Apabila Rektor Unud Mempolisikan Kami, Jaringan LBH Se-Indonesia Siap Memberi Advokasi
Direktur LBH Bali akan mengerahkan jaringan LBH se-Indonesia apabila Rektor Universitas Udayana mempolisikannya.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - KASUS dugaan pelecahan seksual di lingkungan Universitas Udayana kembali menyeruak. Pasalnya, LBH merilis data adanya 42 dugaan kasus pelecehan seksual di Unud.
Hal ini membuat pihak rektorat Unud menuding bahwa data yang dirilis oleh LBH Bali tersebut tidak valid. Bagaimana jawaban LBH Bali? Berikut petikan wawancara dengan Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning:
Pihak Unud meragukan data yang dirilis LBH, bagaimana menurut LBH?
Ini jelas berbeda dengan survei akademik. Kalau dia korban pasti dia akan sangat mudah mengisi. Dia akan menceritakan bagaimana. Dalam berkas kami, dia masuk fakultas mana, bagaimana kronologinya, terjadi di dalam atau di luar kampus, siapa pelakunya, ini masuk kategori kekerasan seksual bagaimana.
Lalu, bagaimana tanggapan LBH terkait munculnya buruh dan pedagang sebagai pelaku pelecehan seksual di kampus?
Biar tidak salah informasi karena ada yang bertanya kok bisa pelaku ada buruh dan pedagang. Pelecehan seksual terjadi saat ada pembangunan yang melibatkan buruh dan di kampus ada pedagang kampus yang dilaporkan sebagai pelaku.
Lalu bisa diceritakan kembali bagaimana awal dari terkuaknya data tersebut?
Awal terkuaknya kasus dugaan kekerasan seksual di kampus Unud dimulai dari data yang dihimpun pada 2020 oleh Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) bersama Keluarga Mahasiswa Sejarah (Kemas) Udayana.
Dalam data tersebut, terungkap adanya 73 orang yang mengadu telah mengalami atau pernah melihat terjadinya kekerasan seksual di lingkungan Kampus Unud. Data tersebut kemudian mengerucut, dimana 42 di antaranya mengaku pernah menjadi korban.
Bisa dijelaskan lebih gamblang soal data 42 dugaan kasus pelecehan seksual tersebut?
Identitas korban tentu tidak bisa kami buka karena mempertimbangkan faktor psikologis. Korban mengalami trauma setelah mengalami pelecehan.
Apa yang dilakukan LBH dengan data tersebut?
Yang minta pendampingan hukum itu kami tindaklanjuti. Kami bekerjasama dengan psikiater. Salah satunya kami pernah bawa ke UPTD PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak).
Nah, mengapa dengan jumlah kasus yang cukup mencengangkan tersebut tidak satu pun masuk ke ranah hukum? Apa sebabnya?
Korban saat mengalami pelecehan tentu trauma. Butuh waktu lama untuk pemulihan, sedangkan proses hukum harus cepat. Butuh visum dan lain-lain. Pegang tangan misalnya, kalau divisum kan sudah tidak kelihatan.
Apa sebenarnya harapan dari LBH Bali?
Makanya kami bingung. Kok responnya seperti itu. Kalau memiliki komitmen mengatasi masalah ini, mestinya direspon dengan membangun sistem perlindungan sesuai Peraturan Menteri.
Harusnya data itu jadi gambaran bagi rektor karena jelas terungkap seperti apa pola kekerasan seksual dan siapa pelakunya.
Data ini sesungguhnya membantu pihak kampus untuk membangun sistem perlindungan.
Data yang disajikan mengacu pada perlindungan korban. Harus ada evaluasi dari pihak kampus supaya tidak terjadi lagi kasus serupa.
Jika Unud tetap keukeuh ingin membawa LBH ke jalur hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik, bagaimana sikap LBH Bali?
Apabila Rektor serius mempolisikan, maka LBH di seluruh Indonesia dan jaringan siap mengadvokasi LBH Bali. (ragil armando)
Baca juga: Kalau korban Tak Melapor Kami Akan Terus Memelihara Predator-Predator di Kampus.