Sepenggal Kisah Kehebatan Kapal Kiai Rodjomolo yang Dipakai Adipati Anom Menjemput Puteri Pamekasan
Pada zaman dulu, transportasi air menjadi hal yang tak terpisahkan dari Kasunanan Surakarta.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM - Pada zaman dulu, transportasi air menjadi hal yang tak terpisahkan dari Kasunanan Surakarta.
Letaknya yang berada di dekat Sungai Bengawan Solo membuat perahu atau kapal menjadi alat transportasi yang banyak digunakan oleh masyarakat, termasuk keluarga keraton.
Salah satu kapal yang sering digunakan oleh keluarga Keraton Surakarta adalah Kapal Kiai Rodjomolo.
Pada abad 19, sebagai daerah vorstenlanden yang memiliki kewenangan terhadap wilayahnya, Kasunanan Surakarta memiliki alat transportasi khas yang digunakan untuk melewati daerah perairan.
Transportasi itu berupa yacht, kapal mewah, yang dikenal dengan nama Kiai Rodjomolo.
Nama "Kiai" lazim digunakan untuk segala sesuatu milik raja dan menunjukkan penghormatan kepada penguasa.
Harian Kompas, 2 Maret 1970, menyebutkan, Kapal Rodjomolo berbeda dengan kapal-kapal lainnya.
Kapal tersebut memakai simbol hiasan canthik yang terpasang pada kedua ujung kapal.
Simbol ini terpasang pada halauan dan buritan kapal.
Rodjomolo, dalam pewayangan, merupakan tokoh yang berbentuk dan bersifat setangah manusia dan setengah raksasa.
Matanya melotot, rambut tebal, dan lebat.
Rodjomolo memiliki hidung yang menjorok ke depan disertai kumis tebal, dan digambarkan memiliki taring.
Rodjomolo berasal dari negara Wirotho, di mana dalam lakon "kongso adu djago" dihadapkan untuk berkelahi dengan jagal Berawa.
Pembuatan kapal menggunakan kayu dari pohon jati di Hutan Danalaya, wilayah Wonogiri.
Hutan Danalaya dianggap keramat oleh masyarakat Keraton Surakarta.
Oleh karena itu, tidak ada orang yang berani mengambil kayu secara sembarangan.
Kayu yang berasal dari Hutan Danalaya sudah berumur ratusan tahun dan berukuran besar.
Hilir mudik dari Solo sampai Gresik
Pada masanya, kapal Rodjomolo digunakan untuk hilir mudik dari Solo sampai Gresik.
Penggunaan kapal ini sudah turun temurun mulai dari Paku Buwono IV sampai Paku Buwono IX.
Saat sebelum diangkat menjadi Paku Buwono IX, Pangeran Adipati Anom mempergunakan kapal tersebut untuk menjemput Puteri Pamekasan Madura.
Kapal itu juga pernah digunakan untuk menjemput Puteri Sultan Cakraningrat dari Bangkalan, Madura, yang hendak diperistri oleh Paku Buwono VII.
Ketika iring-iringan pengantin, Kiai Rodjomolo dihiasi oleh berbagai umbul-umbul, panji-panji, bendera-gula kepala, dan bunyi gamelan saat melewati Bengawan Solo.
Di sepanjang Bengawan Solo, masyarakat menyambut dengan antusias.
Pada akhir abad 19, Bengawan Solo sering mengalami banjir.
Ada yang menderita karena banjir, ada pula yang merasa gembira.
Kegembiraan tersebut karena bisa menaiki Kapal Rodjomolo ke dalam kota, mengingat air masuk dan menggenangi hingga wilayah perkotaan.
Secara formalitas, orang-orang keraton memberikan ransum kepada korban banjir dengan manaiki Kapal Rodjomolo.
Setelah peristiwa banjir di Bengawan Solo, muncullah juru selam, juru mudi, dan juru dayung.
Aliran Bengawan Solo kemudian digeser agak ke timur menjelang memasuki kota.
Ketika itu, dibangun pengaman di tepi kota bagian selatan dan timur untuk mencegah banjir.
Dengan adanya tanggul dan hilangnya banjir, berakhirlah tugas Kapal Rodjomolo.
Setelah itu, canthik kapal dicopot dan disimpan sebagai simbol kemegahan.
Hingga saat ini, chantik kepala tersebut disimpan di Museum Keraton Surakarta dan di Museum Radya Pustaka.
Pada hari tertentu, selalu diberi sesaji lengkap dengan tujuan menghormati penunggu canthik perahu. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.