Kisah Haru Pensiunan Guru, Sudah Sakit-sakitan, Masih Harus Merawat 2 Anaknya yang Difabel Sendirian
Di usia senjanya, ia begitu ikhlas merawat anak-anaknya yang merupakan penyandang diffabel sejak puluhan tahun silam.
Editor: Sugiyarto
Laporan Reporter Tribunjogja.com, Ahmad Syarifudin
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Kasih orangtua sepanjang masa, tak lekang zaman, dan tak lapuk oleh waktu.
Kalimat itu rasanya pas untuk menggambarkan perjuangan Mbah Sandiman (78), warga Dusun Manding, RT 08, Manding, Sabdodadi, Bantul.
Di usia senjanya, ia begitu ikhlas merawat anak-anaknya yang merupakan penyandang diffabel sejak puluhan tahun silam.
Ketika tribun Jogja mendatangi rumah sederhananya, Mbah Sandiman keluar dari balik pintu tampak tersenyum menyambut dengan ramah.
Ia berpakaian sangat sederhana. Mengenakan kaus lusuh warna ungu yang samping kanannya telah sobek, serta bersarung kotak-kotak dan berkopiah putih.
Sebagian rambut yang ia miliki telah memutih dimakan waktu.
Tampak memprihatinkan. Ia keluar rumah dengan telapak kaki sebelah kiri dibalut menggunakan plastik hitam dan berjalan tertatih-tatih seakan menahan sakit pada tumpuan kakinya.
"Saya sakit gula. Jadi kaki saya satu jangan sampai kena air," kata Mbah Sandiman, ketika Tribun Jogja menanyakan kondisinya kakinya, Jumat (23/0272018).
Ketika duduk dan suasana yang santai, Mbah Sandiman bercerita, dirinya memiliki penyakit diabetes dan disarankan oleh dokter, luka pada kaki kirinya jangan sampai terkena air supaya tetap kering.
Untuk mengikuti saran sang dokter, maka ia inisiatif untuk membungkusnya menggunakan plastik warna hitam.
Tanpa diminta, Mbah Sandiman kemudian membuka balutan plastik hitam yang membalut kakinya.
Dan pemandangan sangat miris begitu sangat kentara.
Dua jemari kaki Mbah Sandiman hampir putus, dagingnya sudah hilang separoh, tampak tulang putih dari dua jemari itu, dan dipenuhi dengan nanah.
"Awalnya sakit di telapak kaki sebelah kanan. Kaki saya luka parah, kemudian saya potong satu jari kaki saya sebelah kanan menggunakan gunting, pada Desember 2015. Dirawat lima bulan dan kaki kanan sembuh, sekarang gantian luka di kaki kiri," terangnya.
"7 Desember 2017 kemarin, saya sudah lakukan operasi. Dan dua hari sekali perawat PKU Bantul juga datang kesini memeriksa," imbuh dia.
Selepas bercerita tentang kakinya, masih dengan langkah tertatih, ia kemudian mengajak Tribun Jogja masuk ke rumahnya melihat langsung kondisi anak-anaknya.
Mbah Sandiman memiliki tiga anak, anak pertama bernama Eko Nur Rahmat (43), Dwi Nur Bintarti (39), dan Khoirul Samsuri (37). Ketiga anaknya difabel dan hanya terkulai lemah di atas lantai setiap hari.
"Anak pertama saya, Eko Nur Rahmat, baru kemarin pulang, meninggal dunia pada 24 Januari," terang Mbah Sandiman.
Di rumah sederhana itu, tampak dua anak Mbah Sandiman hanya terkulai lemas di lantai. Ketika disapa, sesekali hanya menggeliat menggerakkan tangan dan kepalanya.
Anak kedua, Dwi Nur Bintarti, terkulai di atas karpet di lorong rumah. Ia memegang botol warna hijau yang diisi kerikil sebagai mainnan setiap hari.
"Dwi, Dwi," tutur Mbah Sandiman sembari memegang kepala anaknya.
Mendapat sentuhan dari sang ayah, Dwi tampak menggeliat dan menggerakkan mainannya.
Kondisi tak jauh berbeda juga dialami adiknya, Khoirul Samsuri, ia terbaring tenang di ruang tengah.
Tak ada suara dan kata yang keluar dari mulut Khoirul ketika tribun Jogja mencoba mengajak berinterkasi.
Ia sesekali hanya membuka mata mengatupkan mulutnya.
"Anak-anak saya kondisinya sudah begini sejak lahir," ujar Mbah Sandiman, seakan pasrah pada takdir hidup yang menderanya.
Diakui Mbah Sandiman, selama ini untuk anak-anaknya dirinya tak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat. Bantuan datang kebanyakan justru datang dari swasta yang peduli untuk berbagi.
"Dari Dinas sosial Kabupaten tidak ada. Bantuan ada dari swasta dan uang kasih tiga bulanan dari pemerintah pusat," ujar Mbah Sandiman yang juga sebagai pensiunan guru.
Dijelaskan Mbah Sandiman, untuk memenuhi kehidupan sehari-hadi dirinya dan anak-anaknya ia hanya mengandalkan uang pensiun.
"Uang pensiunan, kalau untuk hidup saya sendiri cukup. Tapi untuk anak saya, tidak cukup," ungkapnya.
Apalagi, masih menurut Mbah Sandiman anak-anaknya sangat membutuhkan protein tinggi sehingga makanannya setiap hari sebesar mungkin harus ikan dan telor asin.
Setiap hari, semenjak istrinya meninggal dunia tahun 2014 silam, ia terpaksa harus melewati hari tuanya seorang diri dengan dua orang anaknya.
Ditinggal istrinya, ia seperti kehilangan teman berbagi. Apalagi, ia sendiri sakit-sakitan.
Beruntung, ia memiliki keponakan bernama Tumarmi yang setiap hari datang menengok kediamannya, untuk membantu mengurus rumah dan merawat anak-anaknya.
"Tua, hidup sendiri, saya sering bingung. Tua sendirian, mau makan saja repot," tutur dia, dengan raut muka tampak sedih. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.