Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat Termuda Gemetar saat Gunung Merapi Meletus pada 2010, Kaca dan Pintu Jendela Pos Bergetar

Peristiwa erupsi Gunung Merapi di tahun 2010 menyisakan memori membekas di benak pengamat Alzwar Nurmanaji.

Editor: Miftah
zoom-in Pengamat Termuda Gemetar saat Gunung Merapi Meletus pada 2010, Kaca dan Pintu Jendela Pos Bergetar
Istimewa/Tribun Jogja
Asap pembakaran bangkai hewan ternak yang tewas akibat awan panas Merapi 2010 di Dusun Bronggang, Cangkringan, Sleman. 

Saat ini Surat ditugaskan di PGM Selo. Pos ini popular disebut UGA Selo. UGA singkatan Unit Gunung Api, nama peninggalan era Orde Lama.

Ia dilahirkan di Dusun Plalangan, Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali pada 1972. Surat berlatar petani dan penggarap ladang.

Ia hanya mencicipi pendidikan di SD Selo 2. Sesudah itu tidak melanjutkan sekolah, karena situasi ekonomi. Pak Surat berkelana, menemukan pekerjaan di peternakan ayam.

Pertama kali ia bekerja di sebuah peternakan ayam di Polokarto, Sukoharjo. Sehari-hari ia tinggal di kandang, di lokasi yang jauh dari permukiman penduduk.

Sejak tahun 2000an, ia pulang ke Selo, membantu orang tuanya bertani. Pada tahun itu, di Selo digelar Lomba Kebut Gunung Merapi-Merbabu.

Suratno yang sebelumnya kerap naik turun Merapi ikut serta. “Saat itu start lomba mendaki Merapi dari Joglo Selo, bukan dari New Selo seperti sekarang,” kata Suratno.

Kebut Gunung itu lomba adu kecepatan mendaki Merapi dan Merbabu. Unsur kecepatan faktor penentu. Setiap peserta akan membawa beban pasir seberat 15 kilogram, ditambah perbekalan pribadi seperlunya.

Berita Rekomendasi

Beban 15 kilogram itu harus utuh saat start maupun finish di titik awal keberangkatan. Di sepanjang rute ada pos-pos yang dijaga panitia, sehingga tidak mungkin beban itu dilepas atau dikosongkan.

“Waktu tempuh saya 1 jam 22 menit, pulang pergi. Saya juara dua. Juara pertamanya Ramli, tetangga satu dusun (Plalangan). Juara ketiganya Arif dari Jogja,” kenang Surat.

Waktu tempuh 1 jam 22 menit naik turun ke puncak Merapi (Pasar Bubar), tentu saja tidak masuk akal buat orang awam.

Apalagi start dari dekat jalan raya Selo, bukan di Plawangan (New Selo) seperti pintu masuk pendakian Merapi sekarang ini.

Baca juga: BPPTKG Sebut Gunung Merapi akan Erupsi dalam Waktu Dekat

Baca juga: Jadah Tempe Mbah Carik, Kuliner Legendaris Khas Lereng Gunung Merapi yang Tak Boleh Dilewatkan

Setya Krisna Smargo-Yulianto (celana loreng), Sapari dan Suratno saat berada di puncak Merapi 26 Oktober 2011 bersama tim Tribun Jogja
Setya Krisna Smargo-Yulianto (celana loreng), Sapari dan Suratno saat berada di puncak Merapi 26 Oktober 2011 bersama tim Tribun Jogja (Istimewa/Tribun Jogja)

Nah, saat jelang letusan 2010, Suratno dimasukkan ke tim 7, yang mendaki ke puncak seminggu sebelum erupsi. Ia turut merasakan pengalaman istimewa bersama petugas Merapi lainnya.

“Hawa di puncak jauh lebih panas dibanding biasanya. Begitu sampai, hawa panas itu terasa. Di beberapa retakan dinding kawah, saya lihat gas panas yang keluar warnanya biru,” kata Suratno.

Ia termasuk orang yang tiba pertama di puncak Merapi, tepatnya di kawah mati bersama Sapari, petugas BPPTK Yogyakarta yang menangani teknis instrumentasi.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas