kelurahan Kubu, Bangli, Bali memiliki peraturan-peraturan untuk menjaga kebersihan tata ruang lingkungan.

Apabila terdapat masyarakat setempat yang melanggar akan diberikan sanksi.

Untuk sanksi terdiri dari tiga macam.

Yakni sanksi berupa materi (arta danda), dikucilkan (jiwa danda), serta sanski berupa melakukan ritual (askara danda) yaitu mengaturkan panca sato di pura desa, pura puseh, pura dalem, dan pura prapatan (catus pata).

Sanksi berupa materi seperti tidak mengikuti gotong royong yang dilakukan satu minggu sekali.

Saksi materi pun nominalnya hanya Rp 500.

Kecilnya nominal sanksi menurut Wayan Supat untuk menumbuhkan efek malu.

Berita Rekomendasi

Baca: Ustaz Prawoto Jatuh Dianiaya Menggunakan Linggis Sepanjang Satu Meter Berbobot Hampir 8 Kg

Sedangkan sanksi berupa banten pecaruan, si pelanggar diwajibkan untuk menghaturkan sesajen berupa bakti pecaruan dengan jumlah ayam 1 unit pecaruan panca-sato (5 ekor ayam) di 4 pura, yaitu pura penataran, pura puseh, pura dalem, dan di catuspata.

Berdasarkan penuturan dari Bendesa Adat Desa Penglipuran, I Wayan Supat, sanksi berupa menghaturkan banten pecaruan tersebut sudah dibuat sejak tahun 2005.

Ini berdasarkan keputusan rapat desa (paruman), serta tertuang juga dalam visi misi desa, yaitu menuju keharmonisan di salah satu implementasinya adalah melaksanakan aturan adat berupa awig-awig.

"Sebelumnya sudah ada sanksi bagi masyarakat yang melanggar, namun penjatuhan sanksi berupa musyawarah desa, dari mereka yang melakukan kesalahan akan diberi sanksi berdasarkan kesanggupan. Namun, sejak tahun 2005, penjatuhan sanksi sudah tegas, bagi siapapun itu, bahkan saya sendiri sebagai bendesa adat," ujar Wayan Supat.

Baca: Siswa Penganiaya Guru Itu Dijuluki Pendekar oleh Teman-temannya

Meski sanksi materi diberikan pada mereka yang absen mengikuti gotong royong, bahkan hingga 10 kali, mereka yang melanggar tetaplah akan diberikan peringatan, bilamana tetap tidak menggubris, maka lama kelamaan akan dikucilkan.

Sementara sanksi penghaturan banten pecaruan, tidak hanya dijatuhkan bagi perbuatan masyarakat seperti mencuri, mabuk-mabukan, berkelahi, hingga hubungan muda-mudi di luar pernikahan hingga memiliki anak, namun belum ada upacara, pun akan dijatuhi sanksi yang sama.

"Sanksi tersebut merupakan wujud mengharmoniskan alam, dengan menghaturkan sesaji berupa banten pecaruan di empat tempat suci yang kami miliki," ujarnya.

Adapun masyarakat Desa Penglipuran yang seandainya melakukan kesalahan di luar kawasan Desa Penglipuran, selama ada laporan, tetap akan mendapat sanksi adat.

Hal ini dikarenakan aturan yang dimiliki oleh Desa Penglipuran mengikat ke luar dan ke dalam.

"Aturan kami ini mengikat keluar dan kedalam sepanjang adanya laporan kepada saya selaku bendesa adat atau kepada warga desa adat, yang penting dalam menjatuhkan sanksi tersebut harus ada 3 unsur yang dipenuhi, yaitu bukti, saksi, dan inikita (aturan/awig). Karena kita sebagai pemimpin tidak boleh seenaknya menjatuhkan hukuman," ujarnya.

Baca: Zumi Zola Terima Gratifikasi Rp 6 Miliar dari Sejumlah Proyek di Provinsi Jambi

Disinggung soal masyarakat yang pernah melakukan kesalahan hingga harus membayar benten pecaruan, I Wayan Budiarta, Operasional koordinator di Pengelola Pariwisata Penglipuran mengata kan sempat ada, yaitu sekitar 2 tahun yang lalu karena berkelahi.

Budiarta lantas mengatakan bahwa sebelum masyarakat yang bersalah membayar banten pecaruan, maka dia tidak akan mendapat fasilitas desa, yaitu tidak diperbolehkan sembahyang di pura.

Selanjutnya Budiarta mengatakan, apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan yang sama berulang kali, maka sanksinya tidak akan berubah, yaitu tetap menghaturkan banten di 4 tempat suci di Desa Penglipuran.

Baca: Guru Budi Muntah dan Tak Sadarkan Diri Saat Tiba di Rumah, Nyawanya pun Tak Tertolong

"Sanksinya tetap, namun namanya seseorang yang melakukan kesalahan berulang kali, oleh warga sekitar pasti akan dicap sebagai seseorang yang tidak bisa diatur. Selain itu dia juga akan dikucilkan oleh warga desa," tandasnya.

Sumber: Tribun Bali
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas