Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Gadis Kretek, Eksisnya SKT dan Kontribusi bagi Perekonomian Nasional

Industri SKT merupakan segmen yang padat modal, padat karya, bisa menyerap banyak tenaga kerja, terutama para perempuan yang bekerja sebagai pelinting

Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Drajat Sugiri
zoom-in Gadis Kretek, Eksisnya SKT dan Kontribusi bagi Perekonomian Nasional
SURYA/PURWANTO
Buruh mengerjakan pelintingan rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di pabrik rokok Gajah Baru, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (5/2/2023). Pabrik rokok setempat memanfaatkan penyerapan tenaga kerja lokal untuk meningkatkan kesejahteraan warga setempat. Pemerintah Kabupaten Malang mendukung upaya pabrik melakukan penyerapan tenaga kerja lokal untuk membangkitkan ekonomi warga sekitar pasca pandemi Covid-19. SURYA/PURWANTO 

TRIBUNNEWS.COM - Di sebuah rumah di Kota M, tangan-tangan para perempuan itu begitu cekatan dalam melinting tembakau ke dalam kertas.

Dengan menggunakan kebaya, para perempuan itu duduk berjajar rapi di kursi, terlihat santai dalam menghasilkan tiap batang kretek.

Tangan kanan para perempuan itu menjimpit tembakau yang telah diracik halus nan lembut untuk ditempatkan di atas alat linting manual.

Tangan kirinya mengambil kertas pelinting lalu ditempatkan di atas alas kain alat penggiling. Setelah dirasa pas, tangan kanannya kemudian memegang gagang alat, digerakkan ke bawah sampai tembakau tadi terlinting dalam kertas.

Begitulah sebuah scene yang ada di serial film Gadis Kretek yang diadaptasi dari novel karya Ratih Kumala dengan judul yang sama.

Euforia serial film Gadis Kretek dirasakan masyarakat Indonesia selama bulan November di penghujung 2023.

Film itu menceritakan tentang perjuangan Jeng Yah alias Dasiyah dalam mengembangkan bisnis sigaret kretek tangan (SKT) yang mengambil latar belakang di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah.

BERITA TERKAIT

Film yang berlatar waktu tahun 1960an ini menjadi bukti kretek telah eksis sejak masa lalu.

Baca juga: Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia Nilai Idealnya Cukai Sigaret Kretek Tangan Tidak Naik

Kretek juga tercatat dalam kisah Rara Mendhut di jaman Kerajaan Mataram Islam, seperti termuat dalam Serat Pranacitra yang dikemudian diadaptasi menjadi novel oleh Romo Mangun.

Kebiasaan menghisap asap tembakau bisa jadi karena meniru kebiasaan kalangan atas masyarakat Eropa pada abad ke-15.

Namun masyarakat lokal berinovasi dan mengembangkannya. Yang membedakan dalam hal ini adalah ramuan saus yang terkandung dalam kretek.

Seperti halnya yang yang terdapat dalam film Gadis Kretek, di mana saus kretek serta campurannya dapat memberi perbedaan cita rasa dalam setiap lintingannya.

Dalam buku Kretek Pusaka Nusantara (2013) karya Thomas Sunaryo disebut, selain penggunaan cengkeh dan saus penyedap merupakan ciri khas rokok kretek yang hanya ada di Indonesia.

Disebutkan pada tahun 1870, lintingan rokok kretek mulai diproduksi berskala rumahan di wilayah Jawa Tengah bagian utara.

"Kretek sudah ada di jaman Kerajaan Mataram Islam. Akhir abad 19 industrinya mulai tumbuh dan mulailah tercatat dalam beberapa naskah. Disitu ada nama Haji Djamhari yang mengawali produksi rumahan rokok kretek di Kudus, lalu disusul Nitisemito membuatnya lebih besar lagi," kata Bedjo Riyanto, Dosen Universitas Sebelah Maret Surakarta saat dihubungi Tribunnews.

"Dulu diproduksi layaknya industri rumahan dengan mengerjakan tenaga kerja yang sebagian besarnya perempuan sebagai buruh linting," imbuh Bedjo Riyanto yang menulis Desertasi 'Gaya Visual Iklan Rokok di Majalah'.

Para pekerja di pabrik rokok kretek.
Para pekerja di pabrik rokok kretek. (dok. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai)

Baca juga: Serikat Pekerja Tembakau Nilai RPP Kesehatan Seharusnya Tak Banyak Larang IHT

Kisah Perempuan Pelinting

Industri SKT merupakan segmen yang padat modal, padat karya, dan menyerap banyak tenaga kerja, terutama para perempuan yang bekerja sebagai pelinting rokok.

Data dari Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), sekitar 97 persen pekerja di industri SKT adalah perempuan. Mereka tidak hanya sekadar pekerja tetapi juga menjadi tulang punggung keluarga.

Kisah tentang perempuan pelinting rokok ini bisa dijumpai saat ini pada Siti Sarwanti (34), warga Banyudono, Boyolali.

Sehari-hari, Siti bekerja sebagai pelinting rokok kretek di Pabrik Rokok PT Hamsina di Kartasura Sukoharjo, mitra PT Gudang Garam Tbk.

Sudah 12 tahun lamanya pekerjaan itu ia jalani, tepatnya etelah menikah pada 2011 silam.

"Sebelumnya di pabrik kertas. Di sana ada aturan shift kerja, jadi pilih keluar biar ngurus keluarga dan rumahnya lebih enak," ujar Siti kepada Tribunnews, Sabtu (2/12/2023).

"Kalau di pabrik rokok itu kan cuma satu shift saja. Sebelum berangkat kerja kan bisa ngurus pekerjaan dapur dulu, sore pun bisa lanjut ngurus rumah lagi. Urusan keluarga dan rumah bisa jalan, bekerja juga jalan," tutur Siti yang kini mempunyai dua anak berusia 11 tahun dan 4 tahun itu.

Suami Siti bekerja di sebuah pabrik distributor minuman kemasan. Meski hanya lulusan SMP, Siti memiliki tekad yang kuat untuk membantu suaminya dalam memenuhi ekonomi keluarga.

"Kalau tidak lembur 7 jam bisa 2450 lintingan. Kalau lembur 9 jam bisa 3350 lintingan. Dari pabrik rokok kretek ini bisa membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Bisa menyekolahkan anak. Ya harapannya pabrik ini bisa eksis terus," ujar Siti.

Pekerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) melakukan proses produksi pembuatan rokok. Rokok SKT dibuat dengan alat manual, batang rokok satu per satu dihasilkan.
Pekerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) melakukan proses produksi pembuatan rokok. Rokok SKT dibuat dengan alat manual, batang rokok satu per satu dihasilkan. (Tribunnews.com/Arif Tio Buqi Abdulah)

Kisah lain datang dari Andini (21), pelinting di PT Agrig Amarga Jaya (AAJ) Salatiga, mitra produksi sigaret PT. HM Sampoerna Tbk.

Wanita berjilbab yang berasal dari Kuningan Jawa Barat itu menjadi korban PHK di perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya.

Ia sempat bingung harus bekerja dimana lagi lantaran kala itu sedang masa pandemi, tak banyak perusahaan yang tak membuka lowongan kerja, sedang ijazah yang ia miliki hanya lulusan SMA.

Setelah mendapat informasi dari kerabatnya di Salatiga, ia meniatkan diri melamar dan bekerja sebagai buruh linting.

"Saya anak pertama dari tujuh bersaudara. Di pundak saya ada tanggung jawab dan tekad untuk bekerja, saya harus berjuang untuk itu," ungkap Andini saat ditemui Tribunnews pada Oktober 2022 silam.

Selain membiayai sekolah adik-adiknya, dari pabrik SKT itulah Andini bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Salatiga.

"Kalau jam kerja pendek tujuh jam pulang jam 2.  Jam 4 saya berangkat kuliah sampai pukul setengah 8 malam. Dengan pekerjaan ini saya bertahan hidup, menjadi tulang punggung keluarga, melanjutkan pendidikan," kata dia.

