Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Penjelasan Ahli Tsunami Soal Gempa di Jailolo, Maluku Utara, Ingatkan Pentingnya Mitigasi Bencana

Gempa bumi berkekuatan M 7,1 SR mengguncang Jailolo, Maluku Utara pada Kamis (14/11/2019) begini penjelasan sains dari ahli tsunami, Widjo Kongko.

Penulis: Inza Maliana
Editor: Sri Juliati
zoom-in Penjelasan Ahli Tsunami Soal Gempa di Jailolo, Maluku Utara, Ingatkan Pentingnya Mitigasi Bencana
Screenshot akun twitter @widjokongko
Gempa bumi berkekuatan magnitude 7,1 mengguncang Jailolo, Maluku Utara pada Kamis (14/11/2019) 

TRIBUNNEWS.COM - Gempa bumi berkekuatan magnitudo 7.1 SR mengguncang Jailolo, Maluku Utara, Kamis (14/11/2019) pukul 23.17.41 WIB.

Setelah gempa tersebut, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sempat mengeluarkan peringatan dini tsunami yang diakhiri pada pukul 01.45 WIB.

Gempa ini berlokasi 1.67 LU, 126.39 BT atau 137 kilometer barat laut Jailolo-Maluku Utara dengan kedalaman 73 km.

Gempa tersebut dirasakan hingga ke berbagai daerah di Maluku Utara dan Sulawesi Utara.

Semula, BMKG menyatakan, gempa tersebut berkekuatan M 7.4 SR.

Namun kemudian setelah beberapa saat BMKG memutakhirkan kekuatan gempa menjadi M 7.1 SR.

Ahli tsunami, Widjo Kongko membenarkan, BMKG telah mengoreksi catatan mengenai magnitude gempa di Jailolo tersebut.

BERITA TERKAIT

"Gempa itu besar, pertama disebutkan skala M 7.4 SR, kemudian beberapa saat di-update menjadi M 7.1 SR."

"Saya kira, BMKG masih bertahan di M 7.1 SR. Kedalamannya dangkal ada yang 27 kilometer, ada yang 45 Km, BMKG masih memegang 60/70 kilometer ya," ujarnya saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (15/11/2019) malam.

Widjo Kongko (kanan) Pakar Tsunami dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Biwara Yuswantana (tengah) Kepala BPBD DIY saat jumpa media di Kantor BPBD DIY, Rabu (17/7/2019)
Widjo Kongko (kanan) Pakar Tsunami dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Biwara Yuswantana (tengah) Kepala BPBD DIY saat jumpa media di Kantor BPBD DIY, Rabu (17/7/2019) (TRIBUNJOGJA.COM / Wahyu Setiawan)

Peneliti senior di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini menjelaskan, gempa itu termasuk dalam gempa besar atau energinya sekitar 30-40 kali hitungan HNB, setara dengan bom Hiroshima.

Dengan demikian, gempa ini menimbulkan tsunami minor atau kecil karena berada pusat gempa cukup dalam.

"Saya kira di pinggir pantai, kurang dari 1 meter, paling 50 meter dan sudah terekam oleh alat pasang surut," ujarnya.

Widjo Kongko juga menyampaikan, gempa yang terjadi bukan di daerah megathrust.

Megathrust adalah satu di antara mekanisme gerakan lempeng bumi yang menimbulkan gempa dan memicu gelombang pasang atau tsunami.

"Gempa ini bukan di daerah megathrust, di sana ada dua subduksi yang masih berdekatan Sulawesi Utara ke timur lalu Ternate ke barat."

"Kebetulan epicentrum (pusat gempa, red) ada di tengah-tengah. Jadi daerah itu adalah daerah yang sangat tinggi potensi gempa, termasuk tsunaminya," ujar Widjo.

Menurut Kepala Seksi Program dan Jasa Teknologi Balai Teknologi Infrastruktur dan Dinamika Pantai BPPT itu, ada hitungan tersendiri untuk mengukur potensi terjadinya gempa bumi di daerah dua subduksi.

"Ada hitung-hitungannya di daerah itu, paling tidak dalam 10 tahun, terjadi satu sampai dua kali tsunami," ujar dia.

Widjo menambahkan, gempa yang terjadi di Jailolo, Maluku Utara bisa menjadi pelajaran untuk masyarakat supaya mengantisipasi terhadap ancaman bencana.

"Jadi saya kira ini bisa jadi pelajaran untuk kita, di daerah itu memang aktivitas lempengnya tinggi dan masih aktif."

"Hal ini juga sebenarnya 'menguntungkan' untuk kita sendiri agar menyiapkan mitigasi bencana."

"Bisa saja akan terjadi gempa bumi yang lebih besar magnitudenya," ujar Widjo.

Widjo Kongko berharap, gempa yang terjadi di Jailolo bisa jadi pengingat masyarakat dan otoritas berwenang untuk lebih sigap menghadapi bencana.

"Saya kira ini bisa jadi peringatan bagi kita karena lempeng di sana masih aktif."

"Yang paling penting otoritas resmi seperti BNPB, BPBD, pemda setempat, dan segenap unsur untuk menyiapkan mitigasi bencana" ujar Widjo.

Widjo pun mengatakan, mitigasi bencana terutama gempa bumi dan tsunami penting dilakukan.

Berdasarkan data, bencana ini paling banyak menimbulkan korban jiwa.

"Saya kira kalau bicara mengenai mitigasi bencana khususnya gempa bumi dan tsunami, berdasarkan data selama 10 tahun terakhir, menimbulkan korban jiwa yang dominan dibanding bencana lainnya sekira sampai 60 persen," kata dia.

"Sebab gempa bumi dan tsunami bersifat masif, mendadak, dan masih sedikit pengetahuan tentang mengurangi risiko bencana," jawabnya.

Widjo menambahkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan masyarakat dan otoritas berwenang untuk bersama-sama memahami ancaman gempa dan tsunami.

Sebut saja riset yang dalam mengenai ancaman bencana, sosialisasi ke masyarakat, dam mengadakan pelatihan evakuasi bencana sejak dini.

"Kita bersama-sama memahami ancaman itu secara lebih detail, melalui riset-riset yang dasar dan terapan, kemudian dilanjutkan oleh tindakan berikutnya untuk sosialisasi ke warga."

"Ada mitigasi struktural dan perbaikan-perbaikan bangunan supaya tahan gempa karena ada kearifan lokal rumah bakancing."

"Kemudian ada pelatihan evakuasi bencana sejak dini dan yang paling penting menurut saya, otoritas dari BPBD di daerah perlu dikasih tindakan," ujarnya.

Menurut Widjo hal tersebut baik jika dilakukan sekarang.

"Ini kesempatan yang langka karena baru diingatkan mengenai gempa bumi dan tsunami," pungkasnya.

(Tribunnews.com/Inza Maliana)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas