NasDem Bakal Kirim Tim Advokasi Urus Konflik Lahan di Simalungun
Anggota DPR RI Fraksi NasDem Martin Manurung mengatakan pihaknya akan menugaskan tim advokasi
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai NasDem mengaku siap mendampingi Masyarakat Adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun, Sumatera Utara terkait konflik lahan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Anggota DPR RI Fraksi NasDem Martin Manurung mengatakan pihaknya akan menugaskan tim advokasi Partai NasDem untuk mendampingi masyarakat Adat Sihaporas agar mendapatkan perlakuan hukum yang baik.
Baca: Bayi 3 Tahun Langsung Menangis saat Ayahnya Diperiksa Polisi Terkait Pemukulan oleh Pekerja TPL
Sehingga, tidak terjadi penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.
Terutama terkait bentrok antara masyarakat adat dengan pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Diketahui, perkelahian bermula saat masyarakat adat Desa Sihaporas menanam pisang dan jagung di hutan tanaman industri eukaliptus yang telah dipanen TPL.
Masyarakat adat mengklaim lahan itu sebagai tanah ulayat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras).
Terlebih, ada penangkapan dan penahanan terhadap dua pengurus Lembaga Adat Lamtoras, yakni Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita.
Hal itu disampaikan Martin Manurung saat menerima perwakilan Masyarakat Adat Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun, Sumatera Utara di Kantor DPP Partai Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2019).
Tampak hadir perwakilan masyarakat adat adalah Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Judin Ambarita, Wakil Ketua Umum Lamtoras Mangitua Ambarita (Ompu Morris) dan perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
"Partai NasDem menyatakan simpati terhadap perjuangan masyarakat Sihaporas sekaligus bersama untuk bisa menemukan solisi terbaik bagi semua pihak baik dari masyarakat maupun pemerintah dan dunia usaha," kata Martin Manurung.
Martin juga mengatakan, tahap awal pendampingan kepada masyarakat adat Sihaporas yakni menentukan limitasi dengan menempatkan advokat untuk terus mendampingi.
Sebab, ia menduga proses ini tidak panjang, karena ini bukan persoalan insiden semata tapi juga menyangkut kebijakan negara yang berdampak pada masyarakat.
Lebih lanjut, kasus ini akan berkembang dari advokasi dan melihat pihak-pihak mana yang harus dijembatani komunikasi, apakah ke pemerintah di pusat maupun kabupaten.
"Intinya adalah bahwa NasDem bersama masyarakat adat Sihaporas untuk bisa masyarakat mendapatkan hal-halnya sebagai mana mestinya bukan artinya tidak sesuai peraturan tapi justru harus bagaimana peraturan yamg berlaku itu bisa dijalakan dan masyarakat bisa menerima," ungkapnya.
"Ini kan perlu komunikasi yang baik yang perlu di jembatani oleh partai NasDem di pusat maupun di Kabupaten Simalungun," tambahnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Lamtoras Mangitua Ambarita menyampaikan sejulah permasalah di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kebupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Menurutnya, sejak lama, masyarakat adat terlibat konflik lahan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Mulanya, masyarakat adat mempunyai hak ulayat seluas 2.000 hektar di desanya. Nenek moyang mereka yang bermigrasi dari Pulau Samosir ke Simalungun sudah mengusahakan lahan sejak tahun 1.800-an.
Ketika itu, lahan dimanfaatkan untuk bertani, mencari hasil hutan, dan tempat pemakaman. Namun, pada 1910-an, lahan itu diambil oleh penjajah Belanda dari masyarakat adat dan menanam pinus di sana.
Ketika Indonesia merdeka, Belanda meninggalkan lahan itu dan pemerintah memasukkan sebagai kawasan hutan.
Namun, pada 1990-an, pemerintah memberikan lahan itu sebagai konsesi hutan tanaman industri kepada TPL. Sejak saat itu konflik lahan antara masyarakat adat dan TPL berulang kali terjadi.
"kami sebenarnya bukan lagi pendatang baru, karena kami generasi ke delapan. Tapi pada merdeka Indonesia yang kami harapkan tadinya mau dikembalikan tanah ke kami ternyata diambil negara. Dimasukkan ke kehutanan. Tahun 1992 diberi konsesi kepada PT Ilu yang sekarang berganti nama menjadi TPL," ucap Mangitua Ambarita.
Puncaknya, pada 16 September 2019 lalu, Suasana Desa Sihaporas mencekam setelah terjadi bentrok antara masyarakat adat dengan pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Perkelahian bermula saat masyarakat adat Desa Sihaporas menanam pisang dan jagung di hutan tanaman industri eukaliptus yang telah dipanen TPL.
Masyarakat adat mengklaim lahan itu sebagai tanah ulayat Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras).
Pihak TPL dan masyarakat adat pun sempat berdialog.
Namun, karena situasi memanas, perkelahian tidak bisa terelakkan.
Baik TPL maupun masyarakat adat melaporkan dugaan penganiayaan ke Polres Simalungun setelah perkelahian itu.
Ketakutan semakin melanda setelah ada penangkapan dan penahanan terhadap dua pengurus Lembaga Adat Lamtoras, yakni Thomson Ambarita (bendahara) dan Jonny Ambarita (sekretaris).
Padahal, lahan warga merupakan warisan nenek moyang yang sudah dihuni selama delapan generasi atau kurang lebih 200 tahun.
Baca: Lembaga Adat Pertanyakan Sikap Polisi Terkait Dugaan Penganiayaan Pekerja TPL Terhadap Bayi 3 Tahun
Tanah itu lalu dipinjam paksa oleh penjajah Belanda sekitar 1913 dari generasi kelima keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita.
Hal itu terbukti dalam peta Enclave 1916, 29 tahun sebelum Indonesia merdeka, terdapat tiga titik nama lokasi Sihaporas, yakni Sihaporas Negeri Dolok, Sihaporas, dan Sihaproas Bolon.
Tanggapan PT TPL
Humas PT TPL, Norma Hutajulu ketika dikonfirmasi tidak mengelak soal adanya bentrokan tersebut.
Namun, Norma menuding warga yang melakukan tindakan penganiayan dan menyebabkan karuawn TPL terluka.
Katanya, keadian ini bermula sekitar pukul 10.00 WIB.
Personel keamanan yang berjaga di Compt B 068 dan B. 081 melaporkan bahwa warga Sihaporas melakukan penanaman jagung di Compt B 553.
Menurutnya, Humas TPL melakukan mediasi dan menyampaikan kepada warga agar kegiatan penanaman jagung diberhentikan dahulu dan diadakan musyawarah dan dibicarakan secara baik-baik.
Saat upaya dialog damai dilakukan Humas TPL untuk dapat duduk berbicara bersama di salah satu tepian lokasi, warga Sihaporas bersikeras melakukan penanaman
Dijelaskannya, areal penanaman tersebut merupakan areal konsesi PT TPL yang telah memiliki izin dan telah memasuki rotasi tanam ekaliptus yang keempat.
Mulia Nauli, Direktur PT TPL mengatakan, “Izin konsesi PT TPL berada di kawasan hutan negara, dengan izin pengelolaan yang terbatas dalam kurun waktu tertentu. Pada pelaksanaan operasionalnya, persero selalu menghormati hak-hak masyarakat dan komunitas adat yang berada dalam wilayah kerja persero dengan mengedepankan proses dialog yang terbuka yang dilandasi undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam penyelesaian masalahnya."