Pesepeda Liontin Evangelina Sudah Akrab dengan Rasa Sakit (2-Habis)
Sebagai atlet balap sepeda, Liontin Evangelina sudah terbiasa jatuh, mulai dari kaki tertusuk gir sepeda sampai wajah babak belur. Itu sudah biasa.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA – Liontin Evangelina Setiawan sudah memilih jalan hidup sebagai atlet pesepeda. Sampai kapan pun, ia tak berhenti dan ingin mengukir prestasi ke level paling tinggi. Berikut petikan wawancaranya dengan Tribun Jogja.
Kenapa pilih olahraga sepeda ketimbang olahraga lain?
Dulu sebetulnya pernah mencoba olahraga renang selama tiga tahun, tenis, karate, lalu ke sepeda. Terus saya lihat ternyata olahraga sepeda lebih cepat menurunkan berat badan. Waktu renang sampai bertahun-tahun itu bukan malah turun, tapi naik, soalnya rasanya lapar terus.
Kalau di karate saya tidak tega memukul orang, takut ada kenapa-kenapa. Kalau tenis itu, lama nurunin berat badannya, karena dulu kan motivasinya ingin menurunkan berat badan.
Tantangan di olahraga sepeda seperti apa?
Kalau kita ingin naik level, latihannya bakal lebih berat, lebih keras lagi, lebih disiplin lagi. Terus risiko juga saya rasakan besar di olahraga sepeda, saya sering banget jatuh, bahkan sudah tidak terhitung.
Pernah pengalaman lutut saya kanan kiri, tertancap gir sepeda, yang satu di Jerman satunya lagi di Prancis. Waktu kejadiannya pesepeda depan saya terjatuh, karena awal start itu kalau balap sepeda rombongan, saya yang berada di belakangnya ikut jatuh.
Wajah saya juga pernah sampai hancur karena kecelakaan waktu balap sepeda, waktu itu di Pelatnas Solo nomor road race, kendaraan di sana banyak yang ngawur.
Dengan semua pengalaman kecelakaan itu, tidak memilih untuk berhenti?
Dulu sempat mau berhenti, makanya saya kuliah di psikologi, tapi ternyata tidak bisa, karena jiwanya di sepeda, sulit untuk lepas. Karena sudah lama juga, saya juga dapat penghasilan dari sini, jadi kenapa harus berhenti.
Mungkin kalau saya berhenti bakal memulai hal baru lagi, dari awal lagi, jadi lanjut saja sampai benar-benar di masa tidak bisa melakukannya lagi. Jadi pas nanti berhenti itu puas, tidak ada rasa penyesalan. Kalau misal berhenti setahun, tiba-tiba gowes lagi kan malah repot juga nantinya, ngejar fisik lagi, latihan dasar-dasar lagi.
Lalu kira-kira bakal sampai kapan di olahraga sepeda?
Mungkin kalau target sih sampai nikah, tapi tergantung kalau semisal suami mengizinkan saya tetap lanjut. Saya juga punya mimpi lain kalau nanti sudah tidak bersepeda, mau buka usaha, saya juga senang investasi saham. Tapi kalau sekarang mau buka usaha yang harus benar-benar aku kontrol setiap saat belum terpikirkan.
Hal apa yang masih membuat ambisius di balap sepeda hingga saat ini?
Karena sampai sekarang masih ada tujuan yang belum saya capai, seperti saya belum pernah ikut SEA Games. Sebetulnya waktu 2017 lalu dapat undangan di Swiss dan bela Timnas di SEA Games, tapi saya pilih ke Swiss dulu. Begitupun dengan olimpiade saya ingin meraih medali juga di sana, jadi hal itu yang merawat ambisi saya untuk tetap di olahraga sepeda.
Momen paling diingat hingga saat ini ketika di olahraga balap sepeda?
Waktu menang bawa nama Indonesia di Bahrain, waktu itu Kejuaraan Asia 2017, karena itu pertama kalinya. Rasanya sangat menyenangkan, dan dari sana saya lebih bersemangat. Dan sedihnya itu ketika menjalani prosesnya, ketika berlatih. Apalagi kalau perempuan, kita pulang gowes itu di bagian selangkangan terasa sakit, bisa sampai nangis kalau pas lagi mandi.
Belum nahan sakitnya, panas juga di jalanan, cuma kalau pas lagi haid hari pertama, saya tidak ikut latihan. Kalau semisal pas kejuaraan beda lagi, saya tetap lanjut kejuaraan, tahan rasa sakitnya.
Bagaimana tanggapan soal foto viral kemarin, kawan-kawan pesepeda di Jakarta yang mendapat acungan jari tengah dari seorang pemotor?
Nah, saya sempat juga gowes di Jakarta cukup lama sekitar dua bulanan. Jadi saya tahu kalau orang Jakarta gowes itu mulai dari jam 5 pagi sampai sebelum jam 7, lalu bubar. Menurut saya pribadi waktu pagi itu kondisi jalan belum macet, masih lengang, di sana juga tersedia empat jalur, seharusnya mereka juga bisa berbagi jalur dengan pengguna jalan lainnya.
Lagian di Jakarta itu kalau pagi pesepeda bisa di kecepatan 40-50 kilometer per jam, sudah setara dengan motor. Tapi, banyak juga pesepeda yang main di kecepatan 30 kilometer per jam ikut ke tengah. Ya, kalau saya untuk pesepeda yang menggunakan kecepatan yang rendah mending di pinggir saja, beda kalau kecepatan tinggi.
Waktu di foto itu ada juga teman saya yang kena hujatan, saya ikut bantuin komen. Saya jelaskan toh, waktu itu keadaan jalan masih lengang, dan mereka bersepeda tidak sampai siang dan tidak mengganggu banyak kendaraan lalu lalang.
Cuma kebanyakan mereka yang komen itu bukan orang sana, jadi tidak tahu duduk perkaranya. Saya juga jelaskan kalau pesepeda itu berjajar rapi, bukan yang menyebar sampai menutupi semua jalur.
Ya, saya tidak memungkiri kalau pesepeda yang menggunakan speed rendah ke tengah sampai ganggu jalannya kendaraan bermotor, itu mengganggu juga. Imbasnya sampai waktu kemarin saya latihan di Jalan Palagan, Wates, kita memang tidak makan jalan lebih lebar, cuma karena sensi masalah yang di Jakarta itu kita kadang ada yang mepet-mepet. (tsf)
Baca juga: Pebalap Liontin Evangelina Tahan Banting Diejek Warganet (1)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.