Kementan Mencari Lahan Alternatif untuk Mengatasi Semakin Berkurangnya Areal Sawah Produktif
Kementerian Pertanian bereaksi cepat mencari lahan alternatif untuk mengatasi semakin berkurangnya areal sawah produktif
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pertanian bereaksi cepat mencari lahan alternatif untuk mengatasi semakin berkurangnya areal sawah produktif di tengah upaya keras menggenjot peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai menuju swasembada pangan.
Pilihan jitu itu adalah pemanfaatan lahan rawa (pasang surut dan lebak) yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.
Dilihat dari potensi sumber daya lahan rawa yang tersedia saat ini, Pusat Data Informasi Daerah Rawa dan Pesisir mencatat bahwa lahan yang tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua ini memiliki luasan mencapai 33.393.570 hektare (ha) yang terdiri dari lahan pasang surut seluas 20.096.800 ha dan 13.296.770 ha lahan rawa non pasang surut (lebak).
Sementara menurut catatan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) luasan lahan rawa mencapai 6,4 juta ha. Tetapi yang cocok untuk pertanian hanya sekitar 5,51 juta ha.
Tantangan pengembangannya memang tergolong besar mengingat kondisi lahan rawa yang memiliki tingkat kesuburan rendah, infrastruktur belum berfungsi optimal, indeks pertanaman dan panen masih rata-rata 1 kali setahun, serangan hama dan penyakit tanaman masih tinggi, dan tingkat pendidikan petani di kawasan rawa yang rata-rata rendah.
Namun dengan rekayasa teknis dan sosial ekonomi yang tepat, pemanfaatan lahan rawa ke depan diyakini mampu mendorong peningkatan produksi pangan nasional karena peluang membuka lahan rawa sebagai lahan sawah baru masih terbuka luas.
Optimalisasi lahan rawa yang ada dari kondisi lahan yang belum pernah ditanaman dan lahan yang IP hanya 1 kali setahun dinaikkan menjadi 2 kali setahun, bahkan 3 kali dengan pola pertanaman 2 kali tanam padi dan 1 kali palawija.
Lahan rawa, khususnya lahan pasang surut, menurut Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Dadih Pending Permana, dapat didayagunakan dengan rekayasa sistem pengairan.
Yaitu dengan sistem kanalisasi (sistem tanggul), pembuatan polder dipadu dengan tata kelola air secara modern dengan mesin dalam jaringan irigasi tersier dan atau jaringan irigasi tingkat usaha tani (JITUT) dan perpompaan sehingga bisa mendongkrak indeks pertanaman dari satu kali menjadi dua dan tiga kali (IP 200-300).
Pompa digunakan untuk membuang air saat lahan kelebihan air dan memasukan air pada kanal yang berfungsi sebagai long storage saat musim kemarau dengan system pengelolaan kawasan yang efisien efektif (kluster) antara 100-200 Ha.
Pengelolaan lahan rawa dapat dilakukan dengan memperhatikan dua aspek dasar budidaya yakni, penggunaan benih varietas unggul adaptif dan manajemen kesuburan tanah.
Penggunaan varietas adaptif lahan rawa akan mendorong keberhasilan budidaya tanaman. Jenis varietas yang adaptif terhadap lahan suboptimal ini selain Ciherang juga ada varietas Inpara-1 sampai Inpara-5.
Prinsip dasar pengelolaan air di lahan rawa pasang surut adalah mempertahankan kecukupan air bagi tanaman. Selain itu juga menjaga dan melestarikan tanah agar tidak terganggu secara berlebihan (minimum disturbance), termasuk tersingkapnya pirit yang menjadi sumber kemasaman tanah dan air pada ekosistem rawa ini.
Menurut hasil riset Muhammad Noor, untuk pengembangan kegiatan pertanian di lahan rawa pasang surut, ada beberapa inovasi teknologi pengelolaan air yang bisadimanfaatkan antara lain, Sistem Tata Air Satu Arah (STASA), Sistem Tabat Konservasi (STAKO), Sistem Surjan dan Tukungan, dan Sistem Drainase Dangkal. “Teknologi ini sangat bermanfaat dalam pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut,” katanya.
Dari sisi biaya, pada kesempatan lain Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyebut bahwa lahan pasang surut tidak memakan banyak biaya, baik investasi maupun biaya operasional.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.