Menelusuri Aktivitas Mafia Kayu di Tanggamus: Sebar Mata-mata Hingga Melibatkan Sopir Truk
Hutan lindung di Kabupaten Tanggamus menjadi "lahan basah" bagi para pelaku illegal logging alias penebangan liar.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, TANGGAMUS - Hutan lindung di Kabupaten Tanggamus menjadi "lahan basah" bagi para pelaku illegal logging alias penebangan liar.
Para pelaku khususnya di lapangan beraksi secara rapi dengan rantai kendali yang cukup panjang.
Wartawan Tribun Lampung berhasil menelusuri bagaimana modus dan mata rantai illegal logging di hutan lindung Tanggamus.
Tribun Lampung memantau ke lapangan serta mewawancarai sejumlah orang yang mengetahui modus dan mata rantai tersebut.
Tribun Lampung juga meminta keterangan kepada kepolisian.
Polisi menyatakan akan melakukan penyelidikan serta memperbanyak informan untuk mengungkap kasus ini.
Maraknya illegal logging terbukti dengan terungkapnya dua kasus pada awal Desember ini, serta dua kasus pada November lalu.
Kasus itu terjadi di hutan lindung Tanggamus, seperti di Register 27 dan 39.
Dari penelusuran Tribun Lampung, rapinya modus serta terputusnya hubungan antarpelaku di lapangan membuat kasus penebangan dan pencurian kayu di hutan lindung sulit terungkap.
Ada banyak pelaku yang terlibat, waktu beraksi yang panjang, serta penentuan jalur masuk dan keluar pelaku yang detail.
Kemudian beragamnya alat angkut kayu sampai aksi bungkam jika tertangkap aparat.
Gg, sumber yang mengetahui modus illegal logging, mengungkapkan illegal logging melibatkan antara lain warga yang menjual jasa gergaji mesin.
Tugas mereka adalah menebang pohon, lalu membentuk gelondongan pohon menjadi balok kaleng (balken).
"Kalau kondisi lagi kepepet (membutuhkan uang), mereka mau nebang pohon di register. Apalagi seperti sekarang ini, sedang musim paceklik," katanya kepada Tribun Lampung beberapa hari lalu.
Terlebih saat ini pohon sengon milik warga sudah habis karena panen.
Baca: 550 Hektare Hutan Lindung di Kabupaten Bandung Beralih Fungsi Jadi Perkebunan
Baca: Andika Mahesa Si Babang Tamvan Dinobatkan sebagai Duta Konservasi Das dan Hutan Lindung
Kondisi itu membuat penggergaji mesin sepi job, sementara kebutuhan hidup harus terus terpenuhi.
Karenanya, pilihan menebang pohon di register menjadi solusi.
"Apalagi kalau yang nyuruhnya preman. Mereka (penggergaji mesin) tahu kalau yang nyuruh orang seperti itu (preman), maka tidak ada yang berani ganggu. Jadi lebih amanlah," tutur Gg.
Preman-preman di hutan ini, kata Gg, merupakan pelaku lapangan yang memilih pekerja (penggergaji mesin) yang bisa menjaga rahasia.
Mereka memerintahkan penggergaji mesin untuk menebang pohon.
Mereka juga menyusun strategi bagaimana agar kayu bisa keluar dari hutan.
Para preman ini menguasai medan di hutan lindung.
Meskipun beberapa kali polisi berhasil mengungkap, tetapi banyak juga dari mereka yang berhasil lolos saat penggerebekan.
Jika terdesak, mereka tak segan menyerang aparat agar tetap bisa lolos.
"Makanya selama ini pelaku yang tertangkap biasanya perannya cuma sebagai pelaksana, dapat perintah dari preman," ujar Gg.
Untuk menebang kayu, para preman biasanya sudah menentukan lokasi.
Ini kaitannya dengan jenis kayu dan lokasi di sekitarnya.
Saat ini, menurut Gg, kayu sonokeling memang menjadi incaran karena kualitasnya dan harganya yang mahal.
"Untuk penentuan waktu, mereka milih waktu pas pohon buah di hutan tidak panen. Ketika itu, situasi hutan cenderung sepi dari petani penggarap hutan yang memanen buah," beber Gg seraya menambahkan rombongan penebang pohon biasanya tidak banyak.
