Kisah Seorang Ayah di Aceh Dua Tahun Mencari Pelaku Pemerkosa Putrinya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyoroti penuntasan kasus anak yang berhadapan dengan hukum serta proses rehabilitasi.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Seorang anak korban perkosaan di Aceh berharap pihak berwenang menghukum pemerkosanya yang masih buron setelah dua tahun.
Perempuan itu berkata kejadian yang ia alami telah membuatnya "kehilangan masa depan".
Nova (bukan nama sebenarnya), 16 tahun, diperkosa oleh teman prianya pada November 2018 setelah dua bulan berkenalan di media sosial.
Pelaku yang juga masih berusia anak sempat ditangkap tapi kabur setelah sepekan berada di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) milik Dinas Sosial Pemerintah Aceh dan sampai saat ini masih buron.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyoroti penuntasan kasus anak yang berhadapan dengan hukum serta proses rehabilitasi bagi para pelaku di bawah umur.
'Biar dia rasa hilang masa depan seperti saya' Siang itu, Nova mengenakan kerudung hitam dan masker merah ketika BBC Indonesia menyambangi rumahnya. Korban pemerkosaan dua tahun lalu itu duduk di samping ayahnya.
Baca: Tak Hanya Perkosa Anak Kandung, Ayah di Padang Juga Setubuhi 3 Anak Tiri
Saat kejadian buruk itu menimpa, Nova baru berusia 14 tahun, duduk di kelas VIII SMP.
Tidak banyak bicara, Nova sempat menuturkan penyesalan dan trauma yang ia alami.
Ia merasa telah kehilangan masa depannya dan tidak lagi berbicara dengan lawan jenis di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tempat ia bersekolah sekarang.
Selain itu Nova sering merasakan ketakutan saat sendiri di rumah.
"Kadang-kadang sih iya, kalau misalnya tinggal sendiri di kamar sering terpikir, maunya dia dihukum kek (seperti) yang Nova rasain, kek Nova hilang masa depan," katanya.
Melalui pendamping dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Banda Aceh, Siti Rahmah, Nova menceritakan kisahnya secara lengkap bagaimana ia menjadi korban kekerasan yang berujung pada pemerkosaan.
Berawal dari media sosial
Nova mengenal AK (18) melalui Facebook pada tahun 2018 lalu. Dua bulan saling bertegur sapa melalui media sosial itu, AK lantas mengajak Nova jalan-jalan.
Nova yang saat itu berusia 14 tahun menerima ajakan itu.
Namun AK lalu mengajak Nova ke rumah kontrakan tempat AK tinggal bersama teman-teman SMA-nya. Saat itu teman-teman AK tengah sekolah, sementara AK sengaja bolos.
Nova ditarik secara paksa ke dalam rumah. Nova berusaha melawan dan berteriak meminta tolong, tapi AK menamparnya dan mendorongnya hingga Nova terjatuh.
Tindak kekerasan itu berakhir dengan perkosaan.
"Di proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi yang pertama (Nova) sempat nangis karena tertekan dan karena beberapa faktor, salah satunya karena dia hilang perawan yang membuat dia sedih. Kondisi waktu itu memang sedang tidak baik bagi korban," kata Siti Rahmah, pendamping Nova.
Siti Rahmah, mengatakan pada dasarnya penangkapan pelaku sangat penting untuk memulihkan kesehatan psikologis Nova.
"Bisa jadi dia sekarang kondisinya sudah down lagi karena pelakunya masih berkeliaran."
'Saya rela tukar nyawa'
Ya, hingga dua tahun berlalu, AK masih belum dapat ditangkap.
Orang tua Nova telah mengeluarkan biaya belasan juta rupiah untuk advokasi hukum dan pencarian pelaku pemerkosa anak tunggal mereka. Namun, hingga kini masih belum ada kepastian hukum.
Padahal uang itu mereka kumpulkan dengan susah payah. Sehari-hari orang tua Nova berjualan nasi dan lauk pauk.
Ayahanda Nova mengatakan berbagai cara telah ia tempuh selama dua tahun ini agar pemerkosa anaknya dapat ditangkap, mulai dari melapor ke polisi, Ombudsman, lembaga hukum, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh.
Namun hasilnya nihil.
"Saya menduga ada oknum dari tiga instansi yang bermain, sehingga kasus anak saya sampai sekarang masih belum selesai. Selain itu saya menduga tersangka ini anak orang kaya, jadi setiap datang penegak hukum yang ingin menangkapnya bisa dibayar, saya yakin hukum ini dijualbelikan sama oknum tertentu," tutur ayahanda Nova dengan emosional.
Ia pun kini mulai turun tangan mencari keberadaan pelaku pemerkosa anaknya, mulai dari mengintai kediaman pelaku, sampai suatu ketika pernah bertemu dan mengejar langsung pelaku, tapi pelaku berhasil kabur.
"Pelaku pernah saya kejar bersama dengan teman, tapi belum saya dapat. Karena polisi tidak sanggup menangani, jadi saya tangani sendiri. Sampai mati akan saya cari kalau polisi tidak menangkap, tukar nyawa pun saya terima," katanya.
Kepala Unit Reskrim Polsek Baitussalam, Banda Aceh, Bripka Anda Fajri, mengatakan bahwa kasus ini terjadi bukan pada masanya menjabat Kanit Reskrim, tetapi ia mengatakan sudah mempelajari kasus pemerkosaan ini selama sepuluh bulan terakhir menjabat.
