Cerita Seorang Ibu Tempuh Perjalanan 12 Jam untuk Mendapatkan Minyak Goreng
Misalnya saja, Sakila Andini (45) menempuh perjalanan 12 jam dari Sibolga Kabupaten Tapteng ke Kota Medan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Sudah berbulan-bulan stok minyak goreng di pasar masih tetap langka.
Padahal Menteri Perdagangan M Lutfi sudah berjanji untuk menggelontor pasar dengan minyak goreng harga murah.
Minyak goreng murah masih langka, kalau pun ada dalam sekejap minyak goreng tersebut langsung habis diserbu warga.
Warga yang membutuhkan, terutama emak-emak (ibu-ibu) harus berjuang keras dengan berbagai cara untuk mendapatkannya.
Baca juga: Cerita Pengusaha Kerupuk Niat Beli Minyak Goreng Malah Dikirimi Puluhan Liter Kuah Soto
Misalnya saja, Sakila Andini (45) menempuh perjalanan 12 jam dari Sibolga Kabupaten Tapteng ke Kota Medan.
Sakila bersama lima temannya mengunjungi pusat perbelanjaan Lotte Mart Grosir yang berada di Jalan Gatot Subroto Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu (16/2/2022).
Dari amatan tribun-medan.com, ia bersama rekannya beberapa kali menanyakan kepada petugas untuk pembelian minyak satu kardus.
Namun Petugas lotte tetap tidak mengizinkan pihaknya mengambil satu kardus minyak.
Karena tidak diperbolehkan petugas pun menganjurkan Sakila bersama rombongan membuat kartu member Lotte mart guna mendapatkan 4 liter minyak.
Sakila mengaku datang dari Kabupaten Tapteng karena di tempatnya hanya seminggu sekali baru ada.
"Udah tiga minggu ini minyak kosong. Sementara kita harus jualan gorengan pake minyak, belum untuk rumah sendiri," tuturnya.
Dikeluhkan Sakila juga bahwa harga minyak goreng di Sibolga bisa mencapai Rp 40 ribu.
"Udah adanya seminggu sekali harganya juga Rp 40 ribu," terangnya.
Dijelaskan Sakila bahwa memang ada harga Rp 14 ribu tapi itu hanya beberapa kali saja.
"Ada tapi itu sepertinya baru dua sampai tiga kali aja itupun di Alfamart atau Indomart kalau di pasar- pasar itu masih harga Rp 40 ribu dua liter," ucapnya.
Sakila juga mengaku bahwa pihaknya sempat tidak ikut mengantre pada saat ada minyak Rp 14 ribu.
"Kita tidak ikut mengambil karena kan menurut kabar yang beredar katanya bakalan selamanya segitu dan kemarin stok minyak kita masih cukup," terangnya.
Namun, setelah seminggu mengelilingi Kota Sibolga, Sakila dan rekan-rekannya mengaku kesulitan mencari minyak.
Maka dari itu pihaknya memutuskan untuk ke Kota Medan.
"Karena kabar minyak di Medan ada jadi mau tidak mau kita kesini hari ini. Itupun bukan mencari harga Rp 14 ribu tapi yang penting minyak ada," jelasnya.
Baca juga: Ini Dukungan Perusahaan Perkebunan kepada Pemerintah soal Kebijakan Minyak Goreng
Setibanya di Kota Medan ternyata Sakila mendapatkan minyak seharga Rp 14 ribu.
"Syukur sekali karena dapat minyak seharga Rp 14 ribu rencana mau ambil sekardus untuk jualan tapi tidak diperbolehkan hanya bisa ambil 4 liter minyak goreng," ucapnya.
"Itupun harus menjadi member Lotte Grosir dulu dan prosedurnya tadi lumayan ribet untuk kita yang udah tua seperti ini," terangnya.
Namun, agar bisa mendapatkan minyak dengan harga Rp 14 ribu, Sakila pun tetap mengikuti aturan yang ada.
Selain itu, Sakila juga mengatakan bahwa program pemerintah terkait minyak Rp 14 ribu ini mempersulit masyarakat bukan malah membantu.
"Dengan adanya minyak Rp 14 ribu masyarakat malah melakukan berbagai cara untuk dapat menyetok minyak sama seperti penggunaan masker awal-awal Covid dahulu," paparnya.
Sakila yang datang bersama lima orang temannya dari Sibolga ini juga mempertanyakan sebab sulitnya minyak di Kabupaten Tapteng khususnya Kota Pandan dan Sibolga.
"Jadi kemana minyak itu semua, apa mungkin ada masyarakat yang lakukan penyetokan minyak di rumahnya," terangnya.
