Bisnis Menggiurkan Tambang Batu Bara Ilegal di Muara Enim, Pundi Cukong Untung Rp 5,5 Juta per Hari
Tak ada alat berat di mulut tambang itu. Semua dilakukan tradisional dengan cangkul, sekop dan blencong dan mulut tambang menganga selebar kur
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, MUARA ENIM - Sebanyak 10 orang tewas tertimbun longsor saat melakukan aktivitas di tambang batu bara wilayah Tanjung Lalang Kabupaten Muara Enim, Rabu (21/10/2020).
Tambang batu bara tersebut diduga ilegal.
Sebelumnya Tribun Sumsel pernah melakukan investigas tambang batu bara ilegal di Muara Enim.
Berikut laporannya :
Perputaran uang dari bisnis tambang ilegal ini mencapai miliaran rupiah tiap harinya.
Untung emas hitam ilegal dinikmati cukong-cukong besar dan pemilik tanah.
Tambang batubara illegal yang dikelola scara tradisonal menyebar di Kabupaten Muaraenim Sumatera Selatan
. Untuk melihat dari dekat perkara ini, Tribun Sumsel berkolaborasi dengan Hutan Kita Institut, Pinus Sumsel dan Kanopi Bengkulu membentuk tim investigasi.
Melihat dari dekat aktifitas illegal tambang-tambang rakyat yang sangat tertutup ini.
Hamparan karung berisi batubara berjejer bertumpuk di sepanjang sisi jalan Dusun Karso Desa Darmo, Kabupaten Muaraenim di pos-pos cukong pengepul.
Baca juga: BREAKING NEWS, 10 Pekerja Tewas Tertimbun Longsor Tambang Batubara Ilegal di Muaraenim
Sore pekan lalu, tim investigassi bergerak menuju mulut tambang ilegal di Desa Darmo. Tim terpaksa menyamar untuk menembus lokasi mulut tambang mengingat rawannya daerah itu. Bahkan pada sumber yang menjadi penghubung.
Mulut tambang rakyat ilegal yang menjadi sasaran investigasi di Dusun Karso hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau sepeda motor.
Ada empat mulut tambang rakyat di dusun itu.
Tak ada alat berat di mulut tambang itu. Semua dilakukan tradisional dengan cangkul, sekop dan blencong.
Mulut tambang menganga paling tidak selebar kurang lebih 20 meter.
Dari dasar mulut tambang tampak belasan terowongan tambang.
Kabarnya terowongan ini bahkan begitu jauh dan dalam sampai ke bawah rumah-rumah penduduk dan jalan raya.
Deru mesin pompa air langsung terdengar keras saat mendekati bibir lubang.
Puluhan pekerja pria dan wanita tengah sibuk menambang batubara.
Tak ada tali atau kelengkapan apapun, bahkan sebagian dari mereka bertelanjang dada saat bekerja mengikis dinding lubang itu.
Pecahan batubara pun berjatuhan di dasar lubang, bahkan diantaranya hingga menggunung tinggi.
" Hari ini, kami tak bisa menambang di terowongan, karena dipenuhi air hujan semalam, sehingga harus disedot terbih dahulu," kata seorang pekerja.
Baca juga: Jalanan di Tokyo Jepang Amblas 5 M, Proyek Pembangunan Terowongan Bawah Tanah Dihentikan Sementara
Terowongan yang menyerupai goa berukuran dua kali dua meter sebenarnya merupakan lokasi penambangan.
Para pekerja seharusnya bekerja di dalam terowongan itu jika tidak ada air yang menggenangi.
Di dalam terowongan itu pekerja menggunakan penerangan senter. Panjang terowongan dapat mencapai ratusan meter, tergantung kemampuan para pekerja.
"Ukurannya semampunya. Sampai lelah dan tak mampu lagi menggali, diantara terowongan itu ada yang sampai 100 meter" katanya.
Terowongan itu mengarah tidak hanya satu titik saja namun bercabang-cabang ke kanan dan kiri, semuanya ditentukan pekerja.
Biasanya pekerja menduga potensi batubara besar sehingga memutuskan membuat lorong tambahan di dalam. “Semua pekerjaan pasti ada bahayanya. Yang penting dapat uang,” katanya.
Di terowongan mereka dibantu oleh para tukang ojek yang membawa karung-karung batubara keluar dari dalam lorong. Aktivitas penambangan dapat dilakukan sepanjang waktu ditentukan fisik masing masing pekerja.
"Cabang cabang terowongan biasanya berukuran lebih kecil, mungkin hanya muat untuk lalu lintas sepeda motor pembawa karung batubara," katanya
Ia menyebut para pekerja mendapatkan upah kisaran Rp. 2500 untuk satu karung. Sementara ojek batubara mendapatkan upah Rp. 3000-4000 perkarung tergantung dengan jarak.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah 21 Oktober 1966: Tragedi Aberfan, Kubur Ratusan Murid di Limbah Batu Bara
Para pekerja pada umumnya merupakan warga yang berasal dari daerah lain, mulai dari Banten, Lampung, Lahat. Mereka membangun hunian sementara di dekat lokasi tambang yang mereka kerjakan.
"Kalau satu orang bisa dapat 50 karung saja, dan disini ada 20 pekerja maka dalam sehari mereka mampu menaikan 40 ton batubara ke permukaan," sebutnya
Cahaya matahari tak lagi dapat masuk kedalam hanya berjarak sekitar tujuh meter dari mulut terowongan. Sejumlah lorong di dalam terowongan cukup sempit hanya berukuran lebar 1 meter dan tinggi 1,5 meter.
Interaksi dengan pekerja tak berlanjut, pekerja itu kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali. Menyusuri terowongan tak mudah, selain tinggi terowongan yang tak sama juga dasar terowongan cukup berlumpur.
Sejak harga karet anjlok penambangan ilegal ini makin massif. Penduduk setempat yang semula menyadap karet lalu turun jadi petambang. Sebelumnya pekerja tambang rakyat ini hanya berasa dari luar daerah seperti Lampung dan Jawa.
Pundi Cukong
- Satu Mulut Tambang Butuh Modal awal Rp 50 Juta
- Sewa tanah Rp 15 juta sebagai uang pangkal.
- Produksi 40 Ton/hari
- Harga: Rp 11500 per karung atau Rp 287,5/kg
- Omset: Rp 11,5 Juta/hari
- Untung bersih setelah di potong upah, jasa angkut sewa sewa: Rp 5,5 juta/hari
Pundi Agen
- Harga beli Rp 2,87 juta satu truk (10 ton)
- Harga Jual Rp 8 juta satu truk
- Untung bersih setelah dikurang biaya angkut Rp 2,5 Juta/truk
Pundi Pemilik Tanah
- Pemilik Tanah Rp 15 juta perbulan atau Rp. 1000 perkarung
Artikel ini telah tayang di Tribunsumsel.com dengan judul Tambang Batu Bara di Muara Enim Longsor, 10 Warga Tewas Tertimbun Lelongsoran