Sekitar empat orang, terdiri dari penggergaji mesin dan pembantunya, lalu preman.
Baca: Warga Bikin Jebakan Harimau dan Giring ke Hutan Lindung
Baca: 442 Kayu yang Dicuri di Surabaya DItemukan di Pemakaman, Polisi Telusuri Sekitar
Libatkan Mata-mata
Selama proses penebangan pohon dan pembentukan balken, para pelaku lapangan illegal logging melibatkan mata-mata.
Tugasnya, mengawasi jika ada aparat datang dan segera memberi tahu supaya kabur.
Mata-mata ada yang bersiaga di jalur masuk hutan, ada juga yang berseliweran layaknya patroli.
Saat ada orang asing atau aparat, mereka akan secepatnya memberi kabar ke lokasi penebangan.
"Jadi, misalnya ada petugas yang masuk hutan untuk memantau, mata-mata ini juga mengawasi petugas. Kalau petugas itu bergerak ke arah tempat penebangan, mata-mata ini langsung ke sana duluan, tapi lewat jalur yang beda," ungkap Tt, sumber yang mengetahui kerja mata-mata illegal logging.
Selanjutnya, jika pohon sudah tumbang, ada yang dibiarkan saja, ada pula yang langsung dibentuk menjadi balken jika situasi di sekitar aman.
Jika tidak, maka dibiarkan saja untuk menunggu waktu yang lebih tepat.
Sampai tahap penebangan pohon selesai, berikutnya tinggal pengangkutan kayu tersebut.
Untuk hal ini, pelaku lapangan illegal logging melibatkan orang lain lagi, yakni para tukang ojek gunung.
Mereka biasanya petani penggarap hutan lindung atau memang tukang ojek yang biasa mengangkut hasil hutan dari penggarap hutan.
Mereka menggunakan sepeda motor yang sudah mereka modifikasi, baik secara bentuk maupun kekuatan mesinnya.
Pada tahapan ini pun, para pelaku lapangan illegal logging tidak gegabah. Pilihan orang yang bisa menjaga rahasia tetap prioritas.
Biasanya, melibatkan 4-10 tukang ojek yang mengangkut kayu hasil tebangan.
Dalam tahap pengangkutan pun ada strateginya.
Mulanya pengangkutan pertama, kayu hasil tebangan dipindahkan dari lokasi penebangan ke tempat lain untuk menghilangkan jejak.
Sampai tahap ini, mata-mata tetap digunakan.
Baca: Empat Pelaku Pembalakan Liar di TTU Diamankan Saat Tengah Mengganti Ban Truk
Baca: Janson Meregang Nyawa Gara-gara Mengancam Mantan Anggota DPRD Tanggamus
Jalur Keluarkan Kayu
Pada tahap ini juga, pelaku lapangan illegal logging mulai menentukan jalur mengeluarkan kayu.
Jalur tersebut pastinya berbeda dari jalur masuk saat akan menebang pohon.
Tujuannya agar jejak benar-benar hilang.
Bahkan, seringkali jalur untuk mengeluarkan kayu lebih panjang dari jalur ketika menuju lokasi penebangan.
Sebab, para pelaku lapangan illegal logging pun mewaspadai adanya laporan masyarakat kepada aparat bahwa ada yang menebang pohon.
Sebagai antisipasi tidak tepergok aparat, mereka mengubah jalur keluarnya kayu.
Kadang, kayu disembunyikan sementara dengan cara ditutupi daun dan dahan kering.
"Itu juga untuk menghilangkan ingatan masyarakat di sekitar jalur masuk bahwa pernah ada yang menebang pohon. Kayu hasil tebangan bisa disimpan sampai tiga bulan, baru digeser lagi untuk dikeluarkan," ujar Ij, sumber yang mengetahui pola pengangkutan kayu.
Menurut Ij, penggeseran kayu pun tidak cukup sekali, melainkan bisa sampai lima kali.
Itu tergantung situasi demi amannya kayu curian.
Dan biasanya, pergeseran itu semakin menjauh dari lokasi penebangan.
"Kadang kalau ada orang yang nemu tumpukan kayu, orang yang nemu agak bingung. Di sekitar tempat itu tidak ada pohon yang ditebang, tapi kok ada kayu. Itulah kayu yang disembunyikan dari hasil menebang di tempat lain," beber Ij.
