Polisi Diadang Saat Panggil Tersangka Pencabulan: Alasan Pesantren hingga Ancam Jemput Paksa
Polda Jatim diadang massa pesantren saat menyerahkan surat panggilan MSA, anak kiai di Jombang yang terjerat kasus dugaan pencabulan
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG- Polda Jawa Timur (Polda Jatim) diadang massa pesantren saat menyerahkan surat panggilan MSA, anak kiai di Jombang yang terjerat kasus dugaan pencabulan, Kamis (13/1/2021).
Dalam video yang beredar terlihat polisi berpakaian preman sempat bernegosiasi dengan pihak yang mengadangnya.
"Saya hanya menjalankan tugas mengantarkan surat panggilan untuk Mas Bekhi (MSA). Kalau tidak ada tidak apa-apa, kami tidak akan mengganggu ketentraman bapak-bapak," kata pria dalam video tersebut.
Sementara puluhan massa yang mengadang beberapa kali melantunkan bacaan, "Ya Jabbar, Ya Qohar."
Pasca pengadangan itu, polisi pun bertekat akan bersikap tegas.
Polisi mengancam akan menjemput paksa jika pada panggilan ketiga, tersangka MSA tetap tidak hadir.
Baca juga: Update Kasus Anak Kiai Tersangka Pencabulan di Jombang: Ajukan Lagi Gugatan Praperadilan
"Jika dalam panggilan ketiga tersangka tidak hadir, maka terpaksa ada upaya jemput paksa" kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jatim, Kombes Totok Suharyanto kepada wartawan di Mapolda Jatim, Jumat (14/1/2022).
Tidak disebutkan kapan upaya jemput paksa itu akan dilalukan.
"Secepatnya akan kami lakukan," terangnya.
Penyidik sudah dua kali mengirimkan surat panggilan. Pada panggilan pertama, melalui kuasa hukumnya MSA mengaku sedang sakit.
"Pada panggilan kedua juga tidak hadir, tapi sampai saat ini kami belum mendapatkan kabar alasan tersangka tidak hadir," ujar Totok.
Totok mengatakan, kehadiran tersangka MSA disebut sangat penting karena penyidik akan menyerahkan MSA ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dalam proses pelimpahan berkas perkara tahap 2.
"Berkas di kejaksaan sudah P21 dan dinyatakan lengkap, tinggal kami akan serahkan berkas kasus, barang bukti dan tersangkanya," kata Totok.
Penjelasan pesantren
Juru bicara Pesantren Shiddiqiyah, Jombang, Jawa Timur, Joko Herwanto membenarkan bahwa pada Kamis (13/1/2022) siang ada petugas dari Polda Jatim yang datang ke pesantren itu dengan tujuan menyampaikan surat.
Baca juga: Korban Rudapaksa Anak Pengasuh Pondok Pesantren di Jombang: Kok Polisi Nggak Maju-maju?
Namun, dia mengaku tidak mengetahui isi surat dari Polda Jatim karena pihaknya sudah melimpahkan penanganan persoalan MSA kepada penasehat hukumnya.
"Kehadiran dari Polda tadi (Kamis) untuk menyampaikan surat. Kami tidak tahu persis surat apa yang mau disampaikan, itu adalah bagian tugas dari institusi Polri," kata Joko saat dikonfirmasi Kompas.com di Pesantren Shiddiqiyah, Kamis malam.
Sebenarnya, lanjut dia, para santri dan jamaah Shiddiqiyah yang berjaga di depan pesantren sudah mempersilakan petugas dari Polda Jatim untuk masuk ke pesantren.
Saat itu pihaknya menyampaikan kepada petugas yang datang agar berkomunikasi dengan pengacara yang sudah ditunjuk.
"Kami dari pesantren ini sudah ada tim pengacara, sehingga tadi teman-teman tidak ada hak untuk menerima surat dan dipersilakan untuk berkomunikasi kepada tim pengacara kami," ujar dia.
Joko mengatakan, tujuan petugas dari Polda Jatim ke Pesantren Shiddiqiyah hanya sebatas untuk mengantarkan surat yang ditujukan kepada MSA.
Selain tidak mengetahui isi surat dari polisi, pihaknya juga tidak bisa memastikan tujuan lain dari petugas yang datang.
"Tidak lebih hanya mengantarkan surat. Itu yang kami terima. (Penjemputan atau pemanggilan) Belum ada keterangan terkait itu," kata Joko.
Polisi ancam jemput paksa
Polda Jawa Timur meminta MSA segara kooperatif mendatangi panggilan polisi menjalani proses hukum.
Polisi mengancam akan menjemput paksa jika pada panggilan ketiga, tersangka MSA tetap tidak hadir.
"Jika dalam panggilan ketiga tersangka tidak hadir, maka terpaksa ada upaya jemput paksa" kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jatim, Kombes Totok Suharyanto kepada wartawan di Mapolda Jatim, Jumat (14/1/2022).
Sayangnya, dia enggan menjelaskan kapan upaya jemput paksa itu akan dilalukan.
"Secepatnya akan kami lakukan," terangnya.
Baca juga: Kemensos Berikan Pendampingan Siswa SMP Korban Kekerasan Seksual di Kabupaten Jombang
Penyidik, kata dia, sudah dua kali mengirimkan surat panggilan. Pada panggilan pertama, melalui kuasa hukumnya MSA mengaku sedang sakit.
"Pada panggilan kedua juga tidak hadir, tapi sampai saat ini kami belum mendapatkan kabar alasan tersangka tidak hadir," ujar Totok.
Totok mengatakan, kehadiran tersangka MSA disebut sangat penting karena penyidik akan menyerahkan MSA ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dalam proses pelimpahan berkas perkara tahap 2.
"Berkas di kejaksaan sudah P21 dan dinyatakan lengkap, tinggal kami akan serahkan berkas kasus, barang bukti dan tersangkanya," kata Totok.
Kronologi Kasus Anak Kiai Jombang
MSA dilaporkan ke polisi pada 29 Oktober 2019 oleh korban yang berinisial NA, salah seorang santri perempuan asal Jawa Tengah.
Sebelumnya,masyarakat dihebohkan dengan pengakuan santriwati U yang dilecehkan oleh guru sekaligus anak dari kyai pengelola pesantren ternama di Jombang.
Dalam kasus itu, U yang juga santriwati diperdaya oleh pelaku MSAT dalam sebuah perekrutan di pesantren tersebut.
Usai pelaporan U, korban-korban lainnya beriringan membuat laporan yang sama di Polres Jombang.
Bahkan korban lainnya berusia di bawah 17 tahun atau masuk dalam kategori anak.
Saat masuk ke kepolisian, kasus U sempat mandek hingga akhirnya baru naik ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada akhir tahun 2021 lalu.
Pada 12 November 2019, Polres Jombang mengeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan.
MSA dijerat dengan pasal berlapis yakni tentang pemerkosaan dan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur atau pasal 285 dan 294 KUHP.
Pada Januari 2020, Polda Jatim mengambil alih kasus tersebut. Namun MSA beberapa kali mangkir saat diminta datang untuk diperiksa.
Polisi bahkan gagal menemui MSA saat akan diperiksa di lingkungan pesantren tempat tinggalnya.
MSA sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Surabaya untuk meminta kepastian hukum atas status hukumnya yang sudah dua tahun tanpa kejelasan.
Dalam permohonan praperadilan itu, termohon adalah Polda Jatim dan turut termohon adalah Kejaksaan Tinggi Jatim.
Saat itu, kuasa hukum MSA, Setijo Boesono mengatakan, berkas kasus kliennya sudah beberapa kali ditolak oleh pihak kejaksaan, namun sampai saat ini belum jelas kepastian proses hukum berlanjut.
Namun pada 16 Desember 2022, hakim Pengadilan Negeri Surabaya menolak permohonan praperadilan MSA.
Alasan majelis hakim menolak permohonan praperadilan tersebut karena kurangnya pihak termohon, dalam hal ini Polres Jombang.
Sebab, proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini hingga penetapan tersangka dilakukan oleh Polres Jombang. Polda Jatim dalam kasus ini hanya meneruskan proses hukum saja.
Pihak MSA masih mengajukan upaya hukum mengajukan gugatan praperadilan atas status tersangkanya ke Pengadilan Negeri Jombang pada 6 Januari 2022 lalu.
Perlindungan Bagi Korban diperpanjang karena Kasus Berlarut
Penderitaan panjang dialami U (inisial), santriwati Pondok Pesantren Majmaal Bahrain Shiddiqiyyah yang menjadi korban pelecehan seksual diduga dilakukan anak kiai di Jombang, Jawa Timur.
Selama menuntut keadilan, santriwati berusia 24 tahun ini kerap mendapatkan ancaman hingga meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Bahkan karena berlarutnya kasus ini, LPSK harus memperpanjang masa perlindungannya hingga lima kali.
Hal ini terungkap setelah Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar mengungkapkannya dalam konferensi pers Kamis (6/1/2022).
Dalam perkara ini, LPSK sudah dilibatkan sejak Oktober tahun 2019 usai U memutuskan membawa kasus kekerasan seksual ini ke Polres Jombang.
"Setiap kali program perlindungan diberikan selama enam bulan, jadi perlindungan terhadap korban ini memasuki perpanjangan kelima di bulan Februari 2022," ujar Livia dalam konferensi pers Kamis (6/1/2022).
Selama dua tahun kasus mandek di kepolisian, LPSK harus berhadapan langsung dengan berbagai ancaman terhadap korban.
Bahkan, bukan hanya korban yang menerima ancaman, pendamping korban dari Komnas Perempuan juga mendapatkan ancaman dan tindak penganiayaan.
Penganiayaan terhadap pendamping korban terjadi pada Mei 2021 lalu.
"Sejak Januari 2020 LPSK sudah beri perlindungan kepada tujuh saksi atau korban untuk kasus kekerasan seksual ini. Dimana 4 saksi dan korban untuk kasus penganiayaan pada saksi yang terjadi Mei 2021 lalu," jelasnya.
Saat ini kata Livi, baru satu korban yang berada dalam naungan perlindungan LPSK.
Mengingat kasus itu menimpa korban lain, Livi mempersilakan korban lain agar melapor ke LPSK apabila mendapatkan ancaman, tekanan, atau penganiayaan dari pihak pelaku.
Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan hambatan terbesar dalam kasus itu dua tahun terakhir ialah tekanan massa dan relasi kuat keluarga tersangka di Jombang.
Bahkan di satu waktu, kepolisian dari Polres Jombang tak bisa menjemput tersangka MSAT usai mangkir dua kali dalam pemanggilan pemeriksaan.
"Misal pernah ada upaya paksa dari kepolisian tak bisa masuk ke area komplek pesantren karena dilakukan penjagaan," jelas Siti.
Selain itu, ada upaya memobilisasi massa yang menuding laporan korban U merupakan upaya menjelek-jelekan nama pesantren ternama tersebut.
Hal itu yang membuat kepolisian sangat hati-hati dan kerap ragu-ragu dalam mengambil setiap tindakan tegas.
"Ada mobilisasi massa sehingga kepolisian ambil langkah hati-hati dalam proses kasus ini," tuturnya.
Artikel ini telah tayang di SuryaMalang.com dengan judul Petugas Diadang Massa, Polda Jatim Siap Jemput Paksa Anak Kiai di Jombang Tersangka Kasus Pencabulan
dan di Kompas.com