Polemik TWK Dianggap Sumber Petaka Pelemahan KPK, Harapan Terakhir Ada di Tangan Jokowi
Polemik TWK yang menjerat 75 pegawai KPK dianggap jadi sumber petaka pelemahan KPK, harapan terakhir ada di tangan Presiden Jokowi
Penulis: Inza Maliana
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, menganggap polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) yang membuat 75 pegawai KPK terancam dipecat adalah sumber petaka pelemahan KPK.
Menurut Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum ini, pelemahan KPK merupakan 'success story' dari pemerintah, ketua umum partai politik, serta pimpinan DPR RI.
Ia membeberkan, ada empat poin yang menjadi sumber petaka dari permasalahan yang dihadapi KPK.
Mulai dari revisi Undang-Undang KPK, dominasi oligarki bisnis, hingga hal-hal yang terkait penyelenggaraan Pemilu 2024.
Baca juga: Nurul Ghufron Bantah Pernyataan Komnas HAM yang Menyebut Dia Tak Tahu Penggagas Ide TWK Pegawai KPK
Hal itu disampaikan Busyro dalam diskusi bertajuk 'Agenda Mendesak Penguatan KPK, Perspektif, Hukum, Politik, Pemerintahan, dan Demokrasi' yang digelar secara daring pada Sabtu (19/7/2021).
"Sumber petaka pelumpuhan KPK? Satu, konsensus DPR bersama Presiden Jokowi melalui revisi Undang-undang KPK."
"Itu pelumpuhan KPK yang sempurna, inilah success story yang real dari Presiden Jokowi bersama ketua umum parpol-parpol dan pimpinan DPR," kata Busyro, dilansir Tribunnews.
Menurut Busyro, revisi UU KPK oleh presiden dan badan legislatif adalah bentuk kejahatan karena ada pembiaran korupsi.
Kemudian, lanjut Busyro, poin yang kedua adalah dominasi kuasa oligarki bisnis.
Sumber petaka pelemahan ketiga adalah TWK KPK itu sendiri.
Ia menyebut polemik tersebut sebagai 'akrobat politik kumuh.'
Baca juga: Soal TWK, Komnas HAM Temukan Beda Keterangan BKN dan KPK hingga Nurul Ghufron Tak Jawab 3 Pertanyaan
"Ketiga, akrobat politik kumuh yaitu Tes Wawasan Kebangsaan KPK dan lumpuhnya komitmen partai politik koalisi utama."
"Sampai hari ini, mana ada parpol yang menunjukkan concern sensitif, kepekaan, pada 75 pegawai yang disingkirkan dengan cara yang tidak beradab itu?" ungkap Busyro.
Kemudian, lanjut Busyro, poin keempat yang menjadi sumber pelemahan adalah kuatnya arus elite politik dan bisnis di Indonesia dalam kepentingan pemenangan di Pemilu 2024 mendatang.
Ia berpendapat, jika KPK tetap menjadi badan yang independen, posisi orang-orang yang memiliki kepentingan tersebut menjadi terancam.
Oleh karena itu, banyak pihak yang mencoba 'menundukkan' KPK.
"Keempat, arus kuat elite politik dan bisnis untuk pemenangan politik 2024. Poin keempat ini tidak saya analisis tanpa gejala."
Baca juga: ICW: Kami Minta KPK Tak Sebarkan Informasi Bohong Soal TWK
"Tapi empat tahun kami bersama teman-teman, termasuk 75 pegawai KPK itu, menggeluti, menghayati, dengan sungguh-sungguh, berbasis fakta dan kajian-kajian, secara akademis, profesional, akuntabel," jelasnya.
"Sesungguhnya yang paling ditakuti dengan adanya KPK yang independen itu adalah apabila mengganggu proses-proses mengeksploitasi kekayaan perekonomian dalam rangka pemilu-pemilu."
"Sejak Pemilu 2014, 2019, dan nanti 2024. Maka dalam rangka poin empat ini, KPK harus dilumpuhkan," imbuh dia.
Harapan Terakhir KPK di Tangan Presiden Jokowi
Kendati demikian, Busyro menganggap KPK masih memiliki harapan terakhir di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu terlihat dari pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut hasil asesmen TWK tidak serta-merta menjadi dasar pemecatan 75 pegawai tersebut.
"Kita berharap sampai akhir bulan November atau September ini, jika Presiden membatalkan hasil TWK itu, maka kita punya harapan pada negara ini," kata Busyro, dikutip dari Tribunnews.
Baca juga: Pakar: Jika Jokowi Tak Lepas Tangan, Polemik TWK Pegawai KPK Bisa Cepat Selesai
Jika tidak berbuat sesuatu, Busyro menganggap pembiaran yang dilakukan oleh orang nomor satu RI tersebut akan membuat masyarakat hilang kepercayaan.
Baik dalam hal penanganan polemik KPK ini maupun harapan secara umum.
"Jika Presiden sampai saat itu tidak segera membatalkan TWK dan memulihkan 75 pegawai itu sebagaimana status awalnya, maka itulah saat yang terang benderang, kita tak bisa berharap lagi pada Presiden Joko Widodo," ucapnya.
Lebih jauh, Busyro menyebut di tengah-tengah pelumpuhan KPK, tentunya penguatan kembali harus terus diusahakan.
Namun, ia meminta masyarakat untuk tidak sepenuhnya berharap pada birokrasi negara dalam upaya tersebut.
Hal ini disebabkan oleh komisioner KPK yang jelas-jelas membangkang amanat Presiden Jokowi mengenai TWK.
Baca juga: 4 Mantan Pimpinan KPK Beri Keterangan Ke Komnas HAM Terkait TWK
"Penguatan KPK ini jangan berharap semata-mata pada birokrasi negara, tapi berharaplah justru pada elemen masyarakat sipil seperti sekarang ini."
"Kenapa? Karena pimpinan KPK yang berlima itu terang-terangan melawan keputusan MK yang ekuivalen dengan keputusan Undang-undang," katanya.
"Kemudian, yang kedua, membangkang terhadap amanat presiden, tetapi pembangkangan itu tidak ditegur oleh presiden," imbuh Busyro.
(Tribunnews.com/Maliana/Ilham Rian Pratama)