Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

AMPPY Adukang Pungli di Sejumlah Sekolah ke Kejati DIY

Dari sejumlah aduan yang masuk, hampir sebagian besar sekolah yakni SMA, SMK, dan MA di DIY melakukan praktik pungli kepada orang tua murid

Editor: Theresia Felisiani
zoom-in AMPPY Adukang Pungli di Sejumlah Sekolah ke Kejati DIY
borgenmagazine.com
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) melaporkan dugaan pungutan liar (pungli) di sejumlah sekolah di DIY dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) setempat, Senin (24/8/2020).

AMPPY yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yakni LSPPA Yogyakarta, Perkumpulan IDEA, Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA), LBH Yogyakarta, Perkumpulan Aksara, Persatuan Orangtua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi), PKBI DIY, dan Pendidikan untuk Indonesia (PUNDI) itu merasa resah karena peraturan maupun surat edaran telah melarang adanya praktik pungli di sekolah.

Yuliani dari Sarang Lidi mengatakan, sebelumnya pihaknya telah membuka posko pengaduan praktik pungli di sekolah.

Dari sejumlah aduan yang masuk, hampir sebagian besar sekolah yakni SMA, SMK, dan MA di DIY melakukan praktik pungli kepada orang tua murid.

Baca: Oknum Polisi Pelaku Pungli ke WN Jepang Kini Diperiksa Polda Bali, Kabarnya Pensiun 2021

"Yang lapor dan mengadu itu jumlahnya banyak. Kalau di Kota Yogya itu hampir semua, di Bantul itu ada tiga yang lapor, Sleman juga. Itu nilai pungutannya antara Rp3,5-Rp7 juta," ujar Yuliani.

Dia menyebut, sekolah juga masih memberlakukan dan membahas rancangan anggaran dan pendapatan sekolah (RAPBS) yang disesuaikan dengan kondisi normal.

Padahal, di tengah pandemi Covid-19 semua sektor mengalami dampak, tak terkecuali para orang tua siswa.

Berita Rekomendasi

"Anggarannya malah dinaikkan, bukan ada empati bahwa orang tua lagi susah. Kondisi seperti ini kan pasti berdampak pada orang tua yang tidak punya penghasilan tetap," imbuhnya.

Yuliani menyatakan, mestinya sekolah membuat RAPBS sesuai dengan kondisi sekarang.

Pembelajaran tatap muka juga belum dilaksanakan, sehingga cukup banyak orang tua yang mengeluh.

"Orang tua kan juga jadi kasihan, banyak sekali yang dipaksakan. Bahkan seragam, sabuk juga harus beli, sepatu, kaus kaki. Kenapa pakaian dalam nggak dijual saja sekalian. Ini kam sudah sangat keterlaluan," tegas dia.

Di sisi lain, orang tua juga terdesak dan tidak bisa memilih.

Mereka disuruh menandatangani surat persetujuan atau beragam cara lain untuk membayar uang pungutan tersebut.

"Yang jelas kami ingin memutus mata rantai pelanggaran peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan di dunia pendidikan dan tahun depan sudah tidak ada lagi yang seperti ini. Jadi merdeka, anak yang kaya ya sekolah dan anak yang miskin punya hak yang sama untuk bisa sekolah," imbuhnya.

Baca: Kisah Ayah di India Kayuh Sepeda 7 Jam demi Anak Ikut Ujian Sekolah, Tak Punya Uang buat Naik Bus

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas