Griya Schizofren: Wadah Anak Muda Memanusiakan ODMK Demi Hapus Stigma Negatif, Interaksi jadi Kunci
Griya Schizofren andalkan interaksi untuk jadi wadah anak muda memanusiakan ODMK. Terus berupaya hapus stigma negatif kaum marginal di masyarakat.
Penulis: Isti Prasetya
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Ramadan 2012, sore hari ketika Triana Rahmawati mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo kaget mendengar suara azan yang belum waktunya tetapi lantang dikumandangkan.
Tria panggilan akrabnya lalu bertanya kepada ibu penjual makanan yang tengah dibelinya, apakah sekarang sudah benar masuk waktu Magrib.
Jawaban dari ibu penjual makanan membuat jalan hidupnya berubah.
“Ora usah digubris mbak, kui wong edan (tidak usah dihiraukan mbak, karena yang azan itu orang gila),” ujar Tria menirukan ucapan ibu penjual makanan.
Kalimat yang dianggap sepele itu justru membuat Tria bersemangat untuk bermanfaat.
“Kan mereka juga manusia juga, tapi kok tidak usah digubris?” kata Tria ketika diwawancarai Tribunnews.com, Oktober 2023.
“Aku yang belajar sosial, belajar interaksi lalu ingin mengaplikasikan ilmu sosiologi ke masyarakat. Jika ditanya masyarakat yang mana, mungkin hal sepele tadi yang membuat aku fokus ke teman-teman yang ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan)," lanjutnya.
Stigma negatif dari masyarakat seperti kondisi badan yang kotor, penampilan menyeramkan, bahkan dianggap membahayakan masih melekat pada ODMK.
Tria tak menampik, masyarakat cenderung menjaga jarak, mendiamkan atau bahkan takut terhadap ODMK di sekitar mereka.
Oleh sebab itu, terbesit niat Tria untuk bermanfaat ke ODMK yang dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat.
Baca juga: Deretan Quotes Film “Budi Pekerti” yang Relate Banget dengan Kehidupan Sosial Masa Kini
Harapannya, stigma negatif ODMK bisa dikurangi bahkan dihapuskan, terutama bagi generasi muda seumuran dia.
Caranya sederhana, yakni menjembatani masyarakat untuk berani berinteraksi dengan ODMK.
Ide itu Tria wujudkan melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) untuk mencari dana demi mewujudkan impiannya tersebut.
Tria dan dua temannya, Febrianti Dwi Lestari dan Yuni Wulandari mendirikan Griya Schizofren pada Oktober 2012.
Griya Schizofren: Sc-Social, Hi-Humanity, Fren-Friendly
Griya yang berarti rumah untuk kegiatan sosial, kemudian 'Sc' dari kata social, 'hi' berarti humanity yang berlandaskan kemanusiaan, dan 'fren' yang berasal dari friendly, berarti prinsip persahabatan bersama ODMK.
Tak mudah bagi Tria dkk mendapatkan bantuan, panti ke panti ia datangi, tapi nyatanya gayung tak bersambut baik.
Namun, Griya PMI Peduli milik PMI Kota Surakarta dengan tangan terbuka akhirnya menerima gagasan komunitas tersebut.
Griya PMI yang berlokasi di Kelurahan Mojosongo ini menjadi saksi Tria dkk untuk menjalankan misi sosialnya.
Sejak tahun 2012, Griya tersebut menampung ODMK yang terlantar hidup di jalanan, dititipkan keluarga atau yang terjaring razia Satpol PP.
Dengan adanya Griya Schizofren, Griya PMI Solo mengaku sangat terbantu sekaligus bangga terhadap kepedulian anak muda di komunitas tersebut.
"Triana dan kawan-kawan Schizofren ini kreatif dan kepeduliannya luar biasa. Saya dan teman-teman sangat bangga mempunyai dan kenal dengan komunitas mereka," ujar staf Griya PMI Solo, Muhammad Syaifudin dalam dokumentasi di akun media sosial Griya Schizofren.
Penyandang skizofrenia, bipolar, dan degradasi mental adalah orang-orang yang disebut sebagai ODMK.
Gangguan yang mereka alami beragam, seperti halusinasi, sulit mengontrol emosi, berperilaku tidak wajar, atau merasa sedih terus-menerus.
Namun, mereka tidak mengalami masalah kejiwaan tersebut selama 24 jam.
Seyogyanya ODMK masih bisa beraktivitas seperti masyarakat pada umumnya.
Tria dkk yakin ODMK bisa stabil dan beraktivitas normal di lingkungan masyarakat, dengan syarat rutin meminum obat dan tidak ada sesuatu yang memicu jiwa mereka kembali terguncang.
“Bisa diilustrasikan seperti diabetes. Hal itu tetap ada di jiwa mereka, tapi bisa dikontrol asal rutin minum obat dan tidak ada trigger yang memicu,” terang Tria.
