Satuan Muadalah Tak Diberi Tempat, Ratusan Kiai Protes RUU Pesantren
"Dalam draf RUU Pesantren yang terakhir, satuan muadalah tidak diberi tempat. Wajar kalau kita mengkritisi" ujar KH. Abdillah Nawawi
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, BATANG - Ratusan kiai sepuh memprotes draf RUU Pesantren yang diajukan DPR baru-baru ini. Draf itu dinilai belum mengakomodir aspirasi banyak pesantren di Indonesia yang tergabung dalam FKPM (Forum Komunikasi Pesantren Muadalah).
"Dalam draf RUU Pesantren yang terakhir, satuan muadalah tidak diberi tempat. Wajar kalau kita mengkritisi" ujar KH. Abdillah Nawawi dari Tremas, dalam pertemuan Tim Khusus FKPM di Pondok Modern Tazakka, Batang, Jateng (16/9).
Pondok-Pondok pesantren yang menganut satuan pendidikan muadalah tidak sedikit, dan kebanyakan merupakan pesantren-pesantren besar dan tua.
Antara lain Pondok Pesantren Tremas (Pacitan), Sidogiri (Pasuruan), Al-Anwar Sarang (Rembang), Lirboyo (Kediri), Tebuireng (Jombang), Gontor (Ponorogo), Al-Amien Prenduan (Madura), Mathaliul Falah Kajen (Pati), Al-Ikhlas (Kuningan), Al-Ikhlas (Sumbawa Barat), Darussalam (Garut), Darunnajah (Jakarta), Al-Basyariah (Bandung), dan Tazakka (Batang), serta ratusan pesantren lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jutaan santri.
“Terus terang kami terkejut. Soalnya, sebelumnya kami sudah memberikan masukan dan revisi terhadap RUU Pesantren ini. Kami bahkan sudah beraudiensi dengan pimpinan DPR untuk menyerahkan usulannya,” tandas KH. Subhan Salim dari Mathaliul Falah, Kajen Pati.
Menurut KH. Subhan Salim, waktu bertemu dengan Fraksi PPP dan Fraksi PKB sebagai inisiator RUU dan Baleg DPR, draf usulan kami tampaknya disetujui. “Lha kok tiba-tiba muncul draft baru yang sama sekali berbeda. Ini maksudnya apa dan maunya bagaimana?" tambah KH. Subhan Salim.
Sementra itu, menurut Ketua FKPM, KH. Amal Fathullah Zarkasyi, draf RUU Pesantren yang ada sekarang terlalu dominan pembahasannya tentang pendidikan diniyah, baik formal maupun informal. Padahal, ada banyak sistem dan pola lain di luar pendidikan diniyah, seperti pendidikan pesantren itu sendiri dan satuan pendidikan muadalah.
“Draft RUU Pesantren yang telah direvisi itu secara konten telah disetujui oleh 200an kiai se-Jawa, sehingga lahirlah Peraturan Menteri Agama (PMA) tahun 2014,” ujar KH. Amal Fathullah.
Menurut KH. Anang Rikza dari Pondok Modern Tazakka, perubahan draf RUU Pesantren yang muncul terakhir ini bisa dianggap melecehkan para kiai. “Kok tiba-tiba tanpa pemberitahuan berubah semuanya. Jelaslah para kiai ini tidak terima" sahut Kiai Anang.
Ditambahkan oleh KH. Dr. Tata Taufik, dari Pesantren Al-Ikhlas Kuninga, jika RUU ini tidak memberi tempat PMA, apalagi yang keluar berbeda, maka wajar jika menimbulkan kekecewaan dan protes keras dari banyak pesantren.
"Kalau begitu namanya bukan ingin meneguhkan peran pesantren dalam konteks mencerdaskan bangsa, tapi justru akan meminggirkan," tandas KH Tata.
RUU Pesantren, lanjut Kiai Tata, sudah sewajarnya ada. Sebab, ini bentuk penghargaan negara kepada pesantren. "Pesantren itu kan khas pola pendidikan Indonesia dan kontribusinya bagi bangsa ini tidak kecil. Selama ini hanya menjadi sub-sistem pendidikan, padahal keberadaan dan eksistensinya sangat besar. Maka RUU Pesantren ini harusnya menguatkan, bukan melemahkan yang sudah ada. Harus mengakomodir semua, dan yang paling penting adalah menjaga independensi dan kekhasan pesantren," paparnya.
Rencananya para kiai dalam waktu dekat akan bertemu DPR RI dan Menteri Agama untuk meminta penjelasan mengenai draf RUU ini. Kementerian Agama melalui Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Dr. A. Zayadi juga akan menggelar pertemuan khusus dengan para kiai di Semarang Jawa Tengah akhir September ini.
"Kita akan meminta penjelasan, karena dulu kita sampai datangi DPR lho, itu karena kebesaran hati para kiai pesantren agar RUU itu ketika menjadi UU bisa membawa maslahat banyak untuk pesantren" pungkas Kiai Tata.