Andini (20) pekerja pabrik rokok di PT Agrig Amarga Jaya (AAJ) Salatiga yang berasal dari Kuningan. Andini merupakan korban terdampak PHK pada masa pandemi 2020. Ia kemudian bekerja menjadi di pabrik rokok di Salatiga.
Andini (20) pekerja pabrik rokok di PT Agrig Amarga Jaya (AAJ) Salatiga yang berasal dari Kuningan. Andini merupakan korban terdampak PHK pada masa pandemi 2020. Ia kemudian bekerja menjadi di pabrik rokok di Salatiga. (Tribunnews.com/Arif Tio Buqi Abdulah)

Ada pula Amarul Marsiah (40) yang bekerja sebagai pelinting rokok sejak 2002, juga di PT AAJ.

Amarul merupakan difabel. Ia sempat pesimis bisa bekerja di pabrik dengan kondisinya itu.

“Saya pernah merasa pesimis dalam hidup karena saya difabel, tapi nasib membawa saya bisa bekerja di sini,” ungkapnya.

"Dulu diajak teman masuk sini. Saya betah karena saya merasa tidak dibeda-bedakan dari yang sempurna dan tidak sempurna, manajemen tidak mendiskrimasikan."

"Alhamdulillah, dari sini kebutuhan hidup keluarga saya bisa tercukupi meski suami saya kerjanya serabutan," tutur Asmarun.

Amarul menjadi bukti bahwa SKT dalam penyerapan tenaga kerjanya juga menerapkan inklusivitas pekerja.

Asosiasi Petani Tembakau Berharap RPP Kesehatan Dikaji Ulang

Kontribusi dan Perlunya Perlindungan

SKT menjadi bagian dari ekosistem pertembakauan. Kontribusi cukai hasil tembakau (CHT) dalam penerimaan pendapatan negara cukup besar.

Kontribusi ekosistem pertembakauan yang signifikan dapat dilihat dari sumbangsihnya terhadap penerimaan negara sebesar rata-rata 11,3 persen dari total penerimaan pajak negara tahun 2017-2022.

Kontribusi cukai hasil tembakau (CHT) terhadap penerimaan negara mencapai Rp 218,62 triliun pada tahun 2022 atau 10,7 persen dari total penerimaan pajak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pada tahun 2023, target penerimaan CHT dinaikkan menjadi Rp 232,6 triliun atau naik 10,8 persen dari target CHT tahun 2022.

Menurut data dari AMTI, total tenaga kerja yang diserap oleh ekosistem pertembakauan sebanyak 6,7 juta jiwa.

Dari jumlah itu, 4,28 juta adalah pekerja disektor manufaktur, 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan dan 725.000 tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif.

Sriyadi Purnomo, Ketua Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) mengatakan, pemerintah mestinya melindungi ekosistem pertembakauan.

"Rokok SKT menyerap tenaga kerja yang luar biasa, disitu jelas sekali membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan dan juga membantu pemerintah untuk pendapatan APBN dalam jumlah yang banyak,” terang Sriyadi saat dihubungi Tribunnews.

"Pemerintah harus mengerti dan melindungi bagaimana industri hasil tembakau ini bisa berjalan. Kami sebagai WNI punya hak hidup punya hak untuk bisa bekerja bersinergi dan punya hak untuk supaya terlindungi dari segala macam regulasi yang merugikan kita khususnya tembakau."

Jikalau dibuat aturan, imbuh Sriyadi, semestinya dibuat dengan cara yang berkeadilan dan harus dengan win-win solution.

“Kita bukan tidak mau diatur oleh pemerintah, tetapi diaturlah yang sesuai berkeadilan. Diaturlah yang sama-sama bisa menikmati, bisa sama-sama berjalan, bisa sama-sam bersinergi antara industri, masyarakat, dan juga negara,” jelasnya.

(Tribunnews.com/Tio)

 
 
Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas