Kisah Kuntjoro Pinardi Bangun Pembangkit Listrik, Terangi Rumah-rumah di Desa Terpencil Papua
Berikut kisah perjuangan Kuntjoro Pinardi yang berjuang membangun pembangkit listrik untuk terangi rumah-rumah di desa terpencil Papua.
Penulis: Willem Jonata
Editor: Endra Kurniawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Sebagai guru besar madya sebuah kampus di Swedia, Kuntjoro Pinardi hidup mapan. Ia punya segalanya.
Namun, ia memutuskan pulang ke Indonesia untuk mengabdikan hidupnya.
Satu di antara sumbangsihnya, yakni membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) pada 2011 di Desa Wehali, Sorong Selatan, Papua Barat.
Pembangkit listrik tersebut hingga kini bisa dinikmati masyarakat setempat.
“Nilai project saya waktu itu tidak besar, membangun Mikrohidro setara dengan 120 kilowatt. Jadi produksi bisa menangani daya 120.000, kira-kira bisa (mengaliri) 1.000 rumah,” kenang alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.
Baca juga: Kisah Perjalanan Hidup Udin Mantan Penjual Miras, Raih Gelar S2 Hukum, Kini Jadi Kades di Klaten
Dengan kata lain, Kuntjoro tertarik mengambil dan melaksanakan proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro, ini bukan semata faktor materi, tapi juga ada faktor sosial di dalamnya.
Kuntjoro membuat keputusan pulang ke Indonesia karena diliputi kegelisahan.
Hatinya gundah. Sebab, masih ada wilayah pelosok terdalam Indonesia masih belum tersentuh penerangan listrik meskipun sudah puluhan tahun merasakan kemerdekaan.
Saat memulai Proyek PLTMH di Desa Wehali, tim yang dibawa Kuntjoro sangat minimal.
“Saya pergi ke Papua tanpa membawa pengawalan security. Jadi tidak kontak Polisi, TNI. Saya datang ke sana hanya membawa satu admin untuk pengelolaan project, tiga tukang, yaitu dua tukang las dan satu tukang kayu dan batu,” kenang Kuntjoro.
Tim yang sangat minimal itu dirasa cukup bagi Kuntjoro untuk membangun jaringan pipa sepanjang 400 meter sebagai sarana pendukung untuk pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro.
Baca juga: Kisah Pria di Sinjai Nikahi Bule Polandia: Kenal di Bali, Tak Pakai Mahar hanya Siapkan Cincin Emas
Kuntjoro juga melakukan metode yang berbeda dalam pembuatan jaringan pipa tersebut dengan tidak mengandalkan pelat baja, yang biasa digunakan dalam pembangunan PLTMH.
Sebab, menurut Kuntjoro tidak mungkin membawa pelat baja dan menggulungnya menjadi pipa di Desa Wehali.
Ia memutuskan membeli 36 pipa jadi dengan panjang 12 meter untuk efisiensi pengerjaan, terutama dalam proses pengelasan.
Demi menghindari proyek yang mangkrak karena kehabisan dana, efisiensi yang dilakukan Kuntjoro adalah dengan mengajak para ibu-ibu di sekitar Desa Wehali untuk membantunya menyelesaikan pembangunan PLTMH tersebut.
Ia meminta bantuan ratusan wanita menarik pipa-pipa seberat dua ton sepanjang 300 meter.
Kuntjoro juga memberdayakan masyarakat dengan memberi pendidikan kepada mereka tentang bagaimana menghasilkan batu untuk pondasi.
Pria yang pernah menjabat sebagai Direktur PT PAL ini mengaku tidak membawa dan membeli batu.
Kepada warga yang membantu pembangunan, ia mengajari cara mencari batu di sungai, kemudian mengolahnya untuk pembuatan bendungan.
Ketika membangun rumah turbin, Kuntjoro juga mengajak orang-orang untuk membuat batu bata sendiri.
Pembangunan PLTMH ini meninggalkan kesan mendalam bagi Kuntjoro kepada masyarakat Papua.
Berdasarkan pengalamannya, ia menilai masyarakat Papua adalah pribadi-pribadi yang penuh semangat dan mau diajak bekerja sama selama kita memberi mereka peluang untuk usaha.
"Pendekatan dengan hati ini relevan dalam membangun di daerah-daerah pelosok," ucap Kuntjoro.
Ia sudah membuktikan lewat proyek-proyeknya di Desa Wehali dan berbagai daerah lainnya.
"Dengan melibatkan masyarakat sekitar, pembangunan akan lebih lancar dan manfaatnya juga lebih maksimal. Ketuklah hati mereka, ayo ajak maju bersama. Mereka bisa, kok,” tandasnya.