Kehabisan Persediaan Makanan dan Obat, Mantri Patra Meninggal saat Mengabdi di Pedalaman Papua
Petugas Medis, Mantri Patra meninggal dunia saat mengabdi di pedalaman Papua, tak kunjung dijemput hingga kehabisan persediaan makanan dan obat-obatan
Editor: Fitriana Andriyani
TRIBUNNEWS.COM - Saat menjalankan tugas di daerah pedalaman Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, seorang petugas medis meninggal dunia.
Petugas medis yang akrab disapa Mantri Patra tersebut bernama asli Patra Marinna Jauhari.
Tak berpikir dua kali ketika mendapat tugas di pedalaman Teluk Wondama, Mantri Patra hanya berbekal panggilan hati untuk menyelamatkan mereka yang terpinggir dan terlupakan,
Sudah empat bulan lebih ia bergumul dengan masyarakat di Kampung Oya, Distrik Naikere, Teluk Wondama.
Baca: Kisah Pengabdian Mantri Patra di Pedalaman Papua, Helikopter Pemda Baru Tiba 4 Hari Usai Kematiannya
Baca: Anak di Bawah Umur Kini Ikut Jadi Pejuang Papua Merdeka
Dia memilih setia dalam tugas di saat rekan kerjanya pulang dan tak kembali lagi.
Dalam kesendirian dia tetap melayani hingga akhirnya ajal menjemput.
Petugas medis dari Dinas Kesehatan Teluk Wondama ini berada di Kampung Oya sejak Februari 2019.
Ia adalah satu dari sekian tenaga kesehatan yang ditunjuk untuk memberikan pelayanan di daerah pedalaman.
Oya merupakan salah satu kampung di pedalaman distrik Naikere yang masih terpencil dan terisolasi. Tidak ada jalan darat, apalagi sarana telekomunikasi.
Baca: Papua Kini Punya Venue Berstandar Internasional, Indonesia Siap Jadi Tuan Rumah Olimpiade 2032
Baca: Stadion Akuatik di Papua Gunakan Teknologi Secanggih yang Ada di Stadion Akuatik GBK
Wilayah di perbatasan antara Teluk Wondama dan Kabupaten Kaimana ini hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau menggunakan helikopter.
Untuk mencapai pusat distrik di Naikere, warga setempat biasanya berjalan kaki selama tiga sampai empat hari.
Jalanan yang dilewati masih berupa jalan setapak menyusuri gunung dan lembah di tengah hutan belantara.
Pada awal Februari lalu, Mantri Patra bersama seorang rekan diantar dengan helikopter ke Kampung Oya.
Mereka dijadwalkan bertugas selama tiga bulan dari Februari hingga Mei untuk kemudian dijemput kembali diganti petugas berikutnya.
Hingga akhir Mei 2019 belum juga ada helikopter yang datang menjemput.
Persediaan bahan makanan berupa beras dan minyak goreng yang dibawanya tiga bulan lalu pun telah lama habis.
Demikian pula stok obat-obatan. Semuanya telah habis dipakai.
Baca: Papua Bakal Punya Istana Olahraga Lebih Besar dari Istora Senayan
Baca: Kemegahan Stadion Papua Bangkit yang Sudah Selesai Dibangun
Namun, Patra tinggal seorang diri dan tetap bertahan setelah temannya sesama perawat memutuskan turun ke kota Wasior dengan berjalan kaki.
Dia terus memberi pelayanan medis dengan kondisi apa adanya. Untuk mengisi hari, bujangan kelahiran 1988 ini selalu berintekrasi dengan warga setempat, dari berkunjung ke rumah warga, bermain bersama pemuda setempat, hingga ikut berkebun bersama warga.
"Tiap sore dia pergi dengan anak-anak menyanyi-menyanyi," kata seorang warga Oya yang dikisahkan Kepala Puskesmas Naikere Tomas Waropen di Wasior, Minggu (24/6/2019).
Hari terus berlalu, helikopter yang ditunggu tak juga tiba, tetapi kesetiaan Patra tetap tak luntur. Dia terus bertahan meski di hatinya memendam kecewa terhadap instansi tempatnya bekerja hingga akhirnya dia jatuh sakit.
Mengetahui kondisinya kian memburuk, seorang warga Kampung Oya memutuskan berjalan kaki untuk memberitahukan kondisi sang mantri kepada kepala Puskesmas Naikere.
Meskipun demikian, tetap saja tidak ada helikopter yang datang untuk mengevakuasinya ke kota guna mendapat perawatan medis. Pada 18 Juni 2019, Patra mengembuskan napas terakhir di tempat tugasnya di Oya.
Dia meninggal dalam kesendirian, tanpa ada keluarga, teman, maupun kerabat yang mendampingi Pahlawan Kemanusiaan itu.
Jenazah Patra baru dievakuasi pada 22 Juni 2019 menggunakan helikopter yang disewa pemda dari Nabire atau empat hari setelah dia meninggal dunia. Kematian Patra yang terbilang tragis menjadi keprihatinan banyak pihak.
Tomas Waropen, Kepala Puskesmas Naikere, menyatakan nyawa Patra mungkin bisa tertolong jika pihak Dinas Kesehatan maupun instansi terkait lain cepat merespons laporannya terkait kondisi Patra dan meminta segera dikirim helikopter.
"Kami sudah rapat sampai tiga kali dengan Dinas Kesehatan, Kesra, dan Pak Sekda, tapi tetap tidak ada jalan. Sampai akhimya dia sudah meninggal, baru helikopter bisa naik," ujar Waropen.
Bagi Waropen, Patra adalah pahlawan kemanusiaan. Dia rela mendedikasikan hidupnya untuk kebaikan masyarakat di pedalaman Naikere tanpa banyak mengeluh dan menuntut. Tindakan mulia yang justru selalu dihindari banyak petugas medis lain.
"Patra adalah pahlawan bagi masyarakat di pedalaman Mairasi (nama suku di pedalaman Naikere). Sementara kami anak-anak negeri ini banyak yang jadi Yudas (murid yang mengkhianati Yesus)," kata Tomas Waropen.
Tokoh pemekaran Teluk Wondama, Hendrik Mambor, juga turut menyampaikan rasa duka mendalam atas kepergian almarhum. Melalui pernyataannya yang kami kutip dari akun Facebook-nya, mantan Kepala Bappeda Wondama ini memberikan penghargaan dan rasa terima kasih yang tinggi atas pengabdian Patra selama hidup.
"Mewakili Lembaga Masyarakat Adat Teluk Wondama dan seluruh pejuang pemekaran Kabupaten Teluk Wondama, kami hanya bisa mengucapkan penghargaan atas dedikasimu dan jerih lelahmu bagi masyarakat, khususnya masyarakat di pedalaman Udik Simo, Kampung Oya. Kami tidak mampu membalas jasa baikmu," tulis Mambor.
(Kompas.com/Rachmawati)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Mantri Patra, Meninggal dalam Kesendirian Saat Bertugas di Pedalaman Papua ".