Petani Kentang di Lereng Dieng Bantah Tudingan Sebagai Perusak Lingkungan
Warga Desa Gerlang yang mayoritas mengandalkan perkebunan kentang sebagai mata pencaharian tak mau dianggap sebagai perusak lingkungan.
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Budi Susanto
TRIBUNNEWS.COM, PEKALONGAN - Warga Desa Gerlang yang mayoritas mengandalkan perkebunan kentang sebagai mata pencaharian tak mau dianggap sebagai perusak lingkungan.
Hal itu tidak lepas dari PDAM Kabupaten Batang yang menganggap alih fungsi lahan di lereng pegunungan Dieng utara, di mana para petani kentang Desa Gerlang bercocok tanam sudah memprihatinkan.
Adanya pembukaan lahan untuk ladang kentang dinyatakan berpengaruh terhadap penurunan debit air, hal tersebut ditepis petani.
Dengan luasa 1928,24 hektar dan jumlah penduduk 3.584 jiwa, penduduk Desa Gerlang memanfaatkan areal dari Perhutani untuk ladang kentang.
Dijelaskan Wawan Susanto (27) satu di antara petani, kentang menjadi mata pencaharian warga Desa Gerlang.
"Walaupun kami memanfaatkan tanah milik perhutani tapi bagian lereng pegunungan tidak pernah dibuka oleh warga, kami juga sadar, kalau semua dibuka longsor ataupun bencana lainya, termasuk kelangkaan air akan terjadi," katanya, Selasa (13/11/2018).
Wawan menambahkan, pihak Perhutani rutin melakukan sosialisasi dengan para petani.
"Bahkan ada wacana bercocok tanam jeruk.
"Kalaupun kami yang berlebihan pasti pihak Perhutani sudah menegur kami," paparnya.
Ditambahkannya, jika air sulit bukan hanya warga Batang di pesisir yang kesusahan, para petani juga tidak akan produktif karena lebih membutuhkan banyak air.
"Selama ini kami memanfaatkan sumber air dari Danau Sidringo, lereng-lereng di pegunungan Dieng utara ikut kami jaga, kami juga tidak mau alam yang memberikan semuanya kepada petani rusak."
"Bahkan jika ada pembalakan liar ataupun pemburu satwa, warga tak segan mengusir," tambahnya.
Adapun Teguh (46) petani lainya, menjelaskan, petani kentang sangat mendukung adanya reboisasi, bahkan tak jarang warga melakukan secara swadaya.
"Harga kentang saja turun jauh sekali di musim hujan, dulu beberapa bulan lalu tembus Rp 12 ribu, namun sekarang Rp 6 ribu.
"Belum mahalnya perawatan dan pestisida, untuk 250 meter persegi ladang kentang saja kami habis sekitar Rp 9-11 juta selama tiga bulan dari masa tanam hingga panen."
"Jika alam sekitar rusak kami juga yang dirugikan," tuturnya.
Pria 46 tahun tersebut menambahkan, jika ada permasalahan terkait debit air ataupun alih fungsi lahan bisa didiskusikan agar bisa disepakati solusinya.
"Kami para petani juga punya masalah, jangan sebut kami perusak lingkungan, karena kami juga mengandalkan alam di lereng pegunungan Dieng utara untuk mencukupi kebutuhan keluarga," ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.