Oknum Pendeta di Surabaya Cabuli Jemaatnya Selama 6 Tahun Karena Gunakan Pengaruhnya
Seorang pendeta di Surabaya ditahan polisi dengan tuduhan mencabuli jemaatnya selama enam tahun.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Seorang pendeta di Surabaya ditahan polisi dengan tuduhan mencabuli jemaatnya selama enam tahun.
Dia disebut menggunakan kuasanya sebagai pemimpin gereja untuk melakukan perbuatan tersebut.
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, mengatakan pendeta berinisial HL itu diduga melakukan pencabulan kepada anak di bawah umur berinisial IW yang saat itu masih berusia 10 tahun.
Berdasarkan keterangan korban, kata Trunoyudo, tindakan dugaan pencabulan oleh oknum pendeta itu berlangsung dari 2005 hingga 2011.
"Korban melapor langsung (ke polisi). Kini, (HL) sudah tersangka sejak hari Jumat (kemarin) dengan sangkaan pencabulan anak di bawah umur," kata Trunoyudo kepada BBC News Indonesia, Minggu (08/03).
Trunoyudo mengatakan, keputusan menetapkan HL sebagai tersangka karena telah memiliki bukti-bukti yang cukup.
"Ya, saksi-saksi sudah dirasakan cukup. Saksi korban sudah (diperiksa), terus ditambahkan lagi dengan keterangan tersangka," katanya.
Aktivis kemanusiaan dari Paritas Institute menilai HL menggunakan relasi kekuasaannya sebagai gembala sidang atau pemimpin gereja yang bebas dari pengawasan saat memperkosa jemaatnya selama hampir enam tahun.
Baca: Ketika 2 dari 27 Pasien Positif Corona di Indonesia Akhirnya Bawa Kabar Bahagia
Baca: Pasutri di Malang Bunuh Diri Bersama, Tinggalkan Wasiat Terakhir, Di Dompet Ada Uang, Maaf ya Nak
Baca: Ingat Puspa Dewi yang Dijuluki Nenek Cantik? Kini Punya Cucu di Usia 52 Tahun, Foto Kayak Ibu & Anak
Baca: Italia Seperti Kota Mati, Jalanan Lengang, Restoran Sepi Sejak Locking Diberlakukan
Kini, HL mendekam di balik terali besi penjara guna menjalani proses hukum.
Ia akan terus ditahan hingga proses berita acara berkas perkara selesai dan kemudian dilimpahkan ke jaksa dan lalu menjalani persidangan, kata Trunoyudo.
Tersangka HL dijerat dengan Undang-undang (UU) Perlindungan Anak Pasal 82 dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan atau Pasal 264 KUHP dengan ancaman hukuman tujuh hingga sembilan tahun penjara.
Tim Ditreskrimum Polda Jatim menjemput paksa HL di rumah temannya di Sidoarjo pada Sabtu (7/3/2020). Penangkapan itu dilakukan karena HL diduga akan melarikan diri ke luar negeri.
"Kami tidak ingin pelaku melarikan diri, karena kami mendapatkan informasi pelaku akan terbang ke luar negeri untuk menghadiri undangan," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jatim Kombes Pitra Ratulangi.
Beberapa kasus pencabulan oknum pendeta di Indonesia
Sejumlah laporan menyebutkan ada beberapa kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pendeta di Indonesia.
BBC News Indonesia merangkum beberapa dugaan tindakan pelecehan seksual yang pernah dilakukan oleh beberapa oknum pendeta di Indonesia.
1. Seorang pendeta gereja di Kota Bekasi berinisial DM diduga mencabuli anak dibawah umur saat berusia 12 tahun hingga melahirkan.
2. Seorang pendeta berinisial IAG di Jawa Timur diduga melakukan pencabulan tujuh orang anak asramanya, lima perempuan dan dua anak laki-laki.
Dia terbukti bersalah melakukan pemerkosaan di tahun 2014 dan divonis 15 tahun penjara pada 2016.
3. Seorang pendeta di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, berinisial HSK diduga memperkosa dan membunuh seorang perempuan yang merupakan jemaatnya dan juga anak angkatnya di kamar mandi gereja pada 2018.
4. Seorang pendeta berinisial BS di Kalimantan Tengah diduga mencabuli tiga anak perempuan di bawah umur dari November 2017 hingga Januari 2018.
Mengapa pencabulan terjadi? Aktivis kemanusiaan dari Paritas Institute yang fokus dengan isu gereja, Woro Wahyuningtyas, mengungkapkan, berkaca dari kasus HL, terdapat setidaknya dua alasan mengapa pelecehan seksual antara pendeta dengan jemaatnya berulang kali terjadi.
Pertama, kata Woro, disebabkan oleh mudahnya seseorang menjadi pendeta di beberapa aliran dalam agama protestan sehingga kualifikasi seorang pendeta menjadi kurang memadai.
"Ada beberapa sekolah teologi yang hanya satu tahun atau bahkan kurang, seseorang sudah menyandang gelar pendeta yang kemudian punya kekuasaan terhadap jemaat-jemaatnya, padahal belum memiliki kualifikasi cukup sebagai pendeta," kata Woro.
Untuk itu, kata Woro, negara harus memperketat regulasi bagi sekolah teologi dalam menabiskan pendeta dan juga syarat kompetensi yang cukup bagi seorang pendeta.
Kedua, kata Woro, tidak adanya pengawasan bagi gereja protestan yang tidak tergabung dalam organisasi besar gereja di Indonesia.
Artinya, kata Woro, seperti kasus HL, ia membuat gereja seperti perusahaan, di mana HL berperan sebagai pemilik gereja, gembala sidang gereja, dan pula sebagai pengawas gereja.
"HL membuat gereja seperti perusahaan. Gembala sidangnya sendiri, tidak ada proses pengawasan yang bisa dilakukan," ujar Woro.
"Sehingga tidak ada proses pengawasan yang bisa dilakukan di dalam gereja," kata Woro.
Untuk itu, menurut Woro, Kementerian Agama harus selektif dan ketat memberikan izin pada gereja.
Kemudian, lanjutnya, gereja juga harus tergabung organisasi, dan Kementerian Agama melakukan pemeriksaan berkala.
"Walaupun perilaku seseorang agak susah dikontrol, tapi paling tidak, izin gereja tidak semudah hari ini yang akhirnya relasi kuasa itu tidak pernah ada, dan perlu dilakukannya pemeriksaan dan pengawasan berkala," kata Woro.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gunakan Kuasa, Pendeta di Surabaya Cabuli Jemaatnya Selama 6 Tahun, Ini Penjelasannya"