Heboh Pernikahan Beda Usia 39 Tahun di Lombok Tengah, Begini Dampak Pernikahan Dini Menurut Psikolog
Pernikahan antara Sapar (55) dan Sahmin (16) warga asal Dusun Ngabok, Lombok Tengah, menuai banyak pro kontra di kalangan masyarakat.
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM, LOMBOK TENGAH - Pernikahan antara Sapar (55) dan Sahmin (16) warga asal Dusun Ngabok, Desa Pelambik, Kecamatan Praya Barat Daya Lombok Tengah (Loteng) kini menuai banyak pro kontra di kalangan masyarakat.
Pasalnya Sapar menikahi seorang gadis yang begitu muda dan dapat dikatakan masih usia anak-anak.
Lalu bagaimana dampak pernikahan dini menurut Psikolog?
Baca juga: VIRAL Pernikahan Terpaut Usia 39 Tahun di Lombok, Begini Awal Pertemuannya
Baca juga: VIRAL Ini Alasan Keberhasilan Pria 55 Tahun di Lombok Mempersunting Gadis Belasan Tahun
Menurut Nora Devi, seorang Magister Psikologi Klinis asal Desa Batujai, Kecamatan Praya Barat, pernikahan dini adalah salah satu bentuk melanggar perlindungan anak yang seharusnya tidak dilakukan.
Sebab pencegahan perkawinan nikah dini juga telah diatur dalam perda NTB nomor 5 tahun 2020.
Dimana untuk ketentuan umur melangsungkan perkawinan adalah apabila pria dan wanita sudah mencapai umur/usia 19 tahun.
Lalu apa dampaknya?
Secara psikologis, perempuan yang melakukan pernikahan dini memiliki pendidikan rendah dan emosi yang tentu masih terganggu.
"Sehingga inilah yang menjadi faktor pernikahan pada usia dini kadang tidak bertahan lama," terang Nora.
Sebab si anak masih belum siap untuk menjadi istri, pasangan seksual, dan menjadi Ibu atau orang tua.
Selain itu, dampak kesehatan juga akan bepengaruh kepada ibu dan banyinya.
"Mengacu pada data stunting di Loteng, sekitar 14 persen stunting disumbangkan oleh perempuan berusia 15-19 tahun," lanjutnya.
Kemudian si anak pada usia tersebut seharusnya sedang duduk atau menempuh pendidikan, akhirnya terhenti karena menikah.
Selain itu, ketika pernikahan dini terjadi, tentu tidak akan tercatat resmi oleh negara.
"Sebab ketika seorang pria atau wanita dibawah 19 tahun yang akan menikah, ketika mengajukan pernikahan ke KUA akan mendapat surat penolakan,"
Kemudian banyinya juga tidak akan memiliki akte kelahiran dan apabila terjadi perceraian, tidak akan memiliki surat perceraian.
"Serta masih banyak dampak kedepan yang semakin kompleks, baik dalam aspek kemanusiaan, kesehatan hingga ekonomi," tutup Nora Devi.
(Tribunlombok.com/Lalu M Gitan Prahana)