Libatkan Sopir Truk
Pada tahap ini, para pelaku lapangan illegal logging juga berspekulasi.
Sebab, sering pula saat kayu disimpan sementara, ada warga yang menemukan, lalu melapor kepada aparat.
Jika begitu, maka kayu tidak bisa lolos ke luar hutan.
Sementara jika kayu tetap aman, maka kayu akan diletakkan di lokasi sekitar jalan yang bisa dijangkau truk.
Pada tahap ini mulailah dilibatkan sopir dan truk untuk mengeluarkan kayu dari hutan.
Kembali lagi, kerahasiaan harus tetap terjaga.
Para sopir harus bersedia bungkam mengenai siapa yang menyuruhnya.
Jika sopir dengan kriteria itu tidak didapat, maka biasanya dilibatkan "sopir tembak".
Kepada "sopir tembak" itu, pelaku lapangan akan mengaku bahwa kayu itu diangkut dari kebun.
"Kalau seperti itu, tidak dibilang kayu dari hutan. Buktinya, ada di dekat jalan, terus truk sudah bisa masuk. Jadi, sopir tembak itu percaya bahwa kayu yang mau diangkut itu dari kebun," kata Dd, seorang sopir truk yang mengetahui modus pengangkutan kayu.
Dengan cara begitu, maka saat tepergok razia aparat, sopir truk tidak paham bahwa yang dibawanya adalah kayu hasil penebangan liar.
Sementara untuk sopir truk yang memang bungkam, maka sopir itu akan mengaku bahwa ia hanya diajak teman, sementara temannya sudah lebih dahulu berangkat.
Pola seperti itulah yang merata diterapkan di semua hutan lindung di Tanggamus.
Mulai dari Register 30 atau Gunung Tanggamus, Register 31 atau Pematang Asahan, Register 39 di Bandar Negeri Semong dan Semaka, Register 28 atau Pematang Neba, serta Register 27 yang melingkupi Kecamatan Limau, Cukuh Balak, sampai Kelumbayan.
Tak Tahu Kayu curian
Sejumlah penggergaji mesin yang dilibatkan dalam modus illegal logging mengaku antara tahu dan tidak tahu bahwa mereka ikut terlibat dalam penebangan pencurian kayu di hutan lindung.
Menurut seorang penggergaji mesin, Sm, dirinya paham bahwa menebang pohon di hutan lindung bisa terjerat sanksi pidana.
Namun, menurut dia, orang yang menyuruhnya biasanya mengatakan bahwa lokasi penebangan bukan hutan, melainkan hanya kebun.
Dan biasanya juga dikatakan hanya menebang sisa pohon yang belum ditebang.
"Pertamanya nggak mengaku itu di (hutan) kawasan, bilangnya cuma kebun dekat hutan. Terus sebelum mengajak, mereka datang beberapa kali sambil terus minta bantu. Akhirnya mau nggak mau berangkat," ujar Sm.
Sm mengaku biasanya ia baru tahu bahwa di lokasi adalah hutan lindung ketika sudah tiba di lokasi dan melihat lokasi sekitarnya.
Kemudian, jenis pohon yang ditebangnya menggunakan gergaji mesin ternyata cenderung pohon berkayu berharga, bukan pohon buah.
"Kalau benar di hutan, ya udah, cepat-cepat saja dibereskan, takutnya ketangkap petugas. Kalau mereka enak aja tinggal lari. Kalau saya, harus bawa alat-alat (mesin gergaji dan lainnya)," ujar Sm.
Ia mengaku biasanya untuk menebang pohon diajak pagi-pagi sekali.
Alasannya, orang yang menyuruhnya mengaku masih ada pekerjaan lain lagi.
"Tapi kenyataannya nggak begitu, cuma alasan mereka aja," imbuh Sm.
Kemudian untuk jalur pulang, Sm mengakui memang berbeda dengan jalur masuk.
Pelaku lapangan illegal logging pun, beber dia, ada beberapa orang yang nantinya akan berpencar.
Sementara ia sendiri diajak salah satu dari pelaku lapangan untuk melewati jalur pulang yang berbeda.
Terkait bayaran, biasanya penggergaji mesin menerima Rp 200 ribu-300 ribu dan pembantu Rp 100 ribu dalam sehari.
