Korupsi Menggurita jadi PR setelah Reformasi Berjalan 22 Tahun, Hukumpun Dinilai Tajam ke Bawah
Dalam diskusi '22 Tahun Setelah Reformasi, Mau Apa Lagi?' yang digelar Tribunnews, menyebut korupsi menggurita menjadi PR utama.
Editor: Pravitri Retno W
![Korupsi Menggurita jadi PR setelah Reformasi Berjalan 22 Tahun, Hukumpun Dinilai Tajam ke Bawah](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/diskusi-22-tahun-setelah-reformasi-mau-apa-lagi.jpg)
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Asep Abdullah Rowi
TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Setelah reformasi berjalan 22 tahun, korupsi yang masih menggurita menjadi pekerjaan rumah (PR)..
Hal ini disampaikan dalam diskusi '22 Tahun Setelah Reformasi, Mau Apa Lagi?' via daring yang berlangsung sekitar 2 jam, Kamis (21/5/2020).
Adapun narasumber diskusi Obrolan Virtual (Overview) yang digelar Tribunnews itu pukul 14.00 hingga 16.00 WIB, menghadirkan Guru Besar sekaligus Dekan FISIP UNS Solo, Prof Dr Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Sunarto alias Cak Nanto.
Prof Ismi langsung to the point mengupas pekerjaan rumah (PR) usai masa reformasi yang sudah berjalan 22 tahun ini.
Baca: Lima Berkas Perkara Korupsi Jiwasraya Dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta
Baca: Wakil Ketua KPK: Penanganan Bencana dan Korupsi Saling Berimpitan
Sosok penting di UNS yang juga Anggota Dewan Pakar Indonesia Association for Public Administration (IAPA) itu, menerangkan jika korupsi menjadi satu dari sekian momok yang masih membelenggu kehidupan meski sudah reformasi.
"Korupsi sudah menggurita di hampir semua lembaga dan sektor," ungkapnya.
Dia menjelaskan berdasarkan Transparency International, Indonesia mendapatkan skor 40 atau naik 2 poin dari 2018.
Adapun skor 0 artinya negara tersebut sangat korup, sementara skor tertinggi 100 bersih dari korupsi.
"Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi di Asia Tenggara 2019, Indonesia masih kalah dari Singapura berskor 85, Brunei 60 dan Malaysia 53, sedangkan kita posisi 4 dengan skor 40," aku dia.
"Ini menjadi PR reformasi yang harus dibenahi," jelasnya menekankan.
Paling Korup di Pemerintah Daerah
Bahkan terjadinya korupsi yang selalu terdengar, berdasarkan Indonesia Corruption Watch, nama pemerintah kabupaten atau daerah menempati posisi paling puncak dengan 95 temuan sepanjang 2019.
Kemudian disusul pemerintah desa, kementerian, BUMN, hingga penegak hukum.
"Negara merugi Rp 8,4 triliun akibat korupsi tahun 2019, maka korupsi masih menggurita di mana-mana," aku dia.
Lebih lanjut dia menerangkan, ada sejumlah penyebab mengapa budaya korupsi belum musnah di Indonesia meskipun reformasi yang dilakukan untuk perubahan lebih baik menapaki 22 tahun lamanya.
"Ada serakah, jadi gak pernah nerimo (terima), kebutuhan untuk menunjang hidup, kesempatan hingga pengungkapan kasus yang selama ini terjadi tak sebanding," tuturnya.
"Ada kesan pembiaran, ya weslah rapopo (ya udah tidak apa-apa), kemudian hilang begitu saja," aku dia menekankan.
Maka Prof Ismi berharap 22 tahun reformasi menjadi momentum, sehingga prinsip dasar reformasi agar negara lebih baik bisa dijalankan dengan fokus penanangan yang lebih serius.
Mengingat menurut dia, selama ini penanganan korupsi dinilai tidak ada standarisasi yang jelas, sehingga UU memunculkan multi interpretasi.
"Penegak hukum tidak mempunyai kekuatan absolute dalam menangani kasus korupsi, terlebih ada tekanan," aku dia.
"Belum ada konsistensi penanganan, jadinya kurang berani," terangnya membeberkan.
Anekdot Dibuat untuk Dilanggar
Masih menyambung, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Cak Nanto, lebih menyoroti masalah hukum di tengah 22 tahun berjalannya reformasi di Indonesia.
Baca: Anggota DPRD Sumatera Utara Nyaris Berkelahi Dengan Petugas, Pergoki Dugaan Korupsi Bansos Covid-19
Baca: Cegah Korupsi Dana Corona, KPK Awasi Pengadaan Barang, Donasi hingga Bansos
"Yang selama ini terjadi, produk hukum di Indonesia banyak anekdotnya, dibuat untuk dilanggar dan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," paparnya.
"Pascareformasi masih banyak muncul," aku dia mempertanyakannya.
Menurut Cak Nanto, 22 tahun reformasi akan apa lagi, dikatakan olehnya lebih baik masalah kebebasan dan kesetaraan harus nyata diwujudkan bukan malah dihilangkan.
"Gimiknya saja yang berbeda saat ini, sebenarnya sama dengan tahun lalu kamuflase aja, reformasi kamuflase," kata dia.
Pasalnya 22 tahun reformasi lanjut dia, selain banyaknya korupsi juga partai politik masih dikuasai segelintir orang.
"Jadi partai turun temurun, kami harus berharap apa pada alam demokrasi ini?," sindirnya.
Bahkan pihaknya memunculkan target utama untuk berlangsungnya 22 tahun reformasi yakni melakukan reformasi lanjutan pada tatanan partai politik sehingga tercipta demokratisasi.
"Fungsi dan manfaat, kekuasaan dan dominasi itu ditentukan oleh parpol bukan rakyat sejatinya," pungkasnya. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunsolo.com dengan judul "22 Tahun Setelah Reformasi, Korupsi yang Masih Menggurita Jadi PR, Hukum Dinilai Tajam ke Bawah"
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.