Viral Kisah Pak Guru Datangi Rumah per Rumah Lantaran Siswa Tak Punya HP Buat Belajar Online
Avan yang tidak ingin menambah beban para orangtua siswa dengan menyuruh untuk membeli atau pinjam hp, memilih untuk datang dari rumah ke rumah
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, MADURA - Pandemi virus corona membuat aktivitas belajar mengajar siswa sekolah harus dilakukan di rumah memanfaatkan teknologi secara dalam jaringan (daring/online).
Teknologi itu lazimnya bisa berupa perangkat telepon seluler (ponsel) atau komputer jinjing.
Apa jadinya bila teknologi itu tak ada?
Dalam kondisi itu, sepertinya tatap muka guru dan siswa harus dilakukan secara manual.
Itu pula yang dilakukan Avan Fathurrahman seorang guru asal Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Guru di SD Negeri Batuputih Laok 3, Sumenep, Madura, Jawa Timur itu memilih menyambangi rumah siswanya satu per satu.
Hal itu dia lakukan lantaran tidak semua siswanya punya teknologi yang mendukung fasilitas belajar online
Sebagian besar wali muridnya banyak yang tidak memiliki HP canggih untuk melakukan proses belajar mengajar.
Avan yang tidak ingin menambah beban para orangtua siswa dengan menyuruh untuk membeli atau pinjam hp, memilih untuk datang dari rumah ke rumah siswa.
Melalui unggahan di akun Facebook-nya, Avan Fathurrahman menceritakan pengalamannya mendatangi satu per satu muridnya untuk memandu mereka belajar di rumah.
Dalam penuturannya, sejumlah kesulitan yang dialami Avan, di antaranya harus mengunjungi siswanya dengan Jarak tempuh yang jauh di masa pandemi virus corona.
Diunggah pada Kamis (16/4/2020) hingga Sabtu (18/4/2020) pagi, unggahan Avan sudah menyebar dan dibagi ulang lebih dari 5.200 kali.
Berikut Narasi postingan Facebook Avan Fathurrahman:
Ternyata saya belum jadi guru yang baik.
Sudah beberapa minggu saya berada dalam posisi yang dilematis. Bukan masalah rindu. Tapi tentang imbauan Mas Mentri, agar bekerja dari rumah. Ini jelas tidak bisa saya lakukan, karena murid saya tidak punya sarana untuk belajar dari rumah. Mereka tidak punya smartphone, juga tidak punya laptop. Jikapun misalnya punya, dana untuk beli kuota internet akan membebani wali murid.
Beberapa minggu yang lalu, ada salah seorang wali murid yang bilang ke saya, bahwa akan mencari pinjaman uang untuk membeli smartphone. Karena mendengar kabar bahwa rata-rata, anak-anak harus belajar dari HP cerdas. Saya terkejut mendengar penuturannya. Lalu pelan-pelan saya bicara. Saya melarangnya. Saya memberikan pemahaman bahwa belajar di rumah, tidak harus lewat HP. Siswa bisa belajar dari buku-buku paket yang sudah dipinjami dari sekolah. Saya bilang, bahwa sayalah yang akan berkeliling ke rumah-rumah siswa untuk mengajari.
Lega.
Ada raut kegembiraan di wajahnya.
Jadi, di masa pandemik ini, saya memang harus keliling ke rumah-rumah siswa, setidaknya 3 kali dalam seminggu. Medan yang saya tempuh juga lumayan jauh. Selain jarak antar rumah siswa memang jauh, jalan menuju ke masing-masing rumah siswa bisa dibilang kurang bagus. Bahkan jika hujan, saya harus jalan kaki ke salah satu rumah siswa.
Saya sadar ini melanggar imbauan pemerintah agar tetap bekerja dari rumah. Tapi mau gimana lagi? Membiarkan siswa belajar sendiri di rumah tanpa saya pantau, jelas saya kurang sreg. Bukan tidak percaya pada orang tua mereka. Tapi saya tahu, bahwa sekarang mereka sibuk. Ini masa panen padi.
Setiap hari orang tua siswa itu harus bekerja ke sawah. Ikut gotong-royong panen padi dari tetangga yang satu ke tetangga yang lain. Kebiasaan ini mereka bilang "otosan". Jadi anak-anak harus belajar sendiri. Malam, mereka ke langgar. Maka sayalah yang harus hadir untuk mendampingi mereka begiliran meski sebentar. Menjelaskan materi, Memberikan petunjuk tugas, mengoreksi tugas yang diberikan sebelumnya, termasuk memberikan apresiasi pada pekerjaan mereka.