"Akan tetapi, hal itu butuh bantuan dari lingkungan di sekitarnya. Sementara selama ini banyak yang interaksi saja takut, bagaimana mau membantu?” tambahnya.
Griya Schizofren bukanlah tempat untuk menyembuhkan ODMK.
Komunitas yang sudah ada sejak belasan tahun lalu ini berusaha menjadi teman saat para ODMK sedang melewati fase-fasenya.
Karena mereka yakin kalau ODMK bisa stabil dan beraktivitas normal di masyarakat asal rutin minum obat dan tidak ada sesuatu yang memicu jiwa mereka kembali terguncang.
Bangun Interaksi
Sejatinya pepatah 'tak kenal maka tak sayang' berjalan beriringan dengan niat Tria untuk lebih mengenalkan cara berinteraksi dengan ODMK yang masih saja dianggap ancaman.
Bagi Tria, membuka interaksi adalah cara terbaik untuk memanusiakan ODMK.
Sebab, ketakutan dan stigma negatif bisa menjadi penghambat proses penyembuhan para ODMK.
Edukasi masyarakat soal cara berinteraksi dengan ODMK menjadi fokus Tria dkk untuk mengembangkan komunitas Griya Schizofren.
Berbagai kegiatan dengan inti interaksi kemudian dijalankan di Griya Schizofren untuk mengisi ruang kesendirian para ODMK.
“Kami kegiatan kuncinya adalah interaksi dengan ODMK, karena selama ini teman-teman ODMK mendapatkan stigma negatif dari masyarakat,” kata dia.
Mulanya, Tria dan sukarelawan yang didominasi mahasiswa rutin mengunjungi Griya PMI Peduli Solo setiap empat kali seminggu hanya untuk bertemu dan mengajak ODMK mengobrol.
"Yang kami lakukan di awal itu sangat sederhana. Kami mengajak mereka bernyanyi untuk membangun interaksi sosial," kata perempuan kelahiran Palembang, 15 Juli 1992 ini.
Tak dipungkiri, saat itu Tria mengaku sedikit waswas untuk berinteraksi.
Namun, rasa waswas itu menjadi haru lantaran disambut hangat oleh warga Griya PMI Peduli Solo.
Tria mengaku tak pernah dilukai atau dipukul selama pendampingan berlangsung.
"Yang ada mereka datang dan nanya kabar dengan sangat hangat, tulus. Kalau yang perempuan, dia suka meluk. Dia bilang, 'Mbak, aku kangen sama kamu, aku sayang sama kamu'," ucap Tria menahan haru.
Jauh dari keluarga, terpinggirkan, ditakuti masyarakat membuat Tria berkomitmen untuk ‘hadir’ bagi ODMK yang juga merasakan rindu.
Untuk mengobati kehampaan ODMK, kegiatan berkembang ke aktivitas yang lebih interaktif seperti mengajak berkreasi dengan menggambar, mewarnai, hingga merajut.
Termasuk saat HUT ke-78 Republik Indonesia, Griya Schizofren menggelar sejumlah lomba yang diikuti 130 orang dengan masalah kejiwaan.
Kebahagiaan begitu terpancar saat mereka mengikuti lomba makan kerupuk, joged balon, balap sarung, estafet karung.
"Lomba ini sudah menjadi agenda rutinan Griya Schizofren. Begitu juga saat Idul Fitri, Idul Adha, Hari Kartini, Hari Kesehatan Jiwa, dan lainnya, selalu ada agenda kegiatan tersendiri yang dilakukan," ucap Tria.
Berbagai kegiatan itu memiliki satu tujuan, adanya interaksi yang positif antara ODMK dengan masyarakat sekitarnya.
Demi memperluas relasi, Tria dkk juga menggandeng relawan sosial untuk ikut berinteraksi dengan ODMK binaan Griya Schizofren.
“Kami dan para volunteer berinteraksi teman-teman ODMK, menyanyi, merajut dan kegiatan lain, intinya ada kegiatan antara masyarakat umum dengan ODMK,” ujar Tria.
Para volunteer hadir seminggu satu kali dan tidak lebih dari dua jam.
Waktu tersebut dapat membangun kesadaran para relawan bahwa ODMK tetaplah manusia yang tidak perlu ditakuti, diolok-olok, apalagi dijauhi.
Pendampingan Griya Schizofren terbilang sederhana dengan kunci konsisten.
Bagi Tria, ukuran keberhasilan komunitas Griya Schizofren bukanlah angka kesembuhan para ODMK di Griya PMI Peduli Solo.
Lagi-lagi, interaksi menjadi kunci untuk membangun ruang edukasi dan menghapus stigma negatif ODMK di lingkungan masyarakat.
“Orang-orang dengan masalah kejiwaan sama seperti itu masalahnya. Jadi target kita bukanlah kesembuhan, tapi interaksi yang banyak ke masyarakat dan stigma negatif yang menurun di masyarakat."
"Ini loh teman-teman ODMK sejatinya kalau diajak ngobrol, diajak berkegiatan itu tidak berbahaya, " terangnya.
Tria dan sukarelawan di Griya Schizofren berharap masyarakat bisa mendapatkan informasi secara utuh mengenai ODMK, yang berbeda dengan stigma negatif yang selama ini berkembang.
Ia ingin agar masyarakat semakin tahu dan paham, ODMK juga memiliki akses yang terbuka untuk dihargai sebagai manusia yang punya kemampuan.
Bahkan ketika ada ODMK yang dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang, tak serta merta membuat Tria besar kepala.
Sebab baginya, Griya Schizofren tak berhak mengklaim kesembuhan itu berkat pendampingan mereka.
“ODMK yang sembuh lalu pulang memang ada. Tapi kami nggak bisa klaim itu karena Griya Schizofren tidak mendampingi mereka selama 24/7. Kami hanya mendampingi lewat program-progam yang sederhana,” tambah Tria.
Diakui Tria, dengan komitmen untuk hadir, membuat ia mendapatkan timbal balik berupa rasa syukur untuk kesehatan jiwanya.
“Karena aku juga punya jiwa. Berarti kemungkinan aku bisa seperti mereka atau punya masalah kejiwaan itu juga besar. Itulah kenapa aku bisa menghargai kesehatan jiwaku ketika bertemu dengan mereka."
"Mereka mengajarkan aku untuk bersyukur kalau kesehatan jiwa yang kita miliki sering kita lupakan padahal itu menempel di dalam diri”, ucapnya.
Hampir Putus Asa, Bersemangat karena SIA 2017
Tahun 2017 Tria pernah hampir menyerah karena merasa tak ada perubahan berarti yang terjadi.
Padahal kala itu usahanya telah dilirik media sebagai contoh gerakan sosial yang dapat menginspirasi anak muda.
“Tahun 2017 kami sudah masuk ke pemberitaan di beberapa media, tapi kok malah merasa stuck, tidak ada hasil yang kelihatan,” kata dia.
Suami Tria kemudian jadi pendorong dengan mendaftarkan Tria pada apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards (SIA) 2017.
Dalam proses penjurian SIA 2017 tersebut justru Tria mendapatkan semangat baru.
“Apa yang dirasakan adalah kendala yang bikin kami berkembang, itu bukan pertanda buruk, semua adalah perjalanan,” terangnya.
Meski bukan berlatar medis atau psikologi yang erat bersinggungan dengan ODMK, Tria menyadari tenaga medis di masyarakat terbatas, untuk melakukan perubahan terkait ODMK perlu partisipasi besar dari masyarakat.
“Partisipasi dari masyarakat umum sangat krusial, tapi bagaimana mau ikut berpatisipasi untuk mendampingi ODMK kalau tidak ada edukasi, tak ada informasi yang benar dan interaksi di antara OMDK dan masyarakat,” terang Tria.
Ketakutan itu, lanjut Tria, akhirnya jadi hal kunci melakukan perubahan.
“Kami dan teman-teman di Griya Schizofren hadir untuk melakukan perubahan itu, memberi edukasi ke masyarakat, informasi yang benar sehingga bisa membantu ODMK," lanjutnya.
Baca juga: Gelar Temu Daerah, BEM Nusantara DKI Suarakan Keadilan Hukum dan Sosial
Tria tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya ia menerima apresiasi SATU Indonesia Awards 2017 Bidang Kesehatan.
“Menjadi bagian dari SATU Indonesia Awards ini sungguh bukan karena aku lagi semangat atau pesimis. Tapi aku benar-benar lagi down buat ngelanjutin komunitas Griya Schizofren. Terima kasih Astra melalui Program SATU Indonesia Awards-nya. Astra menjadi bagian nafas kebaikan yang jauh lebih panjang”, tulis Tria pada akun Instagram-nya.
Tria ingin generasi muda semakin lebih terbuka tentang masalah kejiwaan di masa mendatang dan akan berdampak baik di masa depan Indonesia.
Generasi muda, dengan ilmu yang benar, tidak takut saat bertemu dengan ODMK.
"Jadi output yang paling membahagiakan buat saya ketika teman-teman generasi muda khususnya dan masyarakat umumnya ada yang bilang dia tidak lagi takut melihat ODMK, nyaman dengan mereka."
Ruang interaksi sosial yang aman dan terbuka antara orang biasa dengan ODMK diharapkan bisa terwujud.
“Penurunan stigma negatif, peningkatan interaksi, bertambahnya orang yang aware terhadap kesehatan mental, dukungan masyarakat adalah tujuan utama Griya Schizofren dalam gerakan ini,” ungkap Tria.
“Memanusiakan manusia ODMK dengan membuka akses ke pekerjaan. Caranya kami kasih ketrampilan, interaksi dengan masyarakat jadi akses sosial yang bisa jadi jalan kembali ke masyarakat,” pungkasnya. (*)