Kasus Pelecehan Seksual di Bali Besar, Media Sosial Sangat Berpengaruh
Media sosial (medsos) memberi pengaruh besar. Banyak anak jadi korban setelah saling kenal di dunia maya.
Editor: Hendra Gunawan
Namun, dengan alasan agar desa tidak cuntaka alias “leteh”, maka keduanya tetap dinikahkan.
“Saya herannya kenapa yang menjadi fokus adalah pernikahan. Harusnya kan yang dipikirkan bagaimana menyiapkan persalinan anak. Karena anak-anak kan sebenarnya belum siap melahirkan. Nah bagaimana agar si anak itu bisa selamat,” tutur Anggreni.
Pihaknya kerap melarang pelaku kekerasan seksual untuk menikahi korban, karena selama ini banyak pasangan yang menikah karena alasan kehamilan tidak diinginkan biasanya rumah tangga mereka tidak harmonis.
“Takutnya nanti dia sering jadi korban KDRT. Biasanya itu yang terjadi,” ungkap Anggreni.
Dari banyak kasus yang sempat ia damping, Anggreni mengungkap paling banyak terjadi di Kabupaten Bangli.
Di Bangli paling banyak terdapat perkawinan usia dini yang berujung poligami hingga berkali-kali.
“Kasus itu banyak saya temui di Bangli. Karena nikahnya usia anak-anak, ada yang bahkan poligami sampai tiga empat kali di Bangli. Ini realita. Jadi begitu rentetan anak korban kekerasan seksual. Sudah masa depan hilang, rentan KDRT, dan rentan dipoligami,” tandasnya.
Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho, juga memiliki pemikiran yang sama terkait dengan korban kekerasan seksual pada anak yang kemudian dinikahkan dengan pelaku.
Bagi dosen muda ini, apabila menikahkan pelaku dengan korban kekerasan seksual, sama halnya dengan menjadikan si anak sebagai korban perkosa seumur hidup.
“Itu bukan solusi. Jika itu terjadi, berarti sang wanita menjadi korban perkosaan seumur hidupnya,” kata Wahyu. ( I Wayan Erwin Widyaswara)
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Kenal Seminggu Langsung Dipaksa Berhubungan, Medsos Pengaruhi Peningkatan Kasus Kekerasan Seksual,