Konflik Lahan Plasma di Muratara, Warga dan Petugas Keamanan Nyaris Bentrok
Warga dan petugas keamanan dari pihak perusahaan nyaris bentrok di lokasi perkebunan sawit PT Lonsum Riam Indah Estate.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, MURATARA - Konflik lahan antara warga dan perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) memanas.
Warga dan petugas keamanan dari pihak perusahaan nyaris bentrok di lokasi perkebunan sawit PT Lonsum Riam Indah Estate.
Warga yang sebelumnya melakukan unjuk rasa meminta agar perusahaan tidak melakukan aktivitas panen buah kelapa sawit.
Selama konflik lahan antara warga dan perusahaan belum menemui titik terang, maka lahan yang bermasalah harus distop dari aktivitas panen.
Baca: Wali Kota Risma Serahkan Kasus Teror Lempar Ular di Asrama Mahasiswa Papua kepada Polisi
Namun pihak perusahaan bersikukuh melakukan panen buah sawit dengan dikawal oleh petugas keamanan perusahaan.
Bahkan, sejumlah aparat kepolisian dan anggota Brimob disiagakan untuk mengamankan agar tidak terjadi bentrok.
"Suasananya semakin panas, warga minta jangan dipanen dulu sebelum masalah ini selesai, tapi perusahaan tetap panen," kata pemerintah desa setempat, Dumiyati dihubungi Tribunsumsel.com, Selasa (10/9/2019).
Ia mengatakan, konflik lahan antara warga dan PT Lonsum tersebut belum menemukan titik terang, namun sedang ditangani Pemkab Muratara.
"Masalah ini sedang ditangani Pemda, harusnya perusahaan menghargai, jangan dipanen dulu, jangan membuat situasi semakin panas," katanya.
Baca: Bule Ngamuk di Bali, Selalu Bertengkar Setiap Bertemu Suami Hingga Penghuni Hotel Resah
Sebelumnya warga dari tiga desa di dua kecamatan dalam wilayah Kabupaten Muratara menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor PT Lonsum.
Mereka berasal dari Desa Bina Karya dan Biaro Baru Kecamatan Karang Dapo serta Desa Mandi Angin Kecamatan Rawas Ilir.
Warga menuntut PT Lonsum agar menyerahkan lahan plasma kepada masyarakat seluas 480 hektare atau sebanyak 240 paket yang diperjuangkan sejak tahun 1995.
"Semuanya 240 paket, satu paketnya dua hektare, jadi ada 480 hektare. Kami menuntut ini bukan baru hari ini, tapi dari tahun 1995, tidak selesai-selesai," kata warga, Eldalilah.
Dia bersama warga lainnya bukan bermaksud ingin mengambil lahan milik perusahaan, melainkan mengambil yang sudah menjadi hak masyarakat.