Kijang Merah Kamto dan Detik-detik Letusan Dahsyat Merapi 26 Oktober 2010
Menggunakan mobil Toyota Kijang warna merah nopol AB 1927 KZ, Pakde Kamto membantu mengevakuasi warga Ngrangkah hingga Kinahrejo
Penulis: Setya Krisna Sumarga
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
![Kijang Merah Kamto dan Detik-detik Letusan Dahsyat Merapi 26 Oktober 2010](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/detik-detik-merapi-meletus-26-oktober-2010-mobil-kijang-merah-milik-kamto-mengevakuasi-warga.jpg)
“Tapi saya nggak mau, karena harus ngurusi sapi. Di rumah sudah kosong tidak ada siapa-siapa. Simbok sudah mengungsi sehari sebelumnya (Senin, 25 Oktober 2010),” kata Mujirah kepada Tribun.
Mujirah juga beruntung lolos dari maut, meski ia terkurung di dalam rumahnya saat awan panas menyapu Kinahrejo.
Entah karena mukjizat atau sapuan awan panas tidak langsung menyapu rumahnya, Mujirah tidak mengalami luka berarti.
Ia sempat menjerang air dan memasukkan ke dalam dua termos untuk persediaan malam hingga paginya.
“Waktu mendengar tatit (suara kilat petir), saya baru yakin Merapi benar-benar meletus. Tadinya ya saya percaya tidak akan melewati Kinah,” kata perempuan abdi dalem Keraton Yogyakarta ini.
Nama abdi dalem Mujirah menurut serat kekancingan keraton,. Surakso Boga Taruno. Ia tercatat sebagai abdi dalem sejak sebelum 2006.
Ia tidak ingat persis waktunya pukul berapa saat itu, tapi Mujirah mendengar gelegar petir diikuti gemuruh dan berisik suara pohon patah atau bertumbangan.
“Saya hanya mondar-mandir di dalam rumah. Genting berjatuhan, pecah tertimpa dahan atau ranting pohon yang jatuh,” lanjutnya.
Selama beberapa menit, Mujirah hanya mondar-mandir di ruang tengah, dapur, mengintip dari balik pintu sapi-sapi di kandang sebelah rumahnya.
“Saya pasrah saja. Kepikiran saja mau mati di ruang tamu atau di kamar. Bingung. Listrik juga mati,” imbuh Mujirah.
Ia mencoba membuka pintu rumah, tapi sedikit saja daun pintu terbuka, hawa panas meruap dari luar. Ia buru-buru menutup kembali pintunya.
Baca juga: Mengintip Keindahan Desa Wisata Pentingsari di Lereng Gunung Merapi yang Mendunia
“Panas sekali itu hawanya dari luar,” kata Mujirah. Setelah beberapa menit berlalu, Mujirah duduk terdiam di dalam rumah.
“Sunyi sekali. Benar-benar tidak ada suara apa-apa. Sapi-sapi juga diam, blas tidak ada lenguhan atau suara apapun,” kenangnya.
Ia melongok ke kandang, ternyata satu ekor sapi terjerat tali. Setengah tubuhnya di luar kandang. Sepertinya berusaha kabur saat wedhus gembel menyapu.
Bermenit-menit kemudian, ia baru mendengar sayup-sayup derum mesin mobil dan suara orang-orang.
“Siapa mereka saya tidak tahu. Saya hanya mendengar ada yang teriak minta tolong di jalan dekat rumah,” katanya.
Belakangan ia baru tahu, dua putra Lurah Umbulharjo waktu itu, Pak Bejo, terjebak di Ngrangkah, atau persisnya jalan menuju Kinahrejo.
Arif dan Wahyu, nama dua putra Pak Lurah Bejo, tersambar awan panas dan mengalami luka bakar serius.
“Saya mendengar ada yang nanya, kamu siapa? Wahyu dan Arif, putra Pak Bejo,” ujar Mijirah menirukan yang didengarnya petang itu.
Kedua korban diangkut mobil bak terbuka milik Bagyo, sekarang jadi Kepala Dusun Ngrangkah, kendaraan pertama yang masuk Kinahrejo setelah letusan besar petang itu.
Mujirah kemudian keluar rumah menenteng senter, ikut naik mobil bak terbuka, yang langsung melesat ke arah Balai Desa Umbulharjo.
Berhenti sebentar, mobil langsung meneruskan perjalanan membawa korban luka bakar ke RS Panti Nugroho, Pakem. Mujirah ikut ke rumah sakit itu, hingga paginya dipindah ke pengungsian.
Rentetan letusan Merapi Oktober-November 2010, membuat rumah temboknya di Dusun Ngrangkah ludes, menyisakan pondasi belaka.
Ia hanya smepat menyelamatkan empat ekor sapinya, keesokan harinya, atau Rabu 27 Oktober 2010. Sapi-sapi itu semuanya berluka bakar. “Mesakke (kasihan) keadaannya,” katanya.
Ternak piaraannya itu dipindahkan ke tanah kosong di sebelah timur Balai Desa Umbulharjo, sebelum beberapa hari kemudian dipindahkan lagi ke lokasi aman di Sleman.
Mengingat momen 10 tahun lalu, Mujirah hanya bisa bersyukur semua keluarganya selamat dari bencana mengerikan itu.
Suasana seram ketika ia terjebak di dalam rumah, yang sekelilingnya diterjang awan panas, masih ia ingat betul.
Jauh sesudah jadi pengungsi, Mujirah yang tidak lulus SD, memperoleh jatah rumah di Huntap Karangkendal, Umbulharjo. Tapi ia kini tinggal di komplek Bumi Perkemahan Sinolewah.
(Tribunnews.com/ Setya Krisna Sumarga)