Merintis Kampung Perca, di Sindang Sari Tajur
Tujuan pembangunan Kampung Perca, yakni menggerakkan ekonomi masyarakat berdasarkan potensi lokal
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Suatu ketika, Nining Sriningsih merasa prihatin dengan kondisi beberapa tetangganya di lingkungan RW 01 Kelurahan Sindang Sari. Wanita paruh baya itu prihatin, karena diantaranya ada suami istri yang sering cekcok. Bahkan ada pula yang istrinya sampai meninggalkan rumah.
Semuanya gara-gara mereka terlilit hutang pinjaman di bank keliling. Jumlah warga setempat yang senasib ternyata cukup banyak. ”Saya jadi kasihan dan prihatin terhadap kondisi mereka,” ungkap istri Ketua RW 01 tersebut.
Pengalaman aktif selama 36 tahun bergerak di bidang sosial, agama, kesehatan, PKK dan sebagainya membuat hati Nining tergerak. Ia pun berpikir mencari solusi. Ia mengajak suaminya, Badri, Ketua RW 01, berdiskusi.
Kepada Badri, Nining mengungkapkan niat dan keinginannya membantu para tetangganya keluar dari himpitan masalah kesulitan ekonomi. Kemudian munculah ide untuk memberdayakan mereka. Terutama ibu-ibu, agar kelak mereka bisa memiliki penghasilan tambahan.
Akhirnya ia pun menghubungi Mardianto, tetangganya yang lain, pemilik tempat kursus jahit dan konveksi Harapan Antar Sesama (HAS). Gayung bersambut. Mardianto mendukung gagasan Nining untuk melatih para ibu menjahit.
Dia mempersilakan mesin-mesin jahit yang ada di tempatnya dimanfaatkan untuk berlatih. Begitupun sisa kain dan benang jahit yang tidak dipergunakan lagi, boleh dipakai.
Selanjutnya Nining menyampaikan niat tersebut kepada Lurah Sindang Sari dan istrinya. Dukungan pun bertambah. Apalagi, Enny Wulan, istri Lurah yang juga menjabat Ketua TP PKK Kelurahan Sindang Sari memang berpengalaman di bidang fashion.
Lalu menyatulah energi positif diantara mereka. Awal September 2020, ide Nining pun terwujud. Sebanyak 15 ibu menyatakan mau bergabung dalam gerakan itu. Lahirlah gerakan HAS Sabilulungan.
“Yang artinya kurang lebih, Harapan Antar Sesama saling tolong menolong dalam kebersamaan,” lanjut Nining.
“Hampir semua mereka tidak bisa menjahit, kecuali dua orang yang sudah punya pengalaman,” ungkap Enny. Maka bergeraklah dirinya untuk mengajar.
“Disini saya jadi menemukan kembali passion saya di bidang desain,” ungkap Enny.
Di tengah kesibukannya, Enny bergantian mengajar dengan dua ibu yang sudah berpengalaman. Pada awalnya mereka belajar membuat masker memanfaatkan potongan kain yang ada.
Bersyukur, setelah dipromosikan dalam sebuah kegiatan, maskernya ada yang berminat membeli. Sejak itulah pesanan membuat masker terus mengalir. Menurut Nining, penghasilan pertama dipakai buat modal membeli gunting, setrikaan, meteran dan memperbaiki mesin jahit yang rusak.
“Setelah itu barulah mulai membagi keuntungan pertama kepada ibu-ibu dan masing masing mendapat Rp 45 ribu,” kenang Nining sambil tersenyum.