Kisah Aji dan Rendi, Sempat Terseret Tsunami saat Terjang Palu, Selamat karena Pegangan Balok
AJI dan Rendi merupaka anggota Air Soft Gun asal Samarinda yang saat kejadian gempa dan tsunami sedang berada di Palu
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, PALU - Dua warga Samarinda, Aji Andre dan Rendi Saputra menjadi saksi tragedi gempa dan tsunami di Palu, Donggala, dan Sigi, Sulawesi Tengah.
Bahkan keduanya nyaris menjadi korban, karena sempat tenggelam terbawa arus tsunami. Beruntung, keduanya masih bisa menyelamatkan diri hingga akhirnya bisa kembali ke Kaltim.
AJI dan Rendi merupaka anggota Air Soft Gun asal Samarinda yang saat kejadian gempa dan tsunami sedang berada di Palu.
Kepada Tribun saat ditemui di Kafe Antara, Samarinda, mereka berbagi cerita pengalaman tragis yang hampir merenggut nyawanya tersebut.
"Kami ke Palu atas undangan panitia HUT Kota Palu. Ini tahun ketiga kami mengikuti kegiatan Air Soft Gun. Saat itu, ada dua tim asal Samarinda yang sudah berada di Palu, yakni DSA serta SS1 Samarinda. Jumlahnya sekitar 16 orang," ujar Aji Andri membuka kisahnya, Rabu (3/10/3018).
Tiba di Palu, Kamis (27/9), rombongan tim Air Soft Gun Samarinda sempat bermalam satu hari sebelum gempa terjadi Jumat (28/9) esok harinya.
"Kamis kami tiba di Palu. Sempat menginap di Guest House Asni. Kemudian Jumat, kami agendanya technical meeting di salah satu hotel. Mulai dari sana, pukul 15.00 waktu setempat, sudah terjadi gempa. Itu satu jam sebelum TM. Saat itu gempa masih tak terlalu besar. Kami sempat melakukan TM, pendaftaran dan sebagainya," ucapnya.
Gempa kedua kembali terjadi. Aji Andri dan teman-teman sudah mulai terpisah. Ada yang masih berada di hotel tempat lokasi TM, dan apa pula yang berada di pinggir pantai. Ini karena lokasi hotel berada di perkampungan nelayan.
"Tiba-tiba pukul 18.00 Wita, jelang Maghrib, kembali terjadi gempa. Kali ini gempa berkekuatan besar. Gempa membuat hotel ambruk di beberapa bagian. Saat kejadian saya sedang duduk di pinggir pantai. Begitu gempa, kami laria ke tengah jalan. Saat itu, kami sudah lihat air laut mulai surut, dan kemudian kami putuskan naik menuju ke perbukitan sekitar 1 km jauhnya," tutur Aji.
Suasananya saat itu sudah mulai chaos (ribut). Beberapa warga maupun siapapun yang ada terlihat mulai berlarian mencari tempat aman. Apalagi mulai muncul informasi adanya tsunami.
"Semua warga naik ke atas bukit. Bangunan sudah mulai runtuh, semuanya berlarian. Memegang aspal saja tak sempat. Kami diangkat dan digoncang gempa bumi," ucapnya.
Dari lokasi awal sampai ke hotel, Aji dan teman-teman lain berjalan kaki bersama beberapa warga lain. Di sisi kanan kiri, itu bangunan sudah mulai hancur. Begitu juga dengan jalan. Keduanya ikuti arah bukit yang dianggap aman.
Efek gempa dan tsunami, ikut dirasakan Rendi Saputra, yang saat kejadian terjadi justru sempat terbawa arus tsunami kecil yang terjadi.
"Saat itu putuskan kembali ke hotel lokasi TM. Karena ada ketinggalan tas yang isinya ada ponsel, KTP, dan lain-lain. Ketika saya masuk, bangunan sudah runtuh," kata Rendi.
Ketika sudah berada di bangunan itulah, tsunami mulai terjadi dan ikut menyeret Rendi. Beruntung, ia bisa selamat karena berpegangan tiang balok tersisa yang ada di lokasi hotel.
"Saya hanya berpikir selamatkan diri. Di reruntuhan hotel hanya bisa berpegangan tiang balok hotel. Ada sekitar 10 detik saya tenggelam dan juga terseret arus. Ada mobil lewat terseret air, korban minta tolong, papan, dan yang lainnya. Itu sekitar 10 detik, termasuk terminum air," ungkapnya.
Saat air mulai surut, barulah ia bisa menyelamatkan diri. Beruntung, arus tsunami yang menghantam daratan tidak terlalu lama.
"Saya hanya diam di tempat, berpegangan dengan tiang balok. Kemudian air sudah mulai surut. Sudah tak bisa menolong, karena berpegangan dengan tiang. Kalau tsunami yang pertama itu masih kecil, tsunami yang kedualah yang gelombangnya tinggi," kata Rendi.
Setelah air surut, Rendi menuju bukit. Tiba di salah satu bukit itulah, semuanya sempat berkumpul menahan lapar.
"Kami sepakat, semua orang tak boleh terpisah. Ketika sudah terkumpul, baru kami kembali ke lokasi Guest House Asni. Dua malam kami stay (tinggal) di parkiran hotel. Baru setelah kami merasa tak bisa terevakuasi, kami putuskan ke bandara," katanya.
Penjarahan dan harga barang yang tinggi juga ikut dirasakan tim Air Soft Gun asal Samarinda tersebut.
"Ya barang mahal. mie instan satu kardus bisa Rp 150 ribu. Tetapi itu hanya hari pertama dan kedua. Hari ketiga itu sudah chaos sekali. Ada toko yang sudah mulai diambil oleh warga," katanya.
Kondisi hari selanjutnya, justru semakin parah. Bahkan hawa busuk bau mayat diprediksi sudah menyeruak ke seluruh Kota Palu. Beruntung, seluruh tim Air Soft Gun asal Samarinda berhasil dievakuasi dan selamat hingga kembali ke Kaltim. (anj/dmz)