Kasus Pelecehan Seksual di Bali Besar, Media Sosial Sangat Berpengaruh
Media sosial (medsos) memberi pengaruh besar. Banyak anak jadi korban setelah saling kenal di dunia maya.
Editor: Hendra Gunawan
Korban Disabilitas
Anggreni juga mengungkap bahwa trend kasus kekerasan seksual saat ini justru lebih banyak terjadi pada anak-anak atau perempuan yang mengalami disabilitas atau gangguan psikologis.
Meskipun usia wanita tersebut sudah tergolong dewasa, namun menurut Anggreni sebetulnya psikologis wanita tersebut masih anak-anak lantaran mengalami gangguan mental.
“Untuk korban yang disabilitas ini banyak sekali terjadi di Bali. Terkadang sampai diperkosa berkali-kali, sampai tidak diketahui siapa orang yang menghamili korbannya. Di sana kadang polisi kebingungan biasanya,” ungkap Anggreni.
Selain itu, dalam beberapa kasus juga sempat ada pelaku kekerasan seksual pada anak justru dari panti tempat si anak dititipkan.
Sempat terjadi kasus ternyata dalam sebuah panti ada keluarga pemilik panti yang malah menjadikan anak asuh sebagai objek pelampiasan seksual.
“Jadi si anak bukannya mendapatkan pertolongan, malah mendapatkan kekerasan,” ungkap Anggreni.
Selama mendampingi anak yang menjadi korban kekerasan seksual, lanjut Anggreni, para pelaku juga kerap membela diri dengan dalih suka sama suka.
Namun dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undangan nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur bahwa meskipun suka sama suka, apabila korban adalah anak, pelaku tetap dikenakan hukuman minimal 5 tahun penjara, atau maksimal 15 tahun penjara.
Kehilangan Masa Depan
Dalam banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak, kerap kali masyarakat khususnya di pedesaan malah menikahkan pelaku dengan korban.
Anggreni mengatakan tindakan keliru ini banyak terjadi di masyarakat sehingga menyebabkan si anak yang sudah diperkosa, kemudian harus kehilangan masa depannya.
“Misalnya kalau korbannya masih SD, SMP, kalau dinikahkan selesai sudah masa depan mereka. Itu banyak terjadi di Bali, khususnya di Bangli,” ungkap Anggreni.
Masyarakat masih banyak yang belum paham aturan sehingga ketika terjadi kasus anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan hamil, masyarakat biasanya fokus ke siapa yang bertanggungjawab atas kehamilan tersebut, agar bisa dinikahkan.
“Padahal, dalam Undang-Undang Kesehatan, jika korban pemerkosaan, itu bisa aborsi asalkan memenuhi syarat kan. Atau cari jalan lain asal tidak menikahkan anak itu dengan pelaku,” jelas Anggreni.
Terhadap kasus-kasus begitu, Anggreni mengaku pihaknya sudah menyarankan kepada pihak keluarga dan pihak desa setempat agar tidak menikahkan pelaku dengan korban sebagaimana warga lainnya menikah seperti biasa.