Diminta Tolong
Sementara tukang ojek yang mengangkut kayu mengaku mereka mulanya hanya dimintai tolong.
Pelaku lapangan, menurut tukang ojek, mendatangi beberapa kali dengan alasan kayu bisa hilang jika tidak segera dibawa.
"Kalau nggak ada panenan, baru mereka minta tolong. Sebab mereka tahu lagi nggak repot. Jadi ya mau aja. Yang penting aman," ujar Bb, seorang tukang ojek.
Ia mengaku, dalam mengangkut kayu memang harus cermat, khususnya untuk jalur dan waktunya.
Terkait jalur, ia mengikuti perintah kayu diantar sampai di mana.
"Biasanya pilih jalan yang sepi. Nerabas-nerabas nggak apa-apa yang penting bisa dilewati. Kalau mentok nggak bisa lewat, kayu diletakkan di tempat itu," terang Bb.
Terkait pola pengangkutan, di bagian depan biasanya ada yang memandu.
Pemandu itu, menurut Bb, bagian dari kelompok pelaku illegal logging.
Tugasnya memantau untuk mengantisipasi jika kepergok aparat.
"Juga bantu kalau tukang ojek kesulitan bawa kayu pas ketemu lubang atau jalan yang curam. Dia juga akan mengubah rute kalau situasi bakal menghambat pengangkutan kayu," tutur Bb.
Para tukang ojek biasanya menerima bayaran Rp 50 ribu dengan panjang rute sekitar lima kilometer.
Jika lebih, maka sesuai kondisi jalur yang dilaluinya.
Malam Hari
Komandan Unit Polisi Hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Kota Agung Utara Dodi Hanafi mengakui illegal logging saat ini sedang marak.
Sebagai aparat, pihaknya juga mengakui kesulitan meringkus para pelaku.
Sebab, para pelaku cerdik dan memiliki jaringan luas.
Bahkan, setiap aktivitas Polisi Hutan tak luput dari pantauan mereka.
"Jadi, kami juga dimata-matai sama mereka. Mereka juga punya tempat-tempat untuk memantau. Makanya, saat kami masuk ke hutan, mereka bisa langsung bubar. Itu kesulitan kami dalam mengungkap illegal logging," terang Dodi beberapa hari lalu.
Dodi mengungkapkan para pelaku illegal logging biasa bergerak pada malam hari.
Jika ada yang beraksi pada siang hari, menurut dia, hal itu tergolong nekat.
Sebab, aksi pada siang hari cukup mudah ketahuan warga yang kemudian akan melapor.
Dodi menyebut ada unsur preman dalam rantai pelaku illegal logging.
Mereka kerap mengintimidasi warga supaya tidak melapor ke aparat.
Jika warga tetap melapor, beber Dodi, kawanan preman bisa menyerbu masyarakat.
"Itulah dilemanya. Satu sisi masyarakat ingin bantu kami, tapi di sisi lain mereka bakal terancam. Akhirnya aksi illegal logging sulit terpantau," katanya.
Polres Tanggamus Selidiki
Polres Tanggamus bersama jajaran polsek akan menyelidiki kasus illegal logging seperti penelusuran Tribun ini.
"Kami akan selidiki kasus-kasus illegal logging ini. Kami akan menghimpun informasi," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tanggamus Ajun Komisaris Pol Edi Qorinas.
Karena sulitnya mengungkap kasus illegal logging, pihaknya akan menambah informan-informan.
Tugasnya adalah memantau aktivitas para pelaku, kemudian memberi laporan.
"Kami akan melakukan penguatan penerimaan informasi dengan menambah informan-informan. Kami kuatkan peran Bhabinkamtibmas untuk menerima temuan dari masyarakat, dan berlanjut pada penangkapan pelaku serta pengamanan barang bukti kayu curian," jelas Edi.
Senada, Komandan Unit Polisi Hutan KPHL Kota Agung Utara Dodi Hanafi menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan jajaran Polres Tanggamus serta Kodim 0424 Tanggamus untuk penyelidikan.
"Kami akan koordinasi. Bisa sama-sama bergerak atau salah satu saja yang mengamankan," ujarnya.(Tribunlampung.co.id/tri yulianto)
Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Sulitnya Mengungkap Mafia Kayu di Tanggamus, Pelaku Sebar Mata-mata Awasi Aparat
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.