Belajar dari Kasus Suami Jual Istri Supaya Tidak Terulang Lagi, Ini Saran dari Psikolog
Psikolog Anak dan Keluarga dari Yayasan Praktek Psikolog Indonesia, Adib Setiawan membeberkan pandangannya tentang kasus suami jual istri.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Wulan Kurnia Putri
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Masyarakat di dua wilayah berbeda, yakni Kabupaten Pasuruan dan Kota Surabaya tengah dihebohkan dengan kasus suami yang tega menjual istrinya.
Seperti yang dilakukan MSS (28) warga Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan yang tega menjual istrinya, F ke temannya dengan dua alasan.
Alasan pertama, karena ekonomi dan kedua karena ingin mencari sensasi seksual.
Dikutip dari Surya.co.id, setiap F melayani teman MSS akan mendapatkan bayaran sebesar Rp 50 ribu.
Kasus perdagangan manusia ini terungkap setelah F melapor ke Polres Pasuruan pada Minggu (9/2/2020).
Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di Surabaya.
Polrestabes Surabaya melakukan penggerebekan dan menangkap pria asal Kediri, DTS (20).
Baca: Istri Curhat Soal Zina dan Tak Pulang 3 Minggu, Lucky Perdana: Jangan Mudah Menilai Buruk Seseorang
DTS merupakan pelaku yang menjual atau memperdagangkan istrinya sendiri yang masih berusia 16 tahun
Istri DTS diketahui tengah hamil 4 bulan.
DTS menjual pasangannya di Kediri dua kali dengan tarif masing-masing Rp 100 ribu.
Atas perbuatannya itu, DTS dijerat Pasal 2 UU RI No 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kemudian, Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP atau mencari keuntungan dari pelacuran perempuan.
Baca selengkapnya kedua kasus tersebut di link ini: Alasan Pria Pasuruan Jual Istri untuk Berzina dengan 4 Teman Bikin Kapolres Prihatin, Belasan Kali.
Kasus suami jual istri dalam kacamata psikologis
Psikolog Anak dan Keluarga dari Yayasan Praktek Psikolog Indonesia, Adib Setiawan, S. Psi., M. Psi membeberkan pandangannya tentang kasus suami jual istri.
Dalam kasus pertama yang melibatkan MSS dan F, Adib memandang ada kesalahan pasangan suami istri ini dalam membangun hubungan komunikasi di lingkup rumah tangga.
"Kalau saya melihatnya, kasus pertama komunikasi istri kurang," katanya saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (10/2/2020).
Menurutnya apa yang disampaikan F ke MSS soal kepuasan di atas ranjang salah diterima oleh sang suami.
"Jadi misalnya dia ngomong melakukan hubungan intim tapi si perempuan nggak puas"
"Mungkin maksudnya bukan begitu, apakah dia kasar, memaksa istri, kurang mendengarkan apa yang dirasakan istri. Bisa jadi itu maksudnya yang sebenarnya," lanjut Adib.
Baca: Dikeroyok Orang Tak Dikenal di Diskotek Surabaya hingga Koma, Anggota M1R Embuskan Napas Terakhir
Namun apa yang coba disampaikan F tidak dipahami secara baik oleh MSS.
"Istrinya ngomong nggak nyaman, dia ngapain malah dicarikan temennya? Ini kan salah persepsi dan salah komunikasi, kurangnya komunikasinya dalam berumahtangga," beber Adib.
Selain faktor komunikasi, Adid menduga faktor moral yang rendah membuat MSS tega menjual istrinya.
"Kalau moralnya bagus, tidak mungkin menyerahkan istirnya ke temennya," katanya.
Apa yang dilakukan MSS juga bisa didorong dengan kebiasaanya yang mungkin sudah pernah melakukan seks bebas sebelum menikah dengan F.
"Istilahnya sebelum menikah, laki-laki melakukan free sex, temenya juga bisa jadi melakukan hal yang sama."
"Jadi waktu dia menjual istrinya ke teman-temanya tidak bersalah dan melakukan tanpa berdosa," tegas Adib.
Dan akhirnya membuat F menjadi tidak nyaman dan memberanikan hal yang menimpanya kepada pihak berwajib.
Adib melihat adanya faktor ekonomi dimungkinkan menjadi motif dalam kedua kasus, baik di Pasuruan maupun di Surabaya.
Menurutnya kesulitan ekonomi yang membelit para pelaku, membuat mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhinya.
"Kadangkala faktor itu juga pengaruh," tandasnya.
Baca: Siswa Korban Bully Tubuhnya Dibanting di Malang Dapat Dukungan Psikolog, Tuntut Pelaku
Saran dari Adib
Adib dalam kesempatan tersebut memberikan sejumlah saran untuk menciptakan suasana rumah tangga yang baik, dengan harapan kejadian serupa tidak terulang lagi.
Menurutnya yang pertama menjadi fondasi adalah rasa saling menghargai satu sama lain.
"Sehingga tidak ada perasaan ada yang lebih tinggi dan mendominasi. Laki-laki dan perempuan itu setara"
"Bukan suami berkuasa terhadap istirnya dan berperilaku sewenang-wenangnya," ujar Adib.
Langkah kedua, lanjut Adib adalah menghargai hak pasangan.
Meskipun suami adalah pemimpin rumah tangga, setiap anggota keluarga masih memliki kebebasannya sebagai manusia seutuhnya.
Termasuh hak untuk tidak diperlakukan dengan semena-mena.
Adib menjelaskan langkah ketiga untuk mencegah kasus-kasus di atas terulang kembali adalah dipupuknya moral dan akhlak yang baik.
"Harus ada akhlak harus dibina lagi, agama itu juga penting," katanya.
Saran terakhir ditegakkannya sanksi hukum yang tegas.
"Supaya kapok dan masyarakat lain tidak menirunya jika memiliki ide sama," tutup Adib.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.