Kasus Ibu Gendong Bayi Lompat dari Jembatan Sungai Serayu: Perilaku Aneh Hingga Pendapat Ahli
Seorang ibu sambil menggendong bayinya melompat dari jembatan Sungai Serayu perbatasan Kecamatan Maos dan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah
Penulis: Adi Suhendi
Dikutip dari kompas.com, Kustiono (60), warga Desa Karangreja, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap mengaku, jenazah yang ditemukan merupakan anaknya.
Korban pergi bersama anak keduanya, Yunus yang baru berumur empat bulan.
"Saya sama istri pergi ke Pasar Adipala, dia (korban) sama anaknya dan adiknya di rumah. Katanya pergi dari rumah bawa anak yang kedua sekitar pukul 09.30 WIB, tapi adiknya tidak tahu pergi ke mana," katanya, Sabtu (27/4/2019).
Kustiono bersama keluarga yang lain lantas berupaya mencari korban.
Baca: Kronologi Lengkap Kasus Mutilasi Budi Hartanto: Peristiwa di Warung Nasi Goreng Hingga Adik Pelaku
Kustiono yang mendengar informasi adanya wanita dan anaknya terjun dari jembatan juga sempat mendatangi lokasi kejadian untuk memastikan.
Kustiono (60) pun menceritakan bila korban setelah melahirkan anak kedua, sempat kesulitan memberi ASI.
Korban juga menjaga jarak dengan anak yang baru dilahirkannya.
"Punya penyakit, tapi sudah normal sekarang, sudah berobat. Dua tiga bulan ini sudah menyusui anaknya, sebelumnya jaga jarak," katanya, Sabtu (27/4/2019).
Kustiono mengatakan, sebelum kejadian, korban tidak ada persoalan dengan keluarga.
Bahkan, pada pagi hari korban masih bercanda dengan anak dan adiknya di rumah.
"Setelah melahirkan, tinggal di rumah saya. Sama anaknya awalnya cuek, sekarang sudah normal," ujar Kustiono.
Pendapat ahli
Dikutip dari kompas.com Septiana Prihapsari diduga mengalami depresi post-partum atau pasca-persalinan.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Dr Ugung Dwi Ario Wibowo MSi menjelaskan, depresi bisa terjadi karena kerentanan mental, situasi tertekan dalam jangka waktu lama atau bisa juga karena faktor hormonal.
"Depresi post-partum levelnya di atas baby blues. Baby blues bisa terselesaikan dalam waktu satu atau dua minggu. Setelah dua minggu, kalau tidak terselesaikan, bisa jadi depresi post-partum," katanya saat dihubungi, Minggu (28/4/2019).
Baca: Mata Terkena Cairan Pembersih, ABK Kapal Asal Saudi Dievakuasi di Banda Aceh
Satu indikasi depresi post-partum, lanjut Ugung, penderitanya akan menutup diri, murung, berhalusinasi, muncul perasaan ingin menyakiti dirinya sendiri atau anaknya hingga muncul keinginan untuk bunuh diri.
"Kalau itu tidak segera diperiksakan akan menjadi psikosis post-partum, itu sudah positif gangguan jiwa berat," ujar Ugung.
Menurut dia, untuk kasus Septiana, korban diduga mengalami depresi post-partum.
Pada fase tersebut, penderita semestinya mendapat pendampingan dari psikolog atau psikiater dan mengkonsumsi obat antidepresan.
"Tapi biasanya terlambat atau karena ketidakmampuan finansial, itu tidak dilakukan," kata Ugung.
Lantas bagaimana menolong seorang ibu bisa depresi pascamelahirkan?
Menurut Ugung, ibu pasca-melahirkan membutuhkan pendampingan dari orang-orang di sekitarnya.
Apabila seseorang mengalami baby blues, lanjut dia, sebenarnya dapat diselesaikan bersama dengan orang-orang di sekitarnya.
Ugung menganalogikan fenomena baby blues dengan seseorang yang mengalami putus cinta.
"Misal (korban) bullying, akan menutup diri tapi kemudian bisa move on, putus cinta mengurung diri, tapi ketika fase move on akan kembali. Baby blues juga demikian. Tapi masalahnya, kalau tidak bisa keluar, akan jadi masalah (misal) ingin menyakiti diri sendiri atau orang lain," ujar Ugung. (kompas.com/ tribunjateng.com)