Isi Kitab Kuno Berumur Empat Abad di Mojokerto Terungkap, Ada Tulisan Tangan KH Hasyim Asyari
Selama 400 tahun lamanya, kitab-kitab tersebut tersimpan rapi dalam sebuah lemari kaca berukuran 1,5 meter X 70 sentimeter, di kediaman Kiai Muhammad
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, MOJOKERTO - Secara fisik, manuskrip atau kitab kuno tulisan tangan dengan huruf Arab itu tampak sudah usang.
Bahkan beberapa di antaranya sudah tak utuh karena termakan usia maupun rayap. Meski demikian, huruf demi huruf masih terbaca begitu jelas.
Warnanya sudah terlihat kuning kecokelatan. Sepintas, goresan tinta kitab tersebut tertulis di atas kertas. Akan tetapi, ada salah satu kitab yang ternyata di tulis di atas bahan kulit.
Selama 400 tahun lamanya, kitab-kitab tersebut tersimpan rapi dalam sebuah lemari kaca berukuran 1,5 meter X 70 sentimeter, di kediaman Kiai Muhammad Rofii Ismail.
Tepatnya di Pondok Pesantren As-Sholichiyah atau Pondok Penarip, Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto.
Kiai Muhammad Rofii Ismail adalah cucu dari Kiai Muhammad Ilyas pendiri Pondok Penarip, Kota Mojokerto.
”Kalau dilihat memang sama dengan kertas, tapi ketika disentuh akan terasa kalau terbuat dari kulit,” terang Kiai Muhammad Rofii Ismail sambil menunjukkan bahan dari kitab itu di kediamannya, Rabu (08/05/2019).
Begitu disentuh, media tulisan itu terasa sedikit keras dibandingkan kertas. Pun demikian dengan goresan tinta yang tampak lebih tajam. Menurut Kyai Rofii, kitab tersebut merupakan kumpulan dari ilmu nahwu dan saraf.
”Di halaman akhir juga ada manuskrip tahlil yang semuanya dibendel menjadi satu,” terangnya.
Sedikitnya, ada enam kitab yang ada di lemari kaca tersebut. Namun, hanya satu yang terbuat dari bahan kulit. Sementara selebihnya terbuat dari kertas.
"Namun kitab-kitab yang terbuat dari kertas teryata dari hasil penelitian beberapa ahli yang datang kesini merupakan kertas dengan kualitas terbaik,” ungkapanya.
Menurut Gus Rofii, semuanya merupakan kitab peninggalan Kyai Ilyas. Selain sebagai bahan mengajar para santri, kitab tersebut juga diperkirakan dimiliki Mbah Ilyas saat menimba ilmu di pesantren.
”Sebenarnya banyak kitab kitab peninggalan beliau, namun karena khawatir tidak bisa merawat, jadi sebagaian kitab peninggalan di berikan kepada para saudaranya dan kerabat. Jadi saat ini Hanya kitab-kitab ini peninggalannya Mbah Yai (Kyai Ilyas) ,” jelas Ketua MUI Kota Mojokerto ini.
Kitab-kitab tersebut bertuliskan tentang ajaran ilmu tasawuf, tafsir Jalalen, Nahwu shorof, fiqih, dan Alquran.
Kyai Rofii menuturkan, satu-satunya kitab yang merupakan hasil tulisan tangan dari Kiai Ilyas adalah Alquran.
”Yang saya kenali dari tulisan tangan Mbah Yai itu hanya mushaf Alquran, kalau kitab yang lainwallahualam. Karena bisa jadi dulu kitab ini turun temurun,” ujarnya.
Dari sejumlah kitab kuno ini, Kyai Rofii menyebutkan memiliki massa sendiri-sendiri, seperti Alquran ini sudah berusia kurang lebih 200 tahun, sedangkan kitab lainnya di perkirakan berusia 400 tahun.
Dulu, semasa hidup, kiai yang dikenal dengan panggilan Kiai Sholeh ini memiliki pekerjaan sebagai penulis kitab suci Umat Muslim ini.
”Setiap satu Alquran tulisan tangan diberi upah satu ekor sapi. Dan membuat satu mushaf membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun,” urainya.
Peninggalan lainnya yang tak kalah menarik perhatian ialah secarik kertas tulisan tangan dari salah satu pendiri Nahdatul Ulama (NU) Kiai Hasyim Ashari.
Dalam keteranggannya, surat yang ditulis menggunakan huruf pegon (huruf Arab dengan bahasa Jawa) itu dibuat di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang ditujukan kepada Mbah Sholeh.
Pada pojok kiri atas, surat.tersebut tertulis tanggal 13 Rabius Tsani 1359 Hijriah atau berkisar antara bulan Juli-Agustus tahun 1940 silam. Gus Rofii mengaku tidak mengetahui pasti inti dari surat yang dikirim oleh Mbah Hasyim itu.
Menurutnya, tidak ada hal khusus dijelaskan pada selembar surat tersebut. Hanya saja di dalamnya menyebutkan bahwa Mbah Hasyim sudah menerima utusan Kiai Sholeh yang bernama Ghozali yang telah diterima dan jawabannya diberikan secara lisan melalui utusan tersebut.
”Jadi isi surat belum jelas yang ditanyakan itu apa,” terangnya.
Apapun itu, hal yang dibahas dari kedua tokoh ulama besar itu bisa jadi merupakan persoalan yang rahasia.
Sehingga pesan yang disampaikan tidak bisa dituliskan langsung dalam surat. Jawaban hanya diberikan dengan perantaraan seorang utusan yang bisa dipercaya.
Yang cukup menarik dalam surat itu, Kiai Hasyim menyebut nama Kiai Ilyas dengan sebutan penghormatan Hadratussyeich.
Bisa jadi, penyematan gelar tersebut merupakan sebuah penghormatan dari sang kiai kepada Mbah Ilyas.
”Karena tidak semua bisa diberikan sebutan hadratussyeich, karen ada persyaratan-persyaratannya. Salah satunya hafal Alquran dan kitab-kitab lainnya,” pungkasnya.