Untuk itu ia berharap agar pemerintah Sumut untuk memantau dan mengawasi pemasokan minyak goreng di Kabupaten Tapteng.
"Karena kami yang berjualan gorengan sangat kesulitan mendapat minyak harapannya harga minyak standar saja tidak terlalu murah dan mahal agar masyarakat tidak menyetok minyak sangat banyak di rumahnya," tukasnya.
Celupkan Tinta di Kelingking
Soal kegigihan, tak ada yang menandingi para ibu. Itu pula yang terlihat di supermarket di Jalan Raya Lanud Sugiri, Sukani, di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Selasa (15/2) siang.
Mereka rela antre hingga berjam-jam lamanya, hanya untuk satu atau dua liter minyak goreng murah.
Minyak goreng murah memang menjadi barang yang langka hari-hari ini. Kalau pun ada, harganya Rp 20 ribuan seliternya, bahkan lebih.
Minyak goreng murah yang harganya Rp 14 ribu seliter hanya ada di beberapa tempat saja, dan itu pun tak banyak, sehingga pembelian pun dibatasi.
Antrean ibu-ibu yang hendak membayar minyak goreng murah juga terlihat di depan meja kasir.
Untuk mempercepat pembayaran, petugas satuan pengamanan supermarket bahkan ikut mengatur.
Ibu-ibu diminta berbaris rapi sambil terus menjaga jarak. Dua jalur ke meja kasir, sama ramainya.
Imah (56), warga Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, mengaku mulai mengantre di depan Supermarket sejak pukul 06.00 WIB.
Ia baru bisa membeli minyak goreng kemasan sekitar pukul delapan pagi saat supermarket buka.
"Saya sengaja datang pagi-pagi biar dapat minyak, takut kehabisan kalau telat," ujar Imah.
Setelah mengantre sekitar dua jam, Imah hanya bisa membeli sebungkus minyak goreng dengan kemasan dua liter.
"Harganya selitarnya Rp 14 ribu," sebutnya.
Imah berharap, kondisi seperti ini bisa segera berlalu.
"Harapannya semoga enggak kayak gini lagi. Mudah-mudahan cepet biasa lagi, bisa belanja nyaman, enggak perlu dateng pagi-pagi buat beli minyak goreng," ujarnya.
Sama senada dikatakan Sinta (26). Ia bahkan rela datang jauh-jauh dari rumahnya di Desa Ligung, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka.
Seperti pembeli lainnya, ia juga dibatasi hanya bisa membeli maksimal 2 liter minyak goreng kemasan harga Rp 14 ribu per liternya.
"Saya tahu kalau di sini (supermarket Jatiwangi) ada jual minyak. Ya sudah saya datang tadi pagi-pagi jam 06.30 WIB, Alhamdulillah dapat jam 08.30 WIB," jelas Sinta.
Buyer supermarket tersebut, Mila Aryani, mengatakan setiap hari mereka menyediakan 100-200 karton minyak goreng.
Ia memastikan, tak ada kelangkaan minyak goreng seperti yang ramai dibicarakan masyarakat akhir-akhir ini.
"Sebenarnya bukan langka si, setiap hari kita sediakan 100 hingga 200 karton. Tapi itulah, ketika datang, habis lagi dalam waktu satu jam," katanya.
Agar tak ada konsumen yang nakal datang berkali-kali membeli minyak goreng, pihak supermarket melakukan penandaan. Setiap pembeli diminta mencelupkan jari kelingkingnya ke tinta, seperti saat pemilu.
Biang Keladinya Pemerintah
Ekonom senior Faisal Basri menyebut kisruh minyak goreng yang terjadi saat ini hingga membuat kelangkaan ketersediaannya terjadi lantaran kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Adanya kebijakan yang kurang tepat membuat penyerapan CPO yang tadinya didominasi oleh industri pangan termasuk minyak goreng, kini bergeser ke industri biodiesel. Hal tersebut lantaran adanya kebijakan B20.
Produsen CPO dinilai akan lebih memilih menjual CPO mereka ke perusahaan biodiesel ketimbang perusahaan minyak goreng, lantaran harga jual CPO ke pasar biodiesel domestik lebih tinggi dari dijual ke perusahaan minyak goreng.
"CPO jual ke perusahaan minyak goreng harganya menggunakan harga domestik tapi kalau jual ke perusahaan biodiesel dapatnya harga internasional. Otomatis pilih (menjual ke) biodiesel, dan siapa itu yang buat seperti itu? Ya pemerintah. Jadi biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini adalah pemerintah karena meninabobokan pabrik biodiesel," tegas Faisal Basri dikutip dari Kontan.co.id, Rabu (16/2/2022).