Saat TVRI menyediakan tayangan edukasi untuk siswa, saya sedikit lega. Kemudian dengan penuh semangat, saya menjelaskan pada siswa dan orang tuanya untuk mengikuti pelajaran di TVRI itu. Ini akan membantu, pikir saya. Tapi, lagi-lagi saya harus menelan ludah. 3 dari 5 siswa saya tidak punya Televisi di rumahnya. Dan saya tidak melanjutkan kampanye nonton TV pada siswa yang lain. Biarlah.
Oh iya. Awalnya saya tidak foto-foto setiap ke rumah siswa. Tapi, kemudian pengawas sekolah meminta pertanggungjawaban. Guru harus membuat laporan bekerja dari rumah. Disertai foto tugas siswa. Nah... Ini... Jadi saya harus banyak-banyak foto. Foto diri, foto dengan siswa, foto hasil pekerjaan siswa, juga foto pencitraan yang lain.
Bagi guru yang bisa bekerja dari rumah. Mengajari siswa secara virtual, dan menerima kiriman fail atau foto tugas siswa lewat WA, atau aplikasi lain, memang kelihatannya nyaman. Benar-benar bisa bekerja dari rumah.
Lah saya?
Saya harus melanggar imbauan pemerintah. Jadi jelas, saya belum menjadi guru yang baik. Tidak memberikan contoh yang baik bagi siswa karena melanggar imbauan pemerintah. Saya bukan tidak takut corona. Takut juga. Tapi gimana lagi?
Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua dari wabah penyakit, termasuk covid-19. Amin...
Mengajar di Pelosok Sumenep Madura
Avan menceritakan, dia mengajar di sebuah sekolah yang lokasinya ada di pelosok Sumenep, kabupaten paling timur di Pulau Madura.
"Sekolah saya kan agak pelosok. Kalau kelas VI-nya sendiri 5 orang, sedikit. Kelas V itu 4 (siswa), kelas III, 3 (siswa). Kalau siswanya (dari kelas I-VI) enggak sampai 20, karena bener di pelosok," kata Avan mengutip Artikel Kompas.com: "Kisah Pak Guru Avan, Mengajar dari Rumah ke Rumah karena Siswa Tak Punya Ponsel...".
"Kalau gurunya itu yang PNS itu 4. Jadi kepala sekolah 1, guru agama 1, guru olahraga 1, saya guru kelas," lanjut dia.
Aktivitas belajar dari rumah mulai berjalan pada awal Maret 2020.
Saat itu Avan menyadari bahwa tidak semua orangtua siswa memiliki kemampuan ekonomi yang baik untuk menyediakan fasilitas belajar online dari rumah.
Awalnya, ia berpikir, situasi ini tak akan berlangsung lama.
"Ternyata diperpanjang, diperpanjang, terus gimana dengan tugas itu? Gimana dengan mereka? Karena teman-teman (guru) yang lain, rata-rata yang mengajar di kota itu bisa berkomunikasi melalui gadget, bisa melalui video conference, dan lain-lain," ujar Avan.
"Untuk siswa saya, ini tidak mungkin dilakukan, saya bisanya telepon. Bahkan telepon anak-anak itu kan orangtuanya yang punya (handphone). Kadang pernah telepon dan tidak diangkat, karena orangtuanya sedang kerja di luar," lanjut dia.
Kondisi ini akhirnya membuat Avan harus melakukan kegiatan mengajar keliling dari satu rumah siswa ke rumah siswa lainnya.
Avan ingin memastikan bahwa anak-anak didiknya tetap menerima pelajaran baik akademik maupun non-akademik, meskipun mereka tidak pergi ke sekolah.
Menempuh jarak 20 kilometer
Avan bertanggung jawab mengajar siswa kelas VI, dia juga keliling mengajar siswa kelas IV dan V karena rumah para siswa ini berdekatan, paling jauh berjarak 1,5 kilometer.
dengan menggunakan sepeda motor dan dana pribadinya, Avan berangkat dari kediamannya di Dusun Toros, Desa Babbalan, Kecamatan Batuan, menempuh jarak sekitar 20 km untuk menjangkau rumah siswanya.
"Saya (guru) kelas VI, cuma ketika ke (rumah) siswa itu kadang siswa-siswa yang terdekat, baik kelas V, kelas IV, kelas lain, saya datangi juga, karena siswa saya juga sedikit di sekolah. Makanya, saya juga datangi yang lain-lain biar sama-sama ikut belajar," jelas Avan.
Hal yang membuat sulit karena rumah siswa ada yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki dan terlebih ketika hujan turun.
"Ya, karena kalau hujan itu selain becek, juga licin. Saya pernah agak hampir terjatuh, tapi alhamdulillah selamat," cerita Avan.
Untuk memastikan siswanya ada di rumah, Avan selalu berpesan agar mereka tidak pergi ke mana-mana dan tetap tinggal di rumah karena ia akan datang.
"Tapi, kadang saya (mengatakan) tidak harus hari Senin, tidak harus hari Rabu, bisa saja langsung besok, lusa (saya datang).
Tujuan saya enggak memberi tahu seperti itu, biar mereka tidak main ke mana-mana, maksudnya biar belajar di rumah saja," kata Avan.
"Saya juga ke orangtuanya menyampaikan seperti itu. Jadi minta tolong biar anak-anak tidak ke mana-mana, di rumah saja, jangan ke rumah temannya juga.
Saya akan ke sini, tapi jangan diberi tahu kapannya. Nanti saya akan datang saja'," lanjut dia.
Respons wali murid dan sekolah
Avan mengatakan apa yang ia lakukan mendapatkan dukungan dari pihak sekolah, meskipun memang dukungan itu tidak disampaikan dalam bentuk pendanaan.
"Sepertinya ini belum diatur juga ya, tidak ada aturan yang jelas penggunaan alokasi BOS itu untuk kegiatan seperti ini. Saya belum tahu itu, dan saya memang tidak memintalah, dianggap ini kan bagian dari tugas saya," ujar Avan.
Sesekali, kepala sekolah di tempat Avan mengajar pernah ikut bersamanya mendatangi rumah salah satu siswa. Kepala sekolah pun mendukung Avan untuk tetap meneruskan kegiatan ini.
"Ya betul (kepala sekolah mengizinkan), ya men-support beliau," kata dia. Sementara itu, orangtua siswa merasa senang karena mereka merasa lebih tenang meninggalkan anaknya di rumah ketika harus pergi bekerja ke sawah atau ladang.
"Kan gini, orangtuanya itu malah mikirnya 'Aduh Alhamdulillah, untung Bapak ke sini, jadi anak-anak juga belajarnya bisa terpantau. Kebetulan kan kerjanya ke ladang, ke sawah, jadi saya agak tenang lah berangkat kerja, malah setiap hari juga enggak apa-apa, Pak' gitu," kata Avan menirukan pernyataan para orangtua siswa.
Avan juga tak hanya mengajarkan materi-materi yang bersifat akademis. Ia juga menyampaikan hal-hal yang sifatnya kontekstual, seperti membantu orangtua, menjaga kesehatan, memperkenalkan apa itu Covid-19, dan mengingatkan anak-anak untuk senantiasa beribadah.
"Kalau saya ke sana itu, pertama, tanya tentang kegiatan keseharian. Jadi saya kan tahu sekarang tuntutan kurikulum tidak harus tercapai. Jadi tidak harus membebani siswa-siswa, tuntutan kurikulum harus tuntas, itu enggak. Di samping itu, saya juga meminta mereka, biasalah namanya juga guru, mengingatkan, jangan lupa shalat, ngajinya," jelas Avan.
"Misal pengetahuan soal Covid-19 ini, jadi saya juga bicara tentang itu. Yang pertama biar mereka tidak panik. Mungkin mereka tidak tahu ya apa itu corona, jadi saya sedikit berikan gambaran, tapi tidak terlalu detail. Yang penting mereka tahu sederhananya begini, terus bagaimana pencegahannya. Cuci tangan yang baik, jaga kesehatan, jaga jarak," sambung dia.
Avan menyadari bahwa keputusannya untuk mengajar siswa dari rumah ke rumah pada masa pandemi virus corona tak sesuai dengan imbauan pemerintah.
Akan tetapi, ia mengaku tak punya pilihan lain atas kondisi riil yang dihadapi siswanya.
"Di satu sisi saya memang paham bahwa saat ini tidak boleh keluyuran, tidak boleh ke mana-mana. Tapi memang, alhamdulillah di daerah saya itu masih zona hijau, itu yang pertama. Karena masih zona hijau, saya merasa insya Allah semoga aman saya jalan," kata Avan.
Selain wilayahnya masih termasuk zona hijau, dukungan dari keluarga juga membuatnya semakin yakin menjalankan kewajibannya sebagai seorang guru dengan kondisi siswa yang terbatas fasilitas.
"Kalau keluarga saya malah men-support, ya. Jadi kan saya diskusi juga, ini gimana kalau seperti ini. Saya sampaikan, niatkan. Ya alhamdulillah keluarga support," ujar dia.
Avan menjadi contoh dari guru pahlawan tanpa mengenal tanda jasa di tengah pandemi corona saat ini. (Luthfia Ayu Azanella/Kompas.com)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Pak Guru Avan, Mengajar dari Rumah ke Rumah karena Siswa Tak Punya Ponsel..."
Artikel juga tayang di suryamalang.com dengan judul Pak Guru Avan di Sumenep Madura Mengajar dari Rumah ke Rumah karena Siswa Tak Punya HP atau Televisi