Warga Banjar Munti Gunung Jadi Pengemis di Kota, Kalau Pulang Bawa Uang hingga Puluhan Juta Rupiah
Di kampung pengemis Bali itu, rumah-rumah yang berjejer di sisi kanan dan kiri jalan desa terlihat lengang, seperti tidak berpenghuni sama sekali.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, AMLAPURA - Suasana Banjar Munti Gunung, Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, tampak sepi, Senin (29/1/2018) pukul 10.30 Wita itu.
Di banjar yang dijuluki sebagai kampung pengemis Bali itu, rumah-rumah yang berjejer di sisi kanan dan kiri jalan desa terlihat lengang, seperti tidak berpenghuni sama sekali.
Sepeda motor dan mobil yang parkir di pinggir jalan terlihat kotor, kemungkinan lama tak digunakan.
Lantai sejumlah rumah bertingkat dengan arsitektur Bali juga tampak berdebu.
Warga yang berlalu lalang di jalan desa itu terlihat tak lebih dari 5 orang.
I Komang Sri, warga asli Munti Gunung, mengaku Kampung Munti Gunung sepi lantaran hampir sebagian warganya merantau ke Kota Karangasem, ke Denpasar, Gianyar, dan Badung untuk cari uang.
Warga yang bertahan di Munti Gunung pun sudah terbiasa dengan kondisi sepi.
Komang Sri menjelaskan, warga yang merantau kebanyakan dari Munti Gunung bagian atas atau puncak.
Sedangkan warga Munti Gunung bagian bawah, sebagian tetap di rumah. Mereka berdagang dan menjadi buruh di Pasar Tukad Ling, Tianyar Tengah.
Baca: Mengintip Kehidupan Pengemis di Bali: Hasilkan Rp 9 Juta Per Bulan, Setara Gaji Asisten Manajer
"Munti Gunung ini desa adat. Wilayahnya cukup luas. Warga Munti Gunung bagian atas hampir sebagian besar merantau ke luar. Ada yang kerja ngojek, kerja di spa dan hotel, ada juga yang minta-minta (mengemis)," terang Komang Sri.
Kondisi ini, menurut dia, sudah lama terjadi. Kadang satu keluarga pilih merantau ke luar, dan meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong.
Mereka merantau semata-mata mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier.
Seperti diberitakan Tribun Bali kemarin, dari pantauan terhadap para pengemis di wilayah Denpasar, Kuta selatan dan Ubud diperoleh informasi bahwa sebagian besar mereka berasal dari Munti Gunung dan Pedahan.
Mengemis sudah menjadi pekerjaan rutin mereka.
Biasanya, tambah Komang Sri, warga yang pulang dari perantauan membawa pulang uang dalam jumlah cukup banyak, mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah.
Baca: Para Pengemis di Bali Sanggup Setor Rp 1,5 Juta Per Bulan Agar Tak Diciduk
Uang itu untuk membiayai kebutuhan hidup mereka selama berada di rumah. Ketika uang habis, mereka kembali merantau.
"Warga pulang dari perantauan saat hari raya seperti Galungan dan Kuningan. Atau saat ada upacara. Mereka bawa uang banyak dari perantauan," tutur Sri Komang kepada Tribun Bali.
Sejauh yang diketahui I Komang Sri, sebagian besar warga yang pulang dari merantau dan bawa uang banyak adalah pengemis.
Uang hasil minta-minta bisa digunakan untuk memperbaiki rumah atau beli barang-barang modern seperti televisi dan handphone.
Dari pantauan Tribun Bali di Munti Gunung, sebagian kehidupan warga di sana terlihat seperti tidak berkategori miskin.
Di setiap rumah rata-rata ada 2 sampai 3 unit sepeda motor terparkir, ada pesawat TV dan antena parabola.
Sebagian besar rumah warga juga terlihat besar dan rapi.
Walaupun berada di kawasan perbukitan, bentuk rumah-rumah di Munti Gunung hampir menyerupai bentuk rumah di wilayah perkotaan.
Baca: Pengakuan Pelanggan Ayam Kampus di Semarang: Lebih Berkelas dan Pintar Jaga Kerahasiaan
Tidak Miskin
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Karangasem, Ni Ketut Puspakumari, mengakui bahwa warga Karangasem yang mengemis terbanyak berasal dari Pedahan Kaja dan Munti Gunung, Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu.
Di antara para pengemis itu, kata dia, cukup banyak yang sebetulnya tergolong tidak miskin.
"Yang mengemis itu sebetulnya tergolong tidak miskin lagi, mereka cukup mampu. Coba lihat ke kampung mereka. Rumahnya cukup besar. Ada cukup banyak yang memiliki 2 sampai 3 unit sepeda motor. Jelas itu bukan kategori keluarga miskin," ungkap Ketut Puspakumari saat ditemui di Kantor DPRD Karangasem, Rabu (31/1/2018).
Ditambahkannya, mereka mengemis karena tergiur penghasilan yang cukup tinggi. Dalam sehari mengemis bisa mendapatkan Rp 200 sampai 300 ribu per orang.
Uang dari hasil mengemis biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah sampai beberapa bulan kemudian.
Biasanya, menurut Puspa, mereka mengemis di kawasan obyek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan asing (wisman) seperti Pantai Kuta (Badung), dan Ubud (Gianyar).
Mereka memilih tempat wisata yang ramai wisman dengan alasan wisman gampang iba pada peminta-minta. Mereka bisa beri Rp 10 hingga 50 ribu.
"Di Kuta sekarang mulai berkurang. Di Ubud, jumlah mereka lebih banyak, karena wisman di Ubud banyak. Bule baik hati biasanya beri Rp 10 - 50 ribu," tambah Puspakumari, yang sebelumnya adalah Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
Puspa menyebutkan, warga yang mengemis kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak. Para suami biasanya kerja ngojek. Di Denpasar mereka indekos.
"Saya dapat cerita dari mereka sendiri (para pengemis)," ucap Puspakumari.
Puspa mengatakan, warga yang mengemis mengaku padanya tak akan beralih profesi, sebab pekerjaan mengemis dianggap menjanjikan.
Mereka keasyikan dengan penghasilan mengemis yang bisa mencapai ratusan ribu dalam sehari.
Tahun lalu, kata Puspakumari, Pemkab Karangasem sempat memberi pelatihan jejaitan dan pembuatan dupa ke para pengemis.
Setelah pelatihan usai, mereka ternyata kembali mengemis. Alasannya, penghasilan jadi pengemis lebih tinggi daripada membuat jejaitan dan dupa.
"Hanya segelintir yang masih bertahan membuat jejaitan dan dupa. Selebihnya kembali mengemis, karena hasil dari membuat jejaitan cuma Rp 20 ribu sehari. Berbeda jauh dengan hasil mengemis," jelas Puspa.
Dikatakan Puspakumari, saat ini jumlah warga Karangasem yang menjadi gelandangan dan pengemis (gepeng) sebanyak 186 KK.
"Itu yang terdata. Kemungkinan jumlah nyatanya lebih besar, karena ada yang luput dari pendataan. Sebelumnya, jumlah gepeng di Karangasem sebanyak 250 KK. Ada beberapa yang berhenti mengemis, karena usia tua," jelas Puspa.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.