Faisal menerangkan, pemerintah seharusnya dapat melakukan segala cara untuk mengatasi lonjakan harga CPO, misalnya dengan dana stabilisasi minyak goreng.
Namun pemerintah disayangkan tidak melakukan hal tersebut. Berbeda dengan industri biodiesel yang memperoleh subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).
"Masa tidak rela Rp 20 triliun untuk stabilisasi harga minyak goreng, mengapa yang namanya perusahaan biodiesel dapat ratusan triliun dari tahun 2015 sampai 2021. Rp 7 triliun dana subsidi minyak habis tidak dilanjutkan. Pelit ke rakyat," kata Faisal.
Menurut Faisal Basri, komposisi pengguna CPO dalam negeri industri pangan tahun 2019 sebesar 58,9 persen menurun dari tahun ke tahun hingga 2021 menjadi 48,4 persen.
Penurunan penggunaan CPO ke industri pangan diperkirakan masih akan berlanjut di 2022.
Faisal Basri memperkirakan penurunannya menjadi 46,6 persen. Berbanding terbalik dengan komposisi pengguna CPO di industri biodiesel yang pada 2019 hanya 34,5 persen kemudian naik dari tahun ke tahun hingga pada 2021 menjadi 40,1 persen.
Kemudian di tahun ini diperkirakan masih akan naik menjadi 42,9 persen. Demikian juga di industri oleokimia yang terus naik dari 2019 hanya 6,6 persen menjadi 11,5 persen di 2021.
Faisal menerangkan, pemerintah seharusnya dapat melakukan segala cara untuk mengatasi lonjakan harga CPO, misalnya dengan dana stabilisasi minyak goreng.
Namun pemerintah disayangkan tidak melakukan hal tersebut. Berbeda dengan industri biodiesel yang memperoleh subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).
"Masa tidak rela Rp 20 triliun untuk stabilisasi harga minyak goreng, mengapa yang namanya perusahaan biodiesel dapat ratusan triliun dari tahun 2015 sampai 2021. Rp 7 triliun dana subsidi minyak habis tidak dilanjutkan. Pelit ke rakyat," kata Faisal.
Menurut Faisal, komposisi pengguna CPO dalam negeri industri pangan tahun 2019 sebesar 58,9% menurun dari tahun ke tahun hingga 2021 menjadi 48,4%.
Penurunan penggunaan CPO ke industri pangan diperkirakan masih akan berlanjut di 2022. Faisal memperkirakan penurunannya menjadi 46,6%.
Berbanding terbalik dengan komposisi pengguna CPO di industri biodiesel yang pada 2019 hanya 34,5% kemudian naik dari tahun ke tahun hingga pada 2021 menjadi 40,1%. Kemudian di tahun ini diperkirakan masih akan naik menjadi 42,9%. Demikian juga di industri oleokimia yang terus naik dari 2019 hanya 6,6% menjadi 11,5% di 2021.
Lebih lanjut Faisal menjelaskan bahwa alokasi dana BPDPKS sangat jomplang. Dimana alokasi dana BPDPKS dari Juli 2015 sehingga Desember 2021 untuk subsidi biofuel mencapai Rp 110 triliun atau 79,04%. Kemudian untuk peremajaan sawit rakyat hanya 6,6 ton atau 4,73%.
"Ini pemerintah, tidak ada keberpihakan ke rakyat. Ini dana rakyat 34% itu dari keringat rakyat. Siapa pengusaha pengusaha sawit itu ada 22 yang menikmati subsidi biodiesel," ungkapnya.
Kondisi saat ini disebut sebagai diskriminasi terhadap harga CPO untuk industri biodiesel dan industri pangan. Faisal tidak setujui jika kelangkaan minyak goreng akibat tingginya jumlah ekspor CPO Indonesia yang dinilai menyebabkan kelangkaan CPO.
Hal tersebut lantaran ekspor CPO Indonesia hanya naik nol koma sekian persen. Demikian juga penurunan produksi sawit juga bukan merupakan biang keladi kelangkaan minyak goreng. Faisal mengakui produksi CPO tahun 2021 mengalami turun, namun diklaim sangat sedikit sekali.
"Kenapa 2021 turun? Cara pemupukan 2019 kurang bagus sehingga produksinya 2021 turun, produksinya kecil turunnya cuman 0,2 doang bukan karena kelangkaan CPO sekali lagi. Ini Ekspor kita juga nggak meningkat tajam kok cuma nol koma sekian meningkatnya harga melonjak di pasar internasional ekspor itu nggak naik bukan karena ekspornya tinggi," paparnya. (Tribunnews.com/Tribun Medan/Anisa/Eki Yulianto/tribun cirebon/Kontan)