Wacana Hukuman Mati Koruptor, Ahli Hukum: Orang Lebih Takut Miskin daripada Mati
Wacana hukuman mati untuk para pelaku korupsi yang digaungkan Presiden Jokowi dalam peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia mendapat komentar beragam.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Garudea Prabawati
"Itu soal ketegasan," katanya.
Fickar menambahkan, hukuman mati masuk dalam hukum postif.
Artinya hukuman mati masih berlaku pada hukuman di kejahatan yang tergolong kejahatan luar biasa.
"Selain korupsi dengan pemberatan, ada juga untuk kasus pembunuhan berencana, narkoba dan kasus terorisme yang bisa dihukum mati," terangnya.
Fickar melihat hukuman mati untuk para koruptor akan sedikit terganjal dengan konstitusi (UUD NKRI 1945) yang belaku di Indonesia.
"Hukuman mati adalah hak hidup, itu hal yang tidak bisa di-non-aktifkan dalam keadaan apapun," lanjut Fickar.
Bagi Fickar dengan penerapan hukuman mati kepada pelaku koruptor tidak langsung bisa menekan perilaku korup.
Penjelasan Stafsus Presiden Bidang Hukum
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Shanti Purwono mempertanyakan keefektifan dari hukuman mati untuk para koruptor yang tren di dunia.
Dini mencontohkan, di negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) misalnya yang telah menjalankan hukuman mati untuk para pencuri uang rakyat ini.
Meskipun tingkat ekesekusi di negara tersebut terbilang tinggi, skor Corruption Perception Index (CPI) antara Indonesia dengan negara RRT tidak beda jauh.
"CPI Indonesia dengan China cuma 2 skor, apakah dia hukuman mati efektif?" tanya Dini.
Dini menyimpulkan, banyaknya koruptor dihukum mati tidak serta merta mengurangi tingkat korupsi para pejabat negara.
Perempuan kelahiran 1974 ini melanjutkan, jika pemerintah benar-benar ingin menerapkan hukuman mati perlu adanya diskusi menyeluruh antara DPR dan presiden lewat proses legislasi (pembentukan landasan hukum).