Diskusi Publik Ungkap Beberapa Kejanggalan Pemeriksaan hingga Pembebastugasan Dosen Unnes Sucipto
Kang Putu itu menyampaikan, karena Rektor Unnes tidak datang, maka BEM-KM mengubah Debat Akademik menjadi Diskusi Publik.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-KM) Unnes, Gunawan Budi Susanto sebagai moderator mengatakan, dia secara tiba-tiba yang harus menjadi moderator diskusi.
Hal itu lantaran, pria yang akrab disapa Kang Putu itu menyampaikan, karena Rektor Unnes tidak datang, maka BEM-KM mengubah Debat Akademik menjadi Diskusi Publik.
"Tugas saya berat menjadi moderator.
Agar saya tidak menerima pembebastugasan," ucapnya saat memandu diskusi dan ikuti tawa dan tepuk tangan peserta diskusi, Kamis (20/2/2020) malam.
Dr Sucipto Hadi Purnomo sebelum menyampaikan hal yang dia alami, dia memekikkan ucapan 'hidup mahasiswa!' lalu diikuti oleh peserta diskusi.
Dia membuka pembicaraan, sore hari beberapa media bertanya kepadanya mengenai kehadiran mitra debat (Prof Dr Fathur Rokhman) dan kepada dia.
"Apakah saya akan hadir pada debat akademik? Saya akan hadir. Karena yang mengundang saya mahasiswa, saya hadir.
Karena mahasiswa tidak bisa membebastugasan sementara saya sebagai dosen," kata lulusan Program Pascasarjana Doktor Pendidikan Seni Unnes itu.
Kronologi Terbitnya SK Pembebasan Tugas Sementara
Dia menyampaikan, pada 11 Februari 2020 lalu dia dipanggil Tim Pemeriksa yang diketuai oleh Wakil Rektor II Unnes, Dr S Martono.
Dia menyebutkan Tim Pemeriksa itu terdiri dari Ali Masyhar, Muhammad Azil Maskur, Hendi Pratama, Prembayun Wiji Lestari, dan sebagainya.
"Di dalam surat panggilan itu, saya akan dipanggil, diperiksa, dan diklarifikasi atas dugaan pegawai.
Pada materi pemeriksaan, waktu pemeriksaan sudah dipimpin oleh Dr Ali Masyhar.
Dia bertanya, 'Apakah saudara Dr Sucipto Hadi Purnomo?
Iya. Apakah saudara sehat? Iya'.
Kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan materi, 'Saudara diperiksa karena telah melakukan unggahan di Facebook'.
Sebenarnya saya ingin segera masuk pada materi pemeriksaan, namun saya mengajukan pertanyaan 'Apakah saudara-saudara yang memeriksa saya ini mengantongi surat tugas atau surat tugas?', ternyata tidak bisa membuktikan," ucap Dr Sucipto menceritakan proses dia diperiksa.
Sucipto melanjutkan, dia bersedia diperiksa kalau orang-orang yang memeriksa dipastikan legal.
Dia juga menanyakan mengenai ada atau tidak Standar Operasional Prosedur (SOP) pemeriksaan, hal itu dia antisipasi agar apa yang dia lakukan melewati batas atau tidak, kapan dia melanggar dan kapan dia bisa menggunakan hak dia sebagai orang yang sedang diperiksa.
"Mereka (Tim Pemeriksa-red) tidak bisa menunjukkan. Justru mereka langsung ke materi pemeriksaan dan menunjukkan poin-poin "dosa" saya, pertama saya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak netral atas unggahan saya di facebook pada 10 Juni 2019.
Kedua, terkait dengan aktivitas saya sebagai anggota Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kementerian Ristek dan Dikti.
Ketiga, dosa ketiga saya adalah pernah menjadi saksi di Polda Jawa Tengah atas saksi terlapor seseorang yang telah melaporkan seorang petinggi Unnes dengan dugaan melakukan plagiasi," ungkap Dr Sucipto.
Dr Sucipto mengatakan kepada Tim Pemeriksa kalau SK dan SOP ada, dia siap diperiksa.
Menurutnya, salah satu Tim Pemeriksa mengatakan SK tersebut akan disusulkan.
"Terkait SOP, baru ketika perbincangan itu saya sampaikan ke Tim Pemeriksa ternyata ada SOP.
Lalu saya menanyakan, 'Apakah saya diizinkan membaca dan memahami SOP itu?', Tim Pemeriksa menjawab 'Oh iya, silakan.
Lima, Sepuluh menit?', saya menjawab, tidak.
Kecerdasan saya tidak cukup mampu memahami pesan-pesan yang tertulis dalam SOP itu.
Saya butuh waktu 12 jam untuk memahami itu. Jadi nanti malam kalau mau diperiksa saya siap," tutur pria asal Pati itu.
Tim Pemeriksa, kata Dr Sucipto tidak menyanggupi permintaannya terkait waktu untuk membaca SOP tersebut.
Dia mengungkapkan, tim diminta untuk segera memeriksa dan menyelesaikan pemeriksaan pada pada hari itu juga.
"Lalu saya katakan, tidak bisa. Kata segera bagi saya itu tidak saintifik. (Ibarat-red), jika saya lapar saya segera makan, itu berapa menit? 1 jam?
Jika saya hendak mengikuti sebuah seminar internasional, saya membuat paper segera saya harus menuntaskan paper itu.
Apakah (membuat paper-red) 1 jam, sehari selesai? Tidak bakal selesai," lanjut Dr Sucipto.
Dr Sucipto mengatakan, kata segera yang diamanahkan oleh surat itu tidak masuk akal.
Sejak awal dia siap diperiksa kapan saja, entah itu malam atau keesokan harinya.
"Jadi SK itu muncul ya hanya berdasarkan itu. Jadi, ibarat bagaimana melaksanakan salat jika prasarat wudu saja tidak dilaksanakan?
Saya mau tandatangan Surat Berita Acara yang isinya hanya itu, kesediaan saya diperiksa," tandas Dr Sucipto. (Muhammad Sholekan)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Ini Beberapa Kejanggalan Pemeriksaan hingga Pembebastugasan Dosen Unnes Dr Sucipto Hadi Purnomo