Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kapal Kayu Dilarang Masuk Tawau, Gubernur akan Surati Menlu dan Mendag, Juga Minta BTA 1970 Direvisi

Irianto menilai Kementerian Perdagangan RI tidak pernah serius menindaklanjuti poin-poin yang diusulkan

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Kapal Kayu Dilarang Masuk Tawau, Gubernur akan Surati Menlu dan Mendag, Juga Minta BTA 1970 Direvisi
Tribun Kaltim/Muhammad Arfan
Salah satu dermaga di Sebatik Kabupaten Nunukan diabadikan beberapa waktu lalu. 

Laporan wartawan Tribun Kaltim Muhammad Arfan

TRIBUNNEWS.COM, TANJUNG SELOR - Pelarangan kapal kayu asal Nunukan masuk ke wilayah Tawau, Malaysia, dituturkan Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie merupakan kebijakan negara tetangga yang tidak bisa diintervensi oleh Kalimantan Utara sebagai provinsi di Indonesia yang berbatasan dengan Tawau, Malaysia.

Upaya tepat ialah melakukan pembicaraan bilateral oleh pemerintah dua negara bertetangga. Irianto Lambrie mengklaim sudah menyampaikan masalah itu kepada Tjahjo Kumolo sebagai Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Menteri Dalam Negeri.

Baca: Potret Penyanyi Dangdut di Banua, Kawin Cerai, Ada yang Suaminya Hiperseks

Ia juga berjanji dalam waktu dekat bersurat kepada Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita agar mengambil sikap dan mencari solusi atas permasalahan tersebut.

"Nanti pusat yang membicarakannya dengan pemerintah Malaysia," kata Irianto saat disua Tribun, Minggu (11/2/2018).

Menurutnya, kebijakan yang diterapkan pemerintah Malaysia itu memang perlu dipenuhi oleh Indonesia. Karena berdampak pada pemenuhan sejumlah komoditas masyarakat Nunukan, maka perlu langkah konkret pusat dalam masalah tersebut.

BERITA TERKAIT

Selain persoalan kapal kayu asal Nunukan yang dibatasi masuk ke Tawau, Irianto juga mengaku mendesak pemerintah membicarakan perubahan Border Trade Agreement (BTA) atau Perjanjian Perdagangan Lintas Batas Indonesia-Malaysia. Perjanjian yang diteken kedua negara pada 24 Agustus 1970 di Jakarta itu membatasi nilai transaksi maksimal 600 Ringgit Malaysia (RM).

"Ini sudah lama saya minta agar direvisi, waktu saya masih di Kepala Disperindagkop Kalimantan Timur. Tetapi sampai sekarang belum," katanya.

Irianto menilai Kementerian Perdagangan RI tidak pernah serius menindaklanjuti poin-poin yang diusulkan. Dan di satu sisi, pemerintah Malaysia berusaha perjanjian BTA tersebut tidak direvisi lagi.

"Itulah adalah porsi perjanjian kedua negara. Bagi pemerintah Malaysia, itu urusan kecil. Karena mereka tidak ketergantungan dengan kita. Yang punya masalah itu kita, karena kita membeli barang dari mereka. Kebutuhan sehari-hari khususnya," sebutnya.

Sumber: Tribun Kaltim
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas