Nenek Amur Hidup Sebatang Kara di Gubuk Reyot, Berteriak-teriak Saat Lapar
Teriakannya terdengar sampai ke rumah tetangganya yang jaraknya hingga 100 meter dari tempat tinggal Amur.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, PAMEKASAN – Amur (72),seorang nenek yang tinggal sebatang kara di Dusun Janglateh Barat, Desa Campor, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, sering teriak-teriak saat lapar atau sakit perut.
Teriakannya terdengar sampai ke rumah tetangganya yang jaraknya hingga 100 meter dari tempat tinggal Amur.
Bagi yang mendengarnya, mereka sudah tahu bahwa Amur butuh makan atau butuh obat untuk mengobati sakit lambung yang dideritanya tujuh tahun terakhir. Tiga anaknya sudah tinggal berjauhan dengan Amur.
Satu anaknya bernama Abdul Hadi, sudah meninggal tiga tahun yang lalu setelah menderita sakit keras pascapulang dari Malaysia menjadi TKI.
Dua anak lainnya, Sulihah dan Sumairah, tinggal di dusun yang sama. Mereka tinggal sekitar 200 meter dari rumah Amur. Sulihah dan Sumairah, keduanya, sudah hidup menjanda.
Akhir pekan kemarin, saat Kompas.com mendatangi rumah Amur, beberapa kali panggilan salam tidak dijawab. Halaman rumah terlihat sepi. Rumah berukuran 4x3 meter, kondisinya sudah nyaris ambruk. Atapnya sudah bolong-bolong karena sebagian gentengnya berjatuhan ke tanah.
Dinding rumahnya dari anyaman bambu, juga terlihat bolong dari berbagai penjuru. Rumah tersebut sudah tidak ditempati.
Di depan rumah, ada dapur gedek berukuran 3x2. Di atas gentengnya, terlihat ada bekas nasi yang dikeringkan, dengan beralaskan karung plastik. Di dalam dapur, sebuah tungku tanah sudah tertutup debu tebal. Beberapa ekor ayam dan kucing, berkeliaran di dalamnya.
Dapur tersebut, hampir tidak ada bedanya dengan kandang hewan ternak. Amur, tinggal di suraunya. Ia tidak bisa mengenali siapa yang datang. Matanya sudah rabun.
Setiap ada suara di halaman rumahnya, ia menyebut nama Sumairah atau Sulihah. Dua anaknya itu yang paling sering datang mengunjunginya. Ada beberapa tetangga yang merasa iba dengan kondisi Amur, juga datang memberikan makanan sekadarnya.
Melihat ada orang datang di rumah ibunya, Sumairah yang tinggal 200 meter dari rumah ibunya, datang menghampiri setelah mendengar informasi dari tetangganya.
Ia tahu jika yang datang, membawa sedikit bantuan. Ia bercerita tentang nasib ibunya dan keluarganya. Amur hidup tanpa mendapat perhatian dari pemerintah. Sulihah berkata, hidupnya yang miskin, masih terbebani untuk merawat keluarganya sendiri dan ibunya. Sedangkan Sumairah sendiri, sudah janda dan menganggur.
Dirinya bekerja serabutan, menjadi kuli tani.
"Ibu saya kalau lapar sering teriak-teriak minta makan. Kalau kebetulan ada beras, saya memasaknya. Kalau tidak ada beras, saya rebus ketela yang diambil di kebun," terang Sumairah.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.