Jalan Beton di Karangkobar Banjarnegara yang Baru Diresmikan Itu Berubah Jadi Jurang Panjang
Pergerakan tanah di Desa Paweden Karangkobar bukanlah kali ini saja terjadi.
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki
TRIBUNNEWS.COM, BANJARNEGARA - Pergerakan tanah di Desa Paweden Karangkobar bukanlah kali ini saja terjadi.
Warga maupun pengendara yang biasa melintasi ruas Banjarnegara-Karangkobar itu pasti paham, titik yang mereka lalui selama ini rawan longsor. Karena itu, jalan ini selalu dilalui dengan hati-hati.
Titik jalan ini bahkan nyaris tidak pernah sepi dari aktivitas pekerja yang sering memperbaiki jalan itu karena sering tergerus longsor.
Pembangunan jalan beton sepanjang seratusan meter yang baru diresmikan Januari 2018 lalu di titik itu sempat melegakan pengendara.
Jalan itu dibangun dengan membuka lahan baru di sisi atas jalan lama yang ambles. Tentunya, pembangunan oleh Dinas Bina Marga Jateng itu telah melalui kajian kelaikan tanah.
Di awal tahun baru 2018 ini, jalan baru itu mulai diaktifkan untuk dilalui kendaraan. Pengendara lebih tenang saat melintasi zona merah itu karena konstruksi jalan baru lebih kokoh.
Namun belum lama jalan itu dibuka untuk umum, pergerakan tanah kembali terjadi di wilayah tersebut.
Jalan baru itu perlahan tertutup material longsor dari tebing atas jalan, mulai Jumat (8/2) lalu. Gerakan tanah semakin meluas hingga timbunan longsor di jalan kian meninggi.
Kini, tanah penyangga jalan ikut bergerak hingga menyebabkan badan jalan itu ambles atau tertarik longsor.
"Badan jalan sudah lenyap entah kemana. Ini masih terus gerak terus tanahnya," kata Kepala Desa Paweden Nislam Suharno, Rabu (14/2)
Pembangunan jalan bernilai miliyaran itu pun seakan percuma. Pemerintah rutin menggelontorkan dana untuk memperbaiki jalan yang sering rusak tergerus longsor tersebut.
Namun, kata Nislam, hasil perbaikan yang telah dilakukan tidak pernah bertahan lama. Jalan kembali hancur karena pergerakan tanah yang menyangga jalan itu terus bergerak.
Sejarah pergerakan tanah di wilayah ini ternyata dimulai sejak puluhan tahun silam. Saat masih duduk di bangku SMP, sekitar tahun 1970 an, Nislam sudah menyaksikan pergerakan tanah di wilayahnya itu.