Pakar Sebut Pelaku Pelecehan dan Perundungan Siswi di Bolaang Mongondow dalam 'Fase Iseng'
Kasus pelecehan dan perundungan yang menimpa seorang sisiwi SMK di Bolaang Mongondow mendapat perhatian dari perbagai pihak.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Kasus pelecehan dan perundungan yang menimpa seorang siswi SMK di Bolaang Mongondow mendapat perhatian dari perbagai pihak.
Termasuk dari Ketua Asosiasi Psikologi Forensik, Reni Kusumowardhani.
Reni mengatakan kasus tersebut harus diperhatikan secara seksama sehingga mengetahui secara pasti penyebab pelecehan dan perundungan tersebut.
"Kita lihat ini dilakukan oleh remaja. Di mana perundungan ini dilakukan secara bersama-sama," ujarnya dikutip dari tayangan YouTube KompasTV, Kamis (12/3/2020).
Baca: Belajar dari Kasus Driver Ojol Lecehkan Siswi SMK, Ini Saran Psikolog untuk Hindari Pelecehan
Reni memandang remaja pelaku kasus tersebut dalam masa fase iseng, yang mana membuat mereka dimungkinkan melakukan hal iseng-iseng lainnya.
Baik di lingkungan masyarakat bahkan saat berada di sekolah.
Sehingga dirasa perlu untuk membuat sistem pengendali penekan dorongan remaja untuk berperilaku iseng.
"Anak-anak ini memang di fase iseng, banyak keisengan yang sangat mungkin dia lakukan, sehingga yang paling diperlukannya sistem kendali," tandas Reni.
Reni melanjutkan, rasa iseng tersebut mungkin berasal dari kebiasan dalam keseharian masyarakat saat ini.
Baca: Fakta Pelecehan Seksual di Gang Ciracas, Beraksi 6 Kali hingga Pelaku Sudah Berkeluarga, Motifnya ?
Ia memisalkan saat orang lain terpeleset atau jatuh, bukan pertolongan tapi sorakan kegembiraan yang diberikan.
"Kita lihat orang jatuh teriak hore dan diketawain. Melihat orang menderita jadi bahan tertawaan"
"Ini bisa menjadi pencetus keisengan-keisengan lainnya. Mungkin betul tujuan para pelaku untuk sekedar bersenang-senang saja," imbuh Reni.
Reni menekankan apa yang diyakini oleh pelaku tentu tidak sama dirasakan oleh siswi yang menjadi korban pelecehan dan perundungan.
"Ada empati yang dilupakan di sini, mereka lupa bahwa korban ini akan begitu sangat menderita," tuturnya.
Untuk itu Reni meminta semua pihak yang berkepentingan untuk melakukan penulusuran secara mendalam.
Sehingga akan diketahui secara jelas motif pelaku melakukan hal tercela tersebut.
"Pelaku anak-anak apa memiliki kecenderungan agresivitas seperti itu"
"Atau memang ini konformitas remaja yang kurang teladan, kurangnya perkembangan rasa empati" tegasnya.
Baca: Heboh Kasus Kepsek Cium Siswi di Kelas Kosong, Ini yang Harus Dilakukan saat Alami Pelecehan Seksual
Tanggapan KPAI
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto dalam kesempatan yang sama mengingatkan kembali sejumlah aturan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Seperti yang dimanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Permendikbud 82 tahun 2015.
Susanto juga menegaskan betapa pentingnya satuan pendidikan mampu melakukan deteksi terhadap peserta didik di ketika berada di lingkungan sekolah.
"Harus melakukan deteksi dini apakah anak ini potensial menjadi korban atau anak ini menjadi pelaku," ujarnya.
Susanto melihat adanya lima tipologi yang dapat menggambarkan potret kasus-kasus penyimpangan di lingkungan satuan pendidikan maupun di dalam komunitas anak.
Pertama, menurutnya tipologi adalah kekerasan secara terbuka, dimana kekerasan biasanya dilakukan secara berkelompok.
"Seperti tawuran dan sebagainya bullying bisa juga antara group dengan group yang sering terjadi. Kasus ini dilakukan tidak satu orang tapi secara berkelompok dan dan itu terbuka," katanya.
Baca: Marak Pelecehan Seksual, Sejumlah Siswi Jadi Korban, Aktivis Perempuan Beri Tanggapan
Kelompok kedua kekerasan dengan tipologi yang mana dilakukan secara perseorangan.
Biasanya berupa ancaman di suatu tempat tertentu
"One by one," tegas Susanto
Sedangkan kekerasan agresif menjadi tipologi yang ketiga.
Susanto mencontohkan kekerasan ini seperti memalak teman sebaya baik barang atau hal lainnya.
Tipologi kekerasan keempat adalah defensif yang mana dalam banyak kasus anak terpakas melakukan kekerasan untuk melindungi dirinya dari suatu ancaman.
"Terakhir tipologi kekerasan yang secara insidental. Bentuk ini serkiang kali terjadi karena terkondisikan oleh lingkungan"
"Anak mencoba becanda sebagai respot dan kemudian melakukan bullying atau kekerasan terhadap temannya," beber Susanto.
Melihat lima tipologi kekerasaan di atas, Susanto berjanji akan melakukan koordinasi untuk memastikan motif di balik kasus pelecehan dan perundungan yang menimpa seorang sisiwi SMK di Bolaang Mongondow ini
"Yang penting di dalami adalah, apakah ini anak-anak sering melakukan hal tersebut sehingga dianggap bercanda"
"Atau karena hal lainnya. Dan kasus ini segera diselesaikan sebagai bentuk upaya perbaikan pelayanan pendidikan," tutupnya.
Lihat pernyataan Ketua Asosiasi Psikologi Forensik, Reni Kusumowardhani dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto di SINI
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.