Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Setahun Menjabat, 183 Desa Punya Ambulans

Anne Ratna Mustika, perempuan pertama yang jadi Bupati Purwakarta. Ia mengaku gaya kepemimpinnya berbeda dengan suaminya, Dedi Mulyadi.

Editor: cecep burdansyah
zoom-in Setahun Menjabat, 183 Desa Punya Ambulans
WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA
Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika, difoto saat berkunjung ke Kantor Bupati Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (16/4/2021). Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha 

Wawancara Eksklusif dengan Bupati Purwakarta

Anne Ratna Mustika merupakan perempuan pertama yang terpilih jadi Bupati Purwakarta, mengaku tidak lah mudah. Waktu mencalonkan diri, istri Dedi Mulyadi yang juga jadi Bupati Purwakarta dua periode ini, sempat ditolak oleh sebagian masyarakat.

Namun Anne terus melanjutkan pencalonanannya, karena berdasarkan survey saat itu, ia mendapat suara paling banyak. Jadi Ambu, begitu ia akran dipanggil, bukan hanya bermodalkan dukungan suami, tapi justru hasil survey.

Anne, begitu terpilih, langsung memgusung slogan "Melanjutkan Purwakarta Istimewa" sebagai implementasi untuk meneruskan program-program yang berpihak kepada rakyat.

Lantas apa saja yang menjadi program kerja Ambu Anne sebagai Bupati Purwakarta periode 2018-2023?
Kepada jurnalis Warta Kota Muhammad Azzam, Ambu Anne menjabarkan program-program kerja Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Ia juga berbicara pengalamannya yang sempat mendapat penolakan dari warga semasa Pilkada.

Berikut petikan wawancara eksklusif Warta Kota bersama Anne Ratna Mustika, Bupati wanita pertama di Kabupaten Purwakarta yang berlangsung di Kantor Bupati Purwakarta, Jalan Ganda Negara, Kecamatan Purwakarta, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, belum lama ini:

Anda merupakan Bupati Purwakarta perempuan pertama. Bagaimana menyikapinya?

BERITA TERKAIT

Tentu tidak mudah ya, karena ini sejarah pertama ada calon Bupati Purwakarta seorang perempuan. Semasa Pilkada ada beberapa kelompok masyarakat yang belum menerima, tapi saya katakan saya punya niat baik.

Saya punya tagline, "Melanjutkan Purwakarta Istimewa" . Kemudian saya sosialisasikan program-program. Akhirnya saya menang dengan memperoleh suara terbanyak, 42 persen. Ini menjadi catatan sejarah dan semoga bisa menginspirasi perempuan-perempuan lainnya.

Seperti yang tadi saya bilang, tantangan awalnya sungguh berat karena banyak yang tidak menghendaki, mereka bahkan sampai memotret dari sisi keagamaan, itu yang menjadi benturan.

Tapi akhirnya proses bisa dilalui dan masyarakat (Purwakarta) menerima bupatinya seorang perempuan. Dan dengan program-program kerja yang saya lakukan, masyarakat merasakan betul manfaatnya, itu mungkin yang membuat masyarakat mulai menerima saya.

Apa yang mendorong Anda mengikuti Pilkada Purwakarta lalu?

Awalnya, tak pernah berpikir untuk mencalonkan diri menjadi bupati. Saya kan ibu rumah tangga, dan saya tidak punya backgroud (latar belakang) politisi atau aktivis.

Saya hanya aktif di organisasi, karena saya itu seorang istri bupati. Saya tidak pernah ikut organisasi mahasiswa dan lainnya, jadi backgroud saya betul-betul ibu rumah tangga yang mendampingi tugas-tugas suami saya waktu itu.

Saya jadi bupati juga tidak pernah terbesit dalam benak saya, apalagi melihat suami saya waktu itu bebannya sangat besar, harus all out terjun memberikan pelayanan kepada masyarakat, on time jika masyarakatnya membutuhkan harus hadir.