"Tiga kali kami sudah ke Lamteuba mencari AK, memang enggak dapat karena masyarakat sudah menyembunyikan pelaku, kalau menurut prosedur pihak kepolisian sudah semaksimal mungkin bekerja," klaim Bripka Anda Fajri.
"Sekarang kasusnya sudah P21, tapi sudah tahap dua, mau ambil tersangka di dinas sosial, dibilang sama orang dinas sosial pelaku sudah melarikan diri," jelas Bripka Anda.
AK yang saat kejadian berusia 18 tahun, dikategorikan sebagai anak dan dititipkan ke LPKS Dinas Sosial Aceh untuk direhabilitasi.
LPKS menyatakan AK sempat berada di tempat mereka selama tujuh hari dan tidak menunjukkan sikap ingin kabur.
"Selama di sini, sikapnya baik, tidak ada perilaku ataupun kecenderungan-kecenderungan untuk kabur. Kita juga sudah hubungi keluarganya tapi kata orang tuanya dia tidak pulang ke rumah.
"Karena dia kabur, kami laporkan kembali ke kepolisian yang menitipkannya," kata Firman, pekerja sosial profesional LPKS Dinas Sosial Aceh.
'Rehab Tidak Tuntas'
Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) selama ini memang terdapat persoalan pada rehabilitasi bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
Tidak tuntasnya proses rehabilitasi yang dilakukan oleh lembaga rehab atau pemerintah memicu tingginya angka Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Kesimpulan ini berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh KPAI di 23 provinsi pada tahun 2019.
"Memang pemerintah sudah melakukan rehab, tapi ketika ditanya mereka tidak mampu menunjukkan hasil tuntas. Tantangannya memang di rehabiitasi karena di sini di mana anak bisa mengubah perilaku ke depan dan tidak melakukan kejahatan yang sama ke depan," kata Jasra Putra, Komisioner Divisi Monitoring dan Evaluasi KPAI.
Kesimpulan ini ditentang oleh LPKS Dinas Sosial Aceh yang menyatakan rehabilitasi sudah dilakukan sesuai tahapan pekerjaan sosial dan amanah undang-undang.
Menurut LPKS, pihaknya memberikan dukungan psikososial, religi, motivasi, ketrampilan, serta sejumlah pelatihan vokasi.
"LPKS ini bukanlah lembaga seperti lembaga pemasyarakatan ataupun penjara. Kita hanya berada di koridor pembinaan. Saya kaget dengan klaim KPAI, sementara koordinasi yang mereka lakukan pada kita juga tidak maksimal, " kata Kasubag Tata Usaha LPKS Aceh, Hersi Malahayati Sandra.
Lebih lanjut Hersi menambahkan, "Ketika dia kembali pada keluarga tentu banyak hal juga yang bisa membuat anak terpicu kembali, ketika kembali ke lingkungan kawan-kawan tergoda lagi, atau ada trigger yang memicu dia kembali pada tindakan yang sama."
Selama sembilan tahun terakhir, KPAI mencatat 41.050 pengaduan anak. Jumlah tersebut didominasi aduan Anak Berhadapan Hukum 12.943, keluarga dan pengasuhan alternatif 7.777, pendidikan 4.653, serta pornografi dan kejahata siber 4.375 aduan.
Pendidikan seksual yang tabu
Siti Rahmah, pendamping Nova, menyoroti pendidikan seksual yang seharusnya sudah mulai diajarkan kepada anak dan remaja, apalagi pada masa remaja biasanya anak suka mencoba-coba.
"Kalau di Aceh memang masih tabu mengenai pendidikan seksual, mungkin ini menjadi PR semua terutama pemerintah, bagaimana mengajarkan pendidikan itu di sekolah, bagaimana pendidikan seksual menjadi pencegahan," jelas Siti Rahmah
Pendapat Siti Rahmah diamini pula oleh KPAI.
"Pendidikan mengenai reproduksi, pendidikan seksual minim dilakukan, walaupun sekarang di PAUD sudah mulai diajarkan bagian tubuh yang tidak boleh disentuh, tapi pada masa remaja juga harus terus dilakukan, baik dampak terhadap hukum maupun terhadap dari sisi dampak seperti kehamilan, ini harus terus diberikan kepada anak-anak agar terus menjaga," kata Jasra Putra.
Selanjutnya Jasra menjelaskan, dalam sistem peradilan, anak usia 12-18 tahun bisa dituntut dengan pidana anak, jika pencabulan itu mendapatkan hukuman lima tahun keatas.
Artinya bisa diproses secara pidana dengan tetap memperhatikan aspek-aspek hak korban maupun hak pelaku.
"Sekali lagi kalau ini (kasus Nova) tidak tuntas, dari aspek korban tidak mendapatkan keadilan, dari pelaku dia seumur hidupnya akan menyandang status buron atau DPO.
"Harus diselesaikan, kita berharap polisi tetap memproses ini sesuai dengan UU perlindungan anak sesuai dengan sistem peradilan anak, dengan memberikan keadilan pada korban, dan efek jera kepada pelaku," tutur Jasra Putra.
Di rumahnya, siang itu, Nova menutup pembicaraan, "Sekarang jadi lebih sungguh-sungguh dalam menjalani segala sesuatu. Nova hanya ingin bahagiakan orang tua, Nova sebelumnya sudah bikin ayah ibu kecewa."
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.