Tukang Bubur Korban Penipuan Rekrutmen Polri Berdamai dengan Oknum Polisi, Uang Korban Diganti?
Tukang bubur asal Kabupaten Cirebon, Wahidin, menjadi korban kasus dugaan penipuan rekrutmen Polri yang melibatkan oknum polisi.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, CIREBON - Tukang bubur bernama Wahidin yang ditipu oleh oknum anggota polisi AKP SW memutuskan mencabut laporannya terkait kasus penipuan rekrutmen anggota Polri di kepolisian.
Hal itu dilakukan Wahidin setelah ia bersepakat dengan salah satu tersangka.
Diketahui, tukang bubur asal Cirebon, Jawa Barat, itu mengalami kerugian hingga Rp 310 juta setelah ditipu oleh perwira polisi dan pensiunan aparatur sipil negara (ASN) terkait seleksi perekrutan anggota Polri.
Baca juga: Seorang Tersangka Penipuan Tukang Bubur Senilai Rp310 Juta Disebut Selalu Mangkir dari Pemeriksaan
Kuasa hukum Wahidin, Eka Suryaatmaja, mengatakan kliennya telah mencabut laporan dugaan kasus penipuan perekrutan anggota Polri yang ditujukan kepada Polres Cirebon Kota dan Polda Jabar pada Rabu (21/6/2023).
”Intinya, Pak Wahidin telah mencabut laporannya karena keadilannya terpenuhi,” kata Eka Suryaatmaja, Rabu (21/6/2023) seperti dikutip dari Kompas.com.
Eka menjelaskan keadilan terpenuhi yang dimaksudnya yakni pelaku telah mengembalikan uang milik korban senilai Rp 310 juta.
“Semalam, (Selasa, 20/6/2023), kami mendapatkan itikad baik dari keluarga AKP SW,” ujar Eka.
Baca juga: Kapolri Wanti-Wanti Anggota soal Praktik Pungli Masuk Polisi: Proses dari Hulu ke Hilir
Eka menambahkan pihak AKP Supai Warna melalui keluarganya telah menyerahkan uang Rp 310 juta yang diminta kliennya Wahidin.
Setelah uang tersebut diganti, kliennya pun membuat surat kesepakatan damai dengan keluarga AKP Supai Warna.
Adapun salah satu isi surat tersebut yakni mencabut laporan dugaan penipuan perekrutan anggota Polri tahun 2021 serta tidak saling menuntut.
”Tidak ada tekanan terhadap korban dalam kesepakatan ini,” ucap Eka.
Menurut Eka, kliennya sudah lama mencari keadilan.
Selama dua tahun, lanjutnya, Wahidin tidak mendapatkan kepastian hukum.
”Namun, tidak ada kata terlambat. (Kesepakatan) ini bentuk terbukanya hati perwakilan keluarga. Ini jalan terbaik,” ujar Eka.