Kisah Dua Abdi Dalem Masjid Pajimatan Imogiri
Tak sulit menuju Masjid Pajimatan Imogiri. Yang pernah berziarah ke Makam Raja Imogiri Bantul di sisi selatan Yogyakarta
Editor: Hendra Gunawan
Selain kejadian mistis yang ia temui, ada hal lain yang membuatnya selalu memaknai Masjid Pajimatan Imogiri dengan sudut pandang beda. Yaitu sejarah Masjid yang tak bisa dipisahkan dari Kerajaan Mataram.
Sejarah berdirinya Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta masih tersisa di masjid ini.
“Sisa kelicikan penjajah saat memecah belah Kerajaan Mataram saat itu memang masih terasa. Di masjid ini ada dua jam berukuran besar. Satu dari Kasultanan Yogyakarta dan satu lagi dari Kasunanan Surakarta. Masing-masing dipasang di sudut kanan dan kiri beranda masjid,” kata Abdul.
Pagar masjid, bedug dan lemari masjid diketahui juga dibuatkan oleh Yogyakarta dan Surakarta.
Imam masjid, dulunya, menurut Abdul juga bergantian, dengan status imam dari Surakarta dan Yogyakarta. Tapi itu, terjadi ketika penjajahan Belanda masih begitu kuat di Indonesia.
Selain itu, abdi dalem yang berjaga juga ada dua. Meskipun kedua abdi dalem berasal dari warga setempat, namun status mereka adalah abdi dalem dari Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Gaji kedua abdi dalem juga dibayar oleh masing-masing keraton, Yogyakarta dan Surakarta.
Tapi pandangan Abdul, perbedaan yang terlihat baik dari dua buah jam maupun dua abdi dalem yang berbeda tak lebih dari sisa kelicikan penjajah ketika dahulu memecah Kerajaan Mataram.
Selebihnya, perbedaan itu menjadi simbol sinergi antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Lebih dari itu, masyarakat sekitar masjid juga memaknai keberadaan masjid sebagai media pemersatu.
Karena kompleks masjid ini masuk dua wilayah berbeda. Bangunan masjid masuk wilayah Dusun Pajimatan, Girirejo, Imogiri sementara pelataran masjid masuk wilayah Dusun Kedung Buweng, Wukirsari, Imogiri.
“Masyarakat dua desa bersama takmir sama-sama merawat masjid dan memanfaatkan masjid ini untuk beribadah dan melakukan tadarus bersama. Masjid itu pemersatu kami,” kata pria berambut putih yang kini telah berusia 72 tahun tersebut. (susilo wahid)