Terus apa yang dibutuhkan masyarakat harus dipenuhi. Bagi saya itu bukan hal mudah apalagi saya punya tanggung jawab "domestik". Saya biasa ngurus rumah, ngurus dapur, keluarga saya, orangtua saya, jadi tidak pernah kepikiran tapi memang didorong suami saya waktu itu.

Apa alasan suami Anda waktu itu?

Jadi awalnya ada pertanyaan begini, "Apakah Kang Dedi (Mulyadi) tidak mempersiapkan kader untuk melanjutkan estafet kepemimpinan?".

Nah sebetulnya suami saya dan partainya sudah mempersiapkan estafet kepemimpinan di Purwakarta, ada waktu itu wakilnya, Pak Dadang Koswara. Lalu Sekretaris Daerah Padil Karsoma juga, serta beberapa kader partai.

Akan tetapi dari beberapa survei elektabilitas, saya unggul jauh dibandingkan kader-kader yang dipersiapkan. Atas dasar itulah saya didorong untuk maju. Alhamdulillah setelah perjalanan proses Pilkada itu saya yang paling banyak perolehan suaranya.

Ketika sudah menjabat, tantangan apa yang dihadapi seorang Bupati Purwakarta?

Tentu kan gaya kepemimpinan saya berbeda dengan suami. Suami saya laki-laki, lebih berani. Kalau perempuan itu sifatnya lebih hati-hati, lebih teliti.

Jadi saya akan lebih hati-hati mengambil kebijakan dari mulai regulasi, harus jelas sasaran. Ibu-ibu kan senang beres-beres di rumah makanya itu semua terkait administrasi harus beres, rapih, tentu jangan sampai langkah ini menghambat pelayanan publik.

Walaupun tak seperti suami saya yang dulu selalu hadir di tengah-tengah masyarakat, tapi dengan program yang saya punya, peran pemerintah akan tetap dirasa tanpa harus ada kehadiran saya. Misalnya kami bangun mal pelayanan publik yang dapat mengurus semua keperluan pelayanan bagi masyarakat.

Dari 27 Kabupaten di Jawa Barat, hanya tiga yang sudah punya MPP, salah satunya kami Purwakarta. Lalu, saya membangun "Saung Ambu Anne", di mana fungsinya sebagai tempat pelayanan kesehatan masyarakat yang berada di desa-desa pelosok, jauh dari Puskesmas.

Kemudian waktu saya baru setahun (menjabat), seluruh desa sudah memiliki ambulans. Total 183 desa punya ambulans.

Ketika masyarakat yang sakit membutuhkan pelayanan, keberadaan ambulans akan mempermudah. Kemudian fasilitas-fasilitas Puskesmas ditingkatkan, siap merawat inap pasien supaya yang jaraknya jauh tidak perlu ke rumah sakit jika sakitnya hanya ringan.

Saya juga medelegasikan kewenangan sesuai dengan regulasi tentunya. Saya ingin bahwa Purwakarta itu milik warga, bukan cuma terkesan milik saya, Ambu Anne. Maka semua orang apalagi para kepala OPD mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas-tugasnya.

Saya katakan, silahkan selama itu tidak bertentangan dengan regulasi, Anda boleh mengambil keputusan khususnya untuk kepentingan masyarakat tanpa harus berkoordinasi atau izin bupati.
Kalau dibutuhkan ya nanti boleh lapor ke saya, mungkin itu gaya yang tidak dilakukan suami saya di Pemkab Purwakarta. Saya ingin roda pelayanan berjalan dengan baik, masyarakat tidak merasa kehilangan pemimpinnya seperti di era suami saya yang waktu itu 24 jam siaga. (maz)

Baca juga: Rekomendasi 6 Tempat Makan Sate Maranggi di Purwakarta yang Terkenal Enak

Sumber